Jumat, 31 Juli 2015

Indonesia (Tidak) Bisa Menjadi Negara Maju

Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Sinar Harapan, Jumat 31 Juli 2015

Menjadi negara maju tentu impian setiap negara di belahan dunia. Ada banyak kebahagiaan yang di dapat seluruh unsur dalam negara itu, baik pemerintah maupun rakyatnya. Bahagia karena terlepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, kebangkrutan, kematian akibat penyakit “miskin”, dan problematika yang biasa melanda sebuah negara. Negara maju juga akan disegani dan dikagumi negara lain. Selain itu, negara maju menjadi destinasi utama setiap orang di dunia untuk berpijak.

Demikian halnya negara kita Indonesia, yang masih setia sejajar dengan negara berkembang di dunia. Kita tentu berharap negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini bisa jadi negara maju. Pasalnya, berbagai persoalan hidup seperti kemiskinan yang terus membelenggu rakyat, selalu menjadi keluhan dan jeritan rakyat sejak zaman penjajahan hingga sekarang.

“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu,” demikian sepenggal lirik lagu populer di Indonesia yang menggambarkan betapa kayanya laut Indonesia. Hampir semua jenis biota laut di dunia terdapat di laut indonesia.

Lirik lagu tersebut bukan ngawur, malah benar-benar fakta. Dengan hasil laut yang begitu berkelimpahan, rakyat Indonesia bisa sejahtera. Laut kita penuh dengan segala jenis ikan, yang bila dijual akan membuat Indonesia berada di deretan negara terkaya di dunia.

Tidak hanya ikan, laut kita berlimpah dengan minyak yang tentu bisa memutuskan “rantai impor minyak” yang sampai sekarang masih kita budayakan. Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia kaya tempat-tempat wisata pantai yang luas dan indah. Tentu, jika terekspos ke mancanegara, ini menjadi suatu kebanggan bagi kita sebab besar kemungkinan negara kita akan dijadikan sebagai salah satu destinasi negara yang wajib dikunjungi wisatawan dunia.

Kebudayaan Indonesia yang begitu majemuk dan khas bisa menarik mata orang asing untuk berkunjung. Negara kita merupakan negara yang mengakui keberagaman (diversity). Ada banyak suku, agama, ras, adat istiadat, tarian, serta peninggalan sejarah yang tidak dimiliki negara asing. Jika kebudayaan ini menarik perhatian dunia, tidak tertutup kemungkinan sektor pariwisata akan jadi salah satu lumbung khas negara.

Jika semua alam dan kebudayaan Indonesia bisa produktif, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kaya dan maju sejajar dengan hegara-negara seperti AS, Jepang, dan Singapura. Tidak akan ada lagi yang menjerit kelaparan karena kemiskinan yang terus melilit keluarga-keluarga di negeri ini. Tidak akan ada lagi orang yang bodoh dan buta huruf (illiteracy). Tidak akan ada lagi kekerasan dalam rumah tangga, aksi premanisme, begal, perampokan, ataupun pembunuhan akibat ketidaksejahteraan rakyat.

Pertanyaannya adalah, apa mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju? Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab. Meski dilakukan jajak pendapat ke masyarakat, kemungkinan besar kata “mustahil” yang terlontar dari mereka.
Jawaban itu tentu realistis sebab mereka sendiri yang merasakan bagaimana hidup serbakekurangan padahal negara tempat mereka hidup begitu kaya. Ada berbagai faktor yang menyebabkan Indonesia tidak maju-maju. Ironisnya, sebagian faktor itu dilakukan pejabat-pejabat negeri ini.

Sinergitas
Pertama, kasus korupsi. Sepertinya perilaku korup di negeri ini akan susah diberantas. Dari tahun ke tahun, laporan dugaan korupsi ke KPK masih terus bertambah.
KPK mencatat lebih dari 6.000 laporan kasus korupsi pada tahun 2012. Pada 2013 ada lebih dari 7.000 laporan dan pada 2014 terdapat lebih dari 8.000 laporan. Baru-baru ini KPK menangkap tangan tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), satu pengacara, dan satu panitera di Medan saat melakukan transaksi suap terkait pengurusan perkara di PTUN Medan. Ini bukan kali pertama penegak hukum terlibat kasus suap.

Akil Mochtar, mantan ketua MK juga ditangkap KPK atas keterlibatannya menerima hadiah pencucian uang terkait kasus sengketa pilkada. Vonis penjara seumur hidup kini sudah diterimanya.

Sungguh miris melihat hukum di negeri ini. Jika pakar atau penegak hukum saja terlibat korupsi dan suap, bagaimana dengan rakyat yang buta hukum? Lantas, itukah yang bisa membuat bangsa ini maju? Dengan korupsi dan suap menyuap kah, kemiskinan di negeri ini bisa diberantas?

Kedua, kualitas pendidikan yang rendah. Kita tahu pendidikan merupakan tonggak kemajuan bangsa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa maju/tidaknya suatu negara dipengaruhi faktor pendidikan.

Biaya pendidikan di Indonesia sekarang ini memang tidak menjadi hambatan terbesar bagi rakyat untuk mengecap bangku sekolah. Namun, ada dua permasalahan pendidikan yang sampai sekarang terus ada. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan di kota dan di desa sangat jauh berbeda.

Pemerintah lebih memprioritaskan pendidikan di perkotaan hingga membuat ketimpangan. Salah satu contohnya adalah masalah kesejahteraan guru. Gaji guru di desa jauh lebih rendah dibanding di kota. Faktor inilah yang menyebabkan banyak guru lebih memilih bekerja di kota daripada di desa.

Ketiga, rendahnya toleransi umat beragama. Negara Indonesia kini mengakui enam agama yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Hal ini sesuai dengan isi UUD 1945 Pasal 28E yang menyatakan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”

Namun, yang terjadi di negeri ini bertolak belakang dengan isi pasal tersebut. Kebebasan beragama masih belum dijunjung tinggi. Buktinya, masih banyak rumah ibadah seperti gereja dan masjid yang dibakar. Masih banyak juga masyarakat dilarang beribadah.

Keempat, ketidaksatuhatian. Memajukan sebuah negara bukan hanya kerjaan pemerintah dan bukan pula hanya kerjaan rakyat, melainkan kedua-duanya. Namun, berbeda dengan Indonesia, yang terlihat adalah pemerintah bekerja tanpa dukungan rakyat dan rakyat tidak mau tahu.

Ketidakpercayaan rakyat kepada para pejabat membuat negara ini semakin tidak terarah. Banyak elemen masyarakat memandang pemerintah sering membuat program yang tidak pro rakyat dan tidak relevan dengan kehidupan rakyat.

Masalah-malasah di atas membuat Indonesia tertinggal dan sulit maju. Jika kita benar-benar ingin negara kita sejajar dengan negara maju, kita harus menuntaskan permasalahan di atas. Dibutuhkan kerja sama dan sinergitas antara pemerintah dengan rakyat untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Jika ada ketimpangan di tubuh pemerintah, sebaiknya bukan dijatuhkan, justru harus dievaluasi dan diberi masukan agar setiap program pemerintah tetap pro rakyat. Dengan begitu, negara kita Indonesia pasti akan maju.


Penulis adalah anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia dan alumnus Universitas Negeri Medan.

Menyoal Kinerja Kabinet dan Reshuffle


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Waspada Online, Kamis 30 Juli 2015

Usia pemerintahan Jokowi-JK kini sudah menginjak lebih kurang sembilan bulan sejak dilantik. Artinya, masyarakat sudah bisa memberi penilaian terhadap kinerja pemerintahannya khususnya menteri-menteri dalam kabinet kerjanya. Terkait hal itu, beberapa waktu terakhir, wacana perombakan kabinet (reshuffle) semakin menguat. Itu pertanda bahwa ada banyak desakan dari berbagai unsur supaya terjadi perubahan posisi jabatan pada kabinet kerja Jokowi. Suara tersebut tidak hanya datang dari partai politik tetapi juga dari elemen masyarakat.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga survei di Indonesia seperti Litbang Kompas. Secara umum masyarakat menilai kinerja kabinet pemerintahan Jokowi-JK tidak memuaskan. Setidaknya, tiga dari lima responden yang menjadi sumber mengatakan tidak puas. Di sisi lain, lebih dari setengah masyarakat menilai puas pada 3 kementerian kabinet kerja Jokowi.

Pertama, di bidang pembangunan. Hampir setengah dari masyarakat menilai puas terhadap kinerja kabinet Jokowi dalam membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dinilai puas tersebut mencakup transportasi, jalan raya, waduk, dan tak terkecuali penyediaan sarana perumahan bagi rakyat. Meski sebagian pembangunan infrastruktur merupakan kelanjutan dari program kabinet pemerintahan SBY, percepatan pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan mendapat dukungan publik.

Kedua, di bidang pendidikan. Lebih dari setengah masyarakat merasa puas dengan kinerja kabinet kerja bidang pendidikan. Keputusan Anies Baswedan selaku Mendikbud yang menetapkan Ujian Nasional (UN) bukan satu-satunya syarat penentu kelulusan siswa dianggap sebagai keputusan yang tepat  dalam memperbaiki mutu pendidikan secara perlahan.

Ketiga, di bidang kesehatan. Setengah dari masyarakat menilai puas dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Program Kartu Indonesia Sehat yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dipandang sebagai langkah konkret pemerintah dalam menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Walau belum terealisasi secara total, namun kehadiran program ini setidaknya dinilai positif oleh publik.
 
Keempat, bidang Kemaritiman. Banyak masyarakat mengapresiasi kinerja Indroyono Soesilo selaku menteri bidang kemaritiman tersebut. Hal ini terkait erat dengan penilaian positif terhadap kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dari 34 menteri dalam kabinet, masyarakat menilai kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan yang paling baik.

Sorotan dan Penilaian
Namun, tidak bisa ditutupi bahwa masih ada beberapa kementerian yang mendapat dorotan dan penilaian yang tidak memuaskan dari masyarakat. Pertama, di bidang perekonomian. Lebih dari setengah masyarakat menilai tidak puas dengan kinerja menteri bidang perekonomian dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Harga beras yang melonjak tinggi, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terus merosot, dan harga bahan bakar yang cenderung terus naik menjadi bahan referensi penilaian masyarakat terhadap kementerian tersebut.

Kedua, Hak mendapatkan keadilan. Masyarakat menilai bahwa selama ini pemerintahan Jokowi masih belum berdampak besar dalam menegakkan keadilan di tanah air. Hukum masih tetap dipandang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Contohnya dalam tindak pemberantasan korupsi. Kasus  korupsi di tanah air tetap merajalela bahkan terus melambung naik. Lagi, Kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang mencuat beberapa waktu lalu menunjukkan lemahnya koordinasi dan komunikasi di antara lembaga negara yang mengampu bidang hukum.

Ketiga, kinerja kementerian yang dijabat oleh Puan Maharani yakni bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga tak memuaskan. Walaupun program kerja kementerian di bawah koordinasinya, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Kesehatan, mendapat sambutan baik dan dinilai positif, namun fungsi koordinasi dari kementerian ini tidak terlalu berdampak kepada masyarakat.

Keempat, penilaian serupa dituai Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang dipimpin Tedjo Edhy Purdijatno. Sebagai pembantu Presiden, kinerja kementerian ini belum ada yang menonjol. Alih-alih mendapat apresiasi, Tedjo sempat menuai kecaman saat konflik KPK versus Polri Januari silam. Beberapa pernyataan beliau sempat menimbulkan polemik.

Reshuffle
Penulis menilai, ketidakmaksimalan  kinerja menteri kabinet kerja Jokowi ditengarai komposisi kabinet yang kurang tepat. Ada beberapa posisi kementerian sekarang yang dipimpin oleh menteri yang tidak profesional di bidangnya. Yang pasti, latar belakang menteri yang berasal dari independen (non partai) atau berasal dari partai bukan pemicu ketidakmaksimalan tersebut.

Dengan alasan-alasan tersebut, muncul wacana di pemerintahan dan elemen masyarakat agar Jokowi segera merombak (reshuffle) komposisi kabinet kerja. Dalam hal perombakan komposisi, Jokowi selaku presiden seharusnya lebih teliti dalam mendalami kompetensi tiap tiap menteri yang beliau pilih. Baik bersumber dari masyarakat (independen) ataupun dari partai tidak menjadi persoalan. Yang terpenting, bidang yang digeluti tiap menteri nantinya mudah dipahami dan dikerjakan dengan lebih cepat dan maksimal.

Kita selaku masyarakat sering memandang perombakan kabinet (reshuffle) merupakan bentuk kelemahan dan kelalaian pemerintah. Kita perlu merubah pola pemikiran demikian. Reshuffle bukanlah bentuk kelalaian dan hal ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara lain. Kita juga perlu mengapresiasi tiap menteri yang sepanjang beberapa bulan ini telah memaksimalkan kinerjanya di bidang kementerian yang diamanatkan. Reshuffle kabinet yang sering kita seru-serukan selama ini sebaiknya kita jadikan sebagai kepedulian kita untuk perbaikan negeri ke depannya bukan untuk menjatuhkan pemerintah dalam kinerjanya.

Jika benar dalam beberapa waktu ke depan, Jokowi akan merombak kabinetnya, mari kita dukung dan apreasiasi. Semoga reshuffle tersebut nantinya mampu menghadirkan sosok menteri yang kompeten, bukan kompromi politik, agar mampu membawa perubahan yang berarti bagi negara Indonesia.


Penulis adalah Pemerhati Masalah Ekonomi, Politik, Pendidikan dan Sosial. Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan

MOS Harus Dihentikan


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Waspada Online, Rabu 29 Juli 2015
 
Kini, sekolah di seluruh nusantara mulai memasuki tahun ajaran baru 2015/2016. Bangku-bangku di sekolah pun kembali diduduki oleh wajah-wajah baru. Sekolah pastinya menyambut baik kehadiran para generasi bangsa tersebut. Berbagai cara penyambutan pasti sudah jauh hari direncanakan secara matang oleh pihak sekolah. Salah satu program rutin yang diadakan sekolah adalah Masa Orientasi Siswa (MOS). Dalam hal ini, MOS biasanya dieksekusi oleh siswa-siswi senior di sekolah.

Mengacu pada Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), orientasi didefinisikan sebagai
peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar. Nah, jika sebuah sekolah memberlakukan MOS kepada siswa-siswi baru, artinya sekolah berniat untuk membentuk sikap siswa supaya (1) siswa terarah ke arah yang benar sebagaimana ia siswa. Siswa diarahkan agar semakin mengenali seluruh unsur di dalam sekolah yang ia masuki mulai dari struktur kepengurusan sekolah, peraturan dan kurikulum. Siswa juga diarahkan agar memiliki sikap sopan santun kepada kepala sekolah, guru-guru, siswa senior bahkan tukang bersih taman atau cleaning service sekalipun. (2) siswa lebih mengenali lingkungan sekolahnya seperti letak ruang kepala sekolah, ruang guru, kelas belajar, perpustakaan, laboratorium, toilet, taman, dan lain-lain.

Yang diharapkan dari kegiatan MOS pastinya agar siswa benar-benar dekat dengan unsur di sekolah dan bisa nyaman belajar saat Proses Belajar Mengajar (PBM) dimulai. Jika tujuan MOS sejatinya tercapai, maka siswa-siswi di seluruh sekolah di Indonesia akan benar-benar terarah. Alhasil, mereka pun akan selalu kangen ke sekolah untuk bertemu dengan guru serta teman siswa lainnya. Pada akhirnya, sekolah bisa menjadi rumah kedua yang nyaman bagi mereka selain rumah mereka sendiri.

Bukan Orientasi
Saat diwawancarai awak media di Jakarta beberapa waktu lalu, Mendikbud RI Anies Baswedan memerintahkan kepada seluruh sekolah di Indonesia agar tidak melakukan MOS yang menimbulkan kekerasan, pelecehan seksual dan hal-hal yang tidak mendidik. Namun, yang terjadi di lapangan kontradiktif. Masih banyak ditemukan sekolah yang tidak mengerjakan MOS dengan tidak benar. Hari kedua masuk sekolah saat berlangsungnya MOS, seorang siswa SMP di Bandung pingsan karena dibiarkan dibawah terik matahari selama MOS berlangsung. MOS pun tidak lagi untuk orientasi melainkan disorientasi. Penulis menamainya MOS Sampah.

KBBI mengartikan disorientasi sebagai kekacauan kiblat atau kesamaran arah. Ya, MOS sudah tidak terarah lagi. MOS sering kali diwujudkan dalam bentuk bentakan, bully-an, amarah dan pukulan dari kakak senior yang menyebabkan gangguan psikologis siswa baru. Panitia sering menyuruh siswa baru membawa aksesoris yang tidak penting seperti membawa petai sebagai kalung, potongan bola kaki sebagai topi, tali plastik sebagai gelang dan ikat rambut dan tepung untuk wajah. Selain itu, siswa baru harus lebih awal di sekolah dan jika telat, akan dipermalukan di hadapan siswa lainnya. Saat MOS berlangsung, panitia sering berbuat aneh seperti memaksa siswa menari di hadapan teman dan menyatakan cinta kepada senior. Ujungnya, siswa bukan kerasan melainkan kapok.

Tugas lain sekolah pada kegiatan MOS yakni memperkenalkan lingkungan sekolah (fasilitas) dan mengajarkan siswa agar peduli lingkungan. Jadi ketika MOS berakhir, siswa bisa peduli dan menjaga lingkungan sekolah, menjaga kebersihan dan higenitas sekolah serta melestarikan tanaman di sekolah. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan hal tersebut. Sekolah bukan fokus memberikan informasi seputar lingkungan sekolah. Panitia yang merupakan senior kelas malah menjahilin dengan cara sengaja mengotori toilet (WC), kemudian menyuruh siswa baru untuk membersihkannya dengan waktu terbatas. Tentu, siswa tidak akan bisa merampungkannya tepat waktu. Pada akhirnya hukuman pun diberi seperti berjalan jongkok keliling lapangan sekolah. Dilihat dari sisi edukasinya, kegiatan itu sama sekali tidak mendidik. Masih banyak lagi aktivitas MOS yang tak mendidik lainnya.

Seyogyanya, sekolah harus mengevaluasi konten MOS dan menggantinya dengan hal-hal yang mengedukasi siswa. Ada beberapa kegiatan yang bisa diisi sekolah pada MOS.

Pertama, membuat hari keakraban. Dalam hal ini, seluruh unsur sekolah terlibat mulai kepala sekolah, guru-guru dan siswa senior. Kegiatan dilakukan di sekolah tanpa menyuruh siswa membawa barang-barang tidak penting. Dalam keakraban itu, kegiatan seperti talkshow, pemberian arahan, dan cerita pengalaman siswa senior bisa diadakan supaya memotivasi siswa. Dampak positifnya, siswa mendapatkan informasi penting dan pelajaran moral. Selain itu, panitia bisa membuat berbagai permainan kreatif, interaktif dan edukatif supaya mendekatkan siswa baru dengan pihak sekolah. Misalnya, permainan menyatukan kata-kata bahasa inggris menjadi kalimat efektif atau mengadakan kuis bertajuk kebangsaan dan pastinya diberi reward. Selain terciptanya interaksi, siswa pun dididik dengan pengetahuan dan kepedulian terhadap negara.
Kedua, mengundang motivator. Sekolah bisa mengundang motivator dari luar atau dari dalam sekolah sendiri. Contohnya, mengundang mahasiswa berprestasi di sebuah universitas untuk memberi motivasi kepada siswa-siswi baru SMA agar nantinya termotivasi untuk berprestasi dan terdorong untuk mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian mengundang siswa SMA berprestasi untuk memberikan motivasi kepada siswa-siswi baru di bangku SMP agar lebih serius belajar supaya bisa masuk sekolah SMA favorit. Demikian halnya dengan mengundang siswa SMP berprestasi kepada siswa-siswi baru sekolah dasar. Sekolah juga bisa mengundang dinas pendidikan daerah untuk memberikan motivasi, memperkenalkan lebih jauh kondisi pendidikan kita saat ini.

Selain itu, mengundang pihak kepolisian dan Badan Narkotika Nassional (BNN) untuk memberikan arahan agar selama jadi siswa, mereka tidak melakukan tindak kriminalitas, pergaulan bebas, seks bebas, dan bahkan menyentuh narkoba. Seperti yang kita ketahui, kini kehidupan siswa di Indonesia sudah semakin terkontrol. Kususnya, narkoba dan seks bebas sudah melilit kehidupannya. Nah melalui cara ini, tentu siswa jauh lebih mendapatkan ilmu dan motivasi yang bermanfaat.

Sudah tidak saatnya lagi kita membudayakan MOS sampah di lingkungan pendidikan kita. Kita harus memperbaiki pendidikan kita mulai dari hal-hal kecil seperti ini agar generasi bangsa ke depan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik. Dan jika masih banyak sekolah tetap berkeras kepala, sebaiknya MOS di sekolah dihentikan.


Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan Politik. Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan)

Selasa, 28 Juli 2015

Soal Ekonomi, Pemerintah Harus Fokus Ke Dalam

\
Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Medan Bisnis Daily, Senin 27 Juli 2015

Saat nilai tukar rupiah dan harga saham anjlok, seringkali kita beranggapan bahwa perekonomian di negara Indonesia akan jatuh terpuruk. Tidak bisa dimungkiri, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2015 nyatanya hanya berada di level 4,7 %, kecil jika dibandingkan dengan perkiraan 5,1 %. Akan tetapi, pertumbuhan 4,7 % itu sesungguhnya masih tergolong aman. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi sangat diperlukan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja yang memadai. Hal ini urgen untuk direalisasikan sesegera mungkin karena tiap tahunnya, negara mesti menampung jumlah angkatan kerja sebanyak lebih kurang 2 juta orang. Apalagi sekarang ini, pengangguran makin merajalela. Terdata, jumlah pengangguran sekarang telah mencapai lebih kurang 11 juta orang. Lagi-lagi pertumbuhan ekonomi cepat dan tinggi sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahan ini.

Seperti yang sudah dijelaskan para pejabat yang berwenang dan mengerjakan bagian perekonomian negara, terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi ditengarai harga komoditas yang kian melemah di pasar global. Alhasil, kondisi ini membuat konsumsi dalam negeri juga semakin melemah. Padahal selama ini, konsumsi dan ekspor yang menjadi andalan utama tersebut sangat mendorong laju pertumbuhan ekonomi kita. Tentu, pemerintah dan semua pemangku kepentingan di negara ini harus melakukan gebrakan dan tindakan nyata untuk menjaga dan menumbuhkan stabilitas perekonomian Indonesia.

Konsumsi merupakan bagian yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi negara kita, Indonesia. Meskipun begitu, dipikir perlu dikritisi bahwa konsumsi ini tidak menumbuhkan kegiatan manufaktur dan produksi di dalam negeri. Pasalnya, konsumsi yang ada saat ini malah lebih banyak dipenuhi barang-barang impor. Mirisnya, barang-barang impor tersebut merupakan barang yang sesungguhnya bisa kita produksi banyak di dalam negeri seperti bawang, daging sapi, garam, buah-buahan, ikan, hingga berbagai produk tekstil.

Maka dari itu, tidak heran lebih sering terjadi defisit neraca perdagangan akibat ekspor yang kalah besar dibanding impor. Pasalnya, semua konsumsi kelas menengah Indonesia yang besar sebagian besar merupakan hasil impor. Akibatnya, kegiatan produksi dalam negeri jadi diabaikan dan tidak digairahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang besar tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah harus fokus membenahi perekonomian dalam negeri melalui peningkatan produksi. Karena cara itu akan bisa memberikan nilai tambah yang nantinya akan menjadi pendorong konsumsi di dalam negeri. Contohnya, harga minyak kelapa sawit yang sedang rendah di pasar global seharusnya bisa dimbangi dengan menambah mandatori penggunaan biodiesel untuk keperluan bahan bakar mobil diesel. Harga minyak sawit mentah juga bisa terdongkrak.

Suatu yang sangat kasatmata, perlu mendorong manufaktur yang menghasilkan produk substitusi impor. Daging sapi, garam, buah-buahan, ikan, dan produk tekstil berkualitas yang selama ini dipenuhi dari impor sudah saatnya diganti dengan produksi dari dalam negeri sendiri. Tentu saja perlu diberikan insentif dan kemudahan berusaha di dalam negeri. Investasi asing ataupun dalam negeri juga perlu didorong ke arah ini.

Fakta mengatakan, banyak kegiatan produksi di dalam negeri lebih memilih mengimpor karena iklim usaha yang tidak memadai. Ekonomi biaya tinggi, berbagai pungutan liar yang tak jelas hitam putihnya, biaya logistik yang tinggi karena infrastruktur yang bobrok membuat iklim usaha di dalam negeri jauh dari menguntungkan. Kalau sudah demikian, bukan saja penyerapan tenaga kerja terganggu, melainkan penerimaan pajak juga tergerus. Berbagai ekonomi kecil yang hidup karena kegiatan pabrik juga terancam berhenti.

Oleh karena itu, langkah pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri yang menghasilkan produk substitusi impor harus terus digencarkan. Langkah ini baik untuk mencegah devisa keluar di saat ekspor yang menghasilkan devisa belum bisa berbuat banyak. Sektor pariwisata juga saatnya didorong untuk menjadi pemasok utama devisa. Pariwisata jelas penuh dengan kandungan lokal. Pasokan devisa dari para pekerja di luar negeri juga perlu didorong.

Dengan berkaca dari kondisi perekonomian Indonesia saat ini, semoga semua pihak di negeri ini menjadi fokus untuk meningkatkan produksi di dalam negeri. Dan fokus ini harus dilakukan secara kontinu, bukan sesaat. Saatnya keperluan dalam negeri dipenuhi diproduksi dari dalam juga.


(Penulis adalah pemerhati Masalah Ekonomi, Pendidikan dan Sosial dan Politik, Staf Pengajar di Quantum College Medan, Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Alumnus Universitas Negeri Medan.)

Soal Tolikara, Jangan Terprovokasi


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Medan Bisnis Daily, Kamis 23 Juli 2015

Perayaan Idul Fitri 2015 diwarnai kasus penyerangan serta pembakaran sejumlah kios dan sebuah mushala di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Pada kejadian ini, satu orang tewas dan sepuluh lainnya terluka dan dirawat di RS setempat. Spekulasi negatif pun bermunculan di kalangan publik. Sebagian publik berpendapat bahwa kejadian berkaitan dengan agama dan sebagian lainnya tidak mau berkomentar lebih karena takut isu ini akan semakin memanas.

Kejadian ini tentu sangat disayangkan terjadi apalagi bertepatan pada perayaan hari besar agama Islam. Peristiwa ini juga tentu memberikan citra buruk bagi bangsa kita di mata Internasional. Pasalnya selain Papua dikenal dengan daerah yang damai kebebasan beragamanya, peristiwa ini terjadi di tengah seluruh mata dunia tertuju pada negara-negara mayoritas muslim yang merayakan hari raya Idul Fitri di waktu yang bersamaan, salah satunya Indonesia. Artinya, dunia internasional juga mengetahui hal ini.

Dampaknya, media sosial (social network) kini sedang dalam keadaan panas karena peristiwa ini. Berbagai komentar buruk dituai salah satu pihak yang diduga dengan sengaja melakukan pembakaran tersebut.

Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), organisasi agama yang disebut-sebut sebagai dalang penyerangan dan pembakaran ini menuai banyak kecaman dari publik khususnya kaum muslim.

Bahkan sebagian komentar berisi kalimat balas dendam untuk kembali melakukan penyerangan kepada sejumlah rumah ibadah kristen di Tolikara tersebut. Komentar-komentar negatif ini tentu sangat disayangkan mengingat negara kita menganut asas kebebasan memeluk agama dan berdamai dalam bermasyarakat.

Di sisi lain, ada banyak kalangan yang memandang kejadian ini secara netral agar tidak memperkeruh suasana. Bahkan sebagian publik berinisiasi untuk melakukan tindakan nyata dengan berbagai cara salah satunya media sosial.

Ada dua gerakan media online yang ingin melakukan perbaikan pada kios dan mushalla yang terbakar di Tolikara tersebut. Kedua media online tersebut adalah change.org dan kitabisa.com.

Bahkan gerakan positif ini sudah mengumpulkan dana yang tergolong besar lebih dari 200 juta rupiah untuk melakukan perbaikan mushalla yang terbakar di Tolikara tersebut. Tentu, gerakan ini jauh lebih dibutuhkan masyarakat Tolikara dibandingkan dengan harus berdebat opini di media sosial.

Masyarakat Tolikara butuh perbaikan fasiltas mushalla bukan komentar yang berlebih. Karena berdasarkan pernyataan Kapolri RI Badrodin Haiti jelas mengatakan bahwa pasca kejadian tersebut, situasi di Tolikara sudah kembali kondusif. Artinya, masyarakat disana sesungguhnya juga tidak menginginkan kejadian itu terjadi dan masih tetap menghargai keberagaman.

Apa motifnya?

Lalu, apa sebenarnya motif kejadian naas ini? Ini pertanyaan dasar yang harus segera dijawab aparat hukum. Beragam asumsi muncul soal modus dan dalang penyerangan ini, salah satunya sentimen antar-agama.

Mendengar berita ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla langsung mencaritahu detil perkara tersebut. Beliau mengungkapkan bahwa pemicu ketegangan tersebut adalah penggunaan pengeras suara saat pelaksanaan Shalat Idul Fitri yang hanya berjarak sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya sebuah seminar internasional oleh Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang dihadiri sekitar 2000 pemuda kristen dari berbagai daerah di tanah air seperti Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan lain sebagainya.

Soal penggunaan pengeras suara, sebenarnya surat himbauan yang ditandatangani oleh Presidenn GIDI, Dorman Wandikmbo pada 11 Juli lalu untuk mengingatkan umat islam di Tolikara. Surat tersebut bukan untuk melarang ibadah melainkan imbauan tak menggunakann pengeras suara.

Singkatnya, surat tersebut berbunyi "Mengingatkan akan diselenggarakannya seminar dan kebaktian kebangunan rohani (KKR) Injili Pemuda Tingkat Pusat bertaraf Nasional/Internasional pada tanggal 15-20 Juli 2015, maka diminta kepada pihak muslim agar tidak melakukan kegiatan peribadatan di lapangan terbuka; tidak menggunakan pengeras suara dan ibadahnya cukup dilakukan di dalam mushalla atau ruangan tertutup".

Pihak GIDI sendiri meyakini bahwa peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan gesekan agama. Mereka menyatakan bahwa konflik agama tak pernah terjadi di daerah tersebut. oleh karena itu, pihak GIDI mengimbau agar masyarakat tidak mudah terpancing dan emosi karena peristiwa ini. sebaiknya masyarakat menunggu penyelidikan dari penegak hukum untuk mengetahui akar masalahnya.

Terprovokasi dan Peran Pemerintah
Peristiwa ini tentu bisa menimbulkan perpecahan antar agama di tanah air sebagaimana kita tahu isu agama merupakan hal yang sangat sensitif di negeri ini. Oleh karena itu, kita jangan mudah terprovokasi pasca kejadian ini. Berbagai desakan dan saran pun sudah disuarakan oleh berbagai lembaga HAM serta elemen masyarakat. SETARA Institute yang bergerak memperjuangkan HAM meminta polisi untuk segera melakukan penyelidikan yang adil terkait kerusuhan di Tolikara.

Kaum Gusdurian juga melalui laman resminya sangat mengecam kejadian ini. Mereka mendesak kepolisian segera mengusut tuntas perkara ini dan menangkap para tersangka yang tidak bertanggungjawab tersebut. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) menyatakan akan membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki insiden kerusuhan ini. Pasalnya, GMKI masih menilai terdapat banyak kejanggalan pada kasus ini.

Sejauh ini, pemerintah sudah bergerak untuk menyelesaikan kasus ini. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti pasca kejadian langsung berkunjung ke Distrik Karubaga, Tolikara tempat peristiwa itu terjadi. Pada kesempatan itu, kepolisian bersama bupati Tolikara memberi bantuan kepada keluarga korban kerusuhan tersebut. Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumulo juga dijadwalkan sudah berkunjung ke tempat perkara untuk mendapatkan informasi yang valid dan detil terkait kasus tersebut. Staf khsus Presiden Joko Widodo yakni Lenis Kogoya juga berkunnjung ke daerah tersebut.

Pihaknya berjanji akan bekerjasama dengan kepolisian, komnas HAM dan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama bersinergi mengusut tuntas kasus ini. Informasi terakhir dari kepolisian menyampaikan bahwa identitas para pelaku penyerangan sudah diketahui dan dalam proses pengejaran. Harapannya, semua pelaku segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya serta diberi sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Tugas kita sebagai masyarakat tentu juga ada. Mari jangan mudah terprovokasi dengan kejadian ini. Mari lebih netral dan menjunjung tinggi keberagaman dengan tidak melakukan pembalasan. Sebaiknya kita serahkan seluruhnya kepada aparat hukum agar bisa menyelesaikan kasus ini. Semoga kejadian ini juga menjadi peringatan bagi kita agar ke depannya, kita lebih menghargai agama lainnya agar tercipta kerukunan di tengah keberagaman. Dengan begitu, terwujudlah dasar-dasar pada Pancasila kita. 


(Penulis adalah pemerhati Masalah Ekonomi, Pendidikan dan Sosial dan Politik, Staf Pengajar di Quantum College Medan, Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Alumnus Universitas Negeri Medan.)

Selasa, 14 Juli 2015

UU Guru Gagal, Apa Kerja Pemerintah?

Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Selasa 14 Juli 2015

Sebagai pendidik profesional dengan tu­gas utama mendidik, mengajar, membim­bing, mengarahkan, melatih, menilai, dan me­­ngevaluasi peserta didik, guru profesional harusnya memiliki kualifikasi akademik mi­ni­mum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, pro­fesional, sosial dan kepribadian), memili­ki sertifikat pendidik, dan mewujudkan pendi­di­kan yang bermutu.

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudu­kan guru sebagai tenaga profesional dibukti­kan dengan sertifikat pendidik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa profesio­nal adalah pekerjaan atau kegiatan yang dila­kukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecaka­pan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Kinerja dan kompetensi guru memikul tang­gung jawab utama dalam tran­sformasi orientasi peserta didik dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketergantungan menjadi mandiri, dari tidak terampil menjadi terampil, dengan metode­-metode pembelajaran bukan lagi mempersiapkan peserta didik yang pasif, melainkan peserta didik berpengetahuan yang senan­tiasa mampu menyerap dan menyesuaikan diri dengan infor­masi baru dengan berfikir, ber­tanya, menggali, mencip­ta dan mengembangkan cara-cara ter­tentu dalam memecahkan mas­alah yang berkaitan dengan kehidupannya. Inilah yang menjadi UU Guru yang dirancang oleh pemerintah dan semestinya sudah terwujud di masa ini.

Namun nampaknya sejauh ini, pemerintah gagal mewujudkan UU Guru tersebut. Pasalnya, pendidikan dan pelatihan yang seharusnya diterima guru agar profesional kini semakin tidak jelas. Jika pun pada tahun 2013 lalu ada pelatihan, itu khusus pelatihan terkait pelaksa­naan Kurikulum 2013, bukan dirancang untuk meningkatkan kompetensi guru. Ironisnya, sekarang malah kebijakan Kemdikbud semakin tidak jelas. Tidak ada tanda-tanda amanat itu diselesaikan.

Seharusnya, paling lambat 10 tahun sejak UU itu disahkan, guru sudah harus berkuali­fikasi pendidikan Strata 1 (S-1) atau Diploma 4 (D-4) dan bersertifikat pendidik. Namun, sampai saat ini masih terdapat sekitar 40 per­sen guru yang belum S-1 atau D-4, se­dang­kan sekitar 45 persen guru belum ber­serti­fikat pendidik. Arti­nya selama ini, peserta didik mendapat layanan tidak adil dari kondisi guru yang beragam.

Kualifikasi pendidikan maupun sertifikasi guru yang belum sesuai standar juga memengaruhi tunjangan profesi yang diterimanya. Kesejahteraan guru belum terpenuhi. Pasal 14 Ayat (1) huruf a dalam UU Guru tersebut menyebutkan, guru seharusnya memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup serta berhak mendapatkan kesejahteraan sosial lainnya. Faktanya, jutaan guru penuh waktu dengan dedikasi tinggi masih berpenghasilan minim. Miris­nya lagi, banyak dari mereka yang berpeng­hasilan sekitar Rp250.000 per bulan.

Guru honorer juga masih menjadi proble­matika dalam dunia pendidikan di negeri ini. Beberapa waktu setelah dilantik, Anies Baswedan selaku Mendikbud RI pernah berjanji bahwa guru (honorer) akan menda­pat Upah Minimum Regional (UMR). Nyata­nya hingga sekarang, janji itu hanya sebatas wacana. Belum ada tindaklanjut pemerintah yang ril mengenai realisasi janji tersebut.

Kemudian, Pembayaran tunjangan profesi guru (TPG) tahun 2015 juga masih belum ter­laksana dengan baik. Hingga Juli 2015, banyak guru bersertifikat pendidik belum menerima tunjangan. Lalu, apa kerja peme­rintah di bidang pendidikan selama ini?

Dievaluasi dan Diwujudkan

Mau tidak mau, pemerintah harus segera mengevaluasi diri dan segera membenahi pendidikan kita dengan mewujudkan UU Guru tersebut. Permasalahan rendahnya Kom­petensi guru, realisasi Tunjangan Pro­fesi Guru (TPG) dan masalah guru honorer harus segera dituntaskan.

Seperti yang kita ketahui, pendidikan merupakan unsur dasar terpenting dalam menentukan nasib manusia di masa depan­nya. Tentu, baik tidaknya manusia yang dihasilkan oleh pendidikan ditentukan oleh unsur pendidiknya. Oleh karena itu, kompe­tensi guru harus benar-benar direalisasikan dengan baik dan secara berkualitas pula.

Selama ini, pemerintah masih setia de­ngan program sertifikasi guru sebagai parameter profesional atau tidaknya seorang guru tersebut. Mekanismenya pun masih tetap menuai kontra dari berbagai pihak. Pasalnya, sertifikasi guru yang lebih sering disebut Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) tersebut hanya diadakan selama 10 hari. Artinya, pemerintah sedang membuat standar yang tidak masuk akal dalam men­ciptakan guru profesional yang mengua­sai ilmu pedagogik.

Seharusnya, pemerintah melalui Kemdik­bud melakukan program peningkatan kom­petensi guru secara berkala bukan dengan waktu yang singkat. Benar, untuk menja­lan­kan sebuah program yang baik dan ber­kualitas membutuhkan dana atau modal yang cukup besar. Namun itulah resiko yang harus diambil oleh negara jika benar-benar ingin menciptakan dunia pendidikan yang berkua­litas di negeri ini supaya bangsa ini tidak lagi dibelenggu pendidikan yang karut-marut.

Kemudian, tidak hanya kompetensi tetapi pemerintah juga perlu meningkatkan kese­jah­teraan guru di Indonesia. “Logika tidak berjalan jika logistik terhambat”, demikian kalimat yang sering terdengar dari mulut masyarakat. Kedengarannya seperti serakah, namun jika dipahami, kalimat itu memang benar-benar ril adanya dalam kehidupan manusia. Guru juga manusia yang ingin me­nikmati hasil jerih lelahnya, pelaya­nannya, pengabdiannya yang setulus hati, bukan semata hanya untuk menyalurkan ilmu yang mereka miliki. Peme­rintah harus memberi keadilan kepada guru-guru di Indonesia baik PNS maupun honorer.

Wacana untuk memberikan upah minimum guru honorer yang dulu terlontar dari Mendikbud pun dipikir penting untuk direalisasikan. Selama ini, guru-guru honorer di Indonesia berjuang mati-matian untuk bekerja sepanjang hari dalam seminggu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik untuk diri maupun keluarga. Tat kala mereka harus kehilangan momen ber­harga bersama keluarga khususnya bersama anak-anak mereka hanya untuk mendapat gaji yang cukup. Tentu resikonya berat apalagi kita ketahui akhir-akhir ini banyak kasus-kasus yang mengorbankan anak-anak. Salah satu faktor pendukung terjadinya kasus-kasus itu karena berku­rangnya waktu bersama antara orangtua dan anak.

Jadi pemerintah tidak saatnya lagi menu­tup mata dalam memajukan dunia pendi­dikan tanah air. Pemerintah tidak saatnya lagi menutup telinga terhadap jeritan para unsur-unsur pendidikan tanah air. Pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan-kebijakan pro pendidikan yang bisa merevolusi kondisi pendidikan saat ini. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, kita berharap semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan dampak positifnya. Pemerintah dikagumi, guru sejahtera dan peserta didik (masyarakat) memiliki kualitas pendidikan yang tinggi. ***


Penulis Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan Politik. Staf Pengajar di Quantum College Medan, Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Alumnus Universitas Negeri Medan.

Jumat, 10 Juli 2015

Krisis Yunani dan Langkah Antisipasif Indonesia


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Waspada Online, Kamis 9 Juli 2015


Baru-baru ini negara Yunani mendeklarasikan kebangkrutan negara tersebut akibat tidak mampu membayar utang senilai 1,54 miliar euro (Rp 22 triliun) ke International Monetary Fund (IMF) yang jatuh tempo tanggal 6 juli 2015. Negara tersebut meminjam uang ke IMF untuk membayarkan dana pensiun, gaji pegawai, dan berbagai subsidi karena pendapatan negaranya tidak sanggup untuk menutup semua  pengeluaran.

Setelah mempelajari latar belakang kebangkrutan Yunani, penulis menyimpulkan ada 3 penyebab utama kebangkrutan itu. Pertama,  Pemborosan. Pada tahun 2004 Yunani menyelenggarakan 28th Summer Olympics yang menghabiskan anggaran dengan jumlah besar. Pembangunan berbagai infrastruktur seperti kereta bawah tanah demi berlangsungnya acara itu dilakukan secara besar-besaran hingga pada akhirnya Yunani harus  kembali berhutang kepada berbagai pihak. Kedua, korupsi pajak yang merajalela. Kasus korupsi dana pajak di Yunani tiap tahun terus meningkat. Ketiga, konflik antar elite partai yakni Partai Sosialis dan Demokrat. Konflik ini membuat stabilitas politik dalam negeri Yunani menajadi karut-marut. Alhasil, banyak investor asing mengurungkan niat untuk berkerjasama dengan Yunani.

Tahun 2015 ini menjadi puncak kebangkrutan Yunani. Dampak kebangkrutan itu kian mencekik rakyat. Segala kebutuhan hidup rakyat terancam, pengangguran meningkat, kriminalitas merajalela, dan terjadi krisis kemanusiaan yang tak terbendung.


Beberapa Negara
 
Yunani bukanlah satu-satunya negara di dunia yang menelan pil pahit kebangkrutan. Argentina, salah negara di benua Amerika ini juga bangkrut dengan total utang sebesar US$ 95 miliar. Pada Juli 2014, Argentina dinyatakan gagal bayar (default), tidak bisa membayar utangnya kepada kreditur. Sampai saat ini, status Argentina masih gagal bayar. Puerto Rico baru-baru ini juga mendeklarasikan kebangkrutan yang dialami negara tersebut. Tercatat, Puerto Rico memiliki total utang sebesar US$ 73 miliar. Negara persemakmuran Amerika Serikat ini, juga tidak mampu membayar utang obligasinya karena kehabisan uang tunai.

Berikutnya negara Jamaika dengan utang US$ 7,9 miliar. Kebangkrutan tersebut ditengarai  negara ini melakukan belanja anggaran besar bertahun-tahun. Tingginya inflasi membuat Jamaika tidak bisa membayar utang-utangnya. Negara Ekuador tercatat mengalami kebangkrutan dengan total utang US$ 3,2 miliar. Walaupun memiliki sumber daya alam yang kaya, namun Ekuador tidak mampu membayar utang tersebut. Pada tahun 2008, Zimbabwe, salah satu negara di kawasan Afrika juga mencatatkan kisah kelam dalam sejarah perekonomiannya. Kala itu, salah satu negara miskin di Afrika ini terlilit utang sebesar US$ 4,5 miliar.

Republik Nauru, negara kecil yang dulunya mamkmur ini mengalami kebangkrutan dengan total utang mencapai 240 juta dolar. Angka itu jauh lebih besar dari APBN negara itu sendiri. Disinyalir, kemiskinan yang ditelan Nauru ditengarai borosnya negara tersebut akan barang impor akibat terlela dengan kekayaan yang mereka dapatkan dari alam mereka. jadi saat sumber daya alam yang mereka miliki habis, akhirnya kebangkrutan negara itupun tidak bisa dicegah. Kini negara itu, jauh dari kata makmur.

Seyogiyanya, kisah tragis negara-negara di atas menjadi alarm bagi negara-negara lain yang juga terlilit utang internasional tak terkecuali negara kita, Indonesia. IMF mencatat, Indonesia masuk dalam daftar negara tak mampu membayar utang dan terancam menjadi negara bangkrut bersama dengan negara Venezuela, Mesir, Pakistan,Timor Leste, Spanyol, Portugal, dan Italia.

Posisi ini tentu membuat negara kita was-was. Pasalnya, sekarang ini sudah begitu banyak indikasi yang ril yang bisa mengakibatkan Indonesia kembali bangkrut seperti yang terjadi pada tahun 1998 lalu. Pertama, utang Indonesia masih tinggi dimana hingga Mei 2015 totalnya mencapai 2.845 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis dan tentu butuh waktu yang panjang untuk melunasinya. Kedua, Nilai tukar rupiah yang kian hari kian merosot. Tercatat, hingga di awal Juli ini, rupiah masih setia bercokol pada posisi Rp 13.400 rupiah. Bahkan, banyak pakar currency dunia dan analisis blumberg menyebutkan rupiah akan terjun bebas ke angka Rp 17.000 per satu US dólar dalam tiga bulan ke depan. Tahun 2016 depan, rupiah bahkan diprediksikan tembus Rp 25.000/dólar AS. Jika hal itu terjadi, kerusuhan tahun 1998 bukan tidak mungkin terulang kembali.

Ketiga, tingginya aktivitas korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang tahun 2014, terdapat 629 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1328 orang dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp5,29 triliun. Keempat, eksploitasi sumber daya alam yang masih terus marak terjadi seperti sumber daya alam laut, hutan, migas,  dan pertambangan lainnya yang merugikan negara ribuan triliun rupiah. Tentu, akibat eksploitasi ini pendapatan negara menjadi menipis. Kelima, kemalasan masyarakat membayar pajak. Situs perpajakan (Pajak.go.id) melansir bahwa 70 persen APBN Indonesia bersumber dari pajak. Artinya, jika banyak perusahaan, UKM, wiraswasta, PNS dan masyarakat tidak taat membayar pajak maka kas negara akan mengalami krisis. Imbasnya, negara akan meminjam uang dari internasional untuk menutupi kebutuhan anggaran dalam negeri. Hal ini nantinya bisa memicu kebangkrutan.

Keenam, stabilitas politik kian karut marut. Wajah perpolitikan di Indonesian selalu menuai percekcokan yang tak lain disebabkan oleh kepentingan pribadi, kelompok atau organisasi. Banyak ditemukan ketidakharmonisan antara eksekutif dan legislatif juga bahkan antara rakyat dengan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif. Masyarakat selama ini seringkali menjadi penonton karut marut perpolitikan tanah air. Satu koalisi partai menjatuhkan koalisi partai lain. Kinerja satu lembaga diprotes oleh lembaga lain demi kepentingan lembaga tertentu. Ketidaksatuhatian pemerintah ini tentu bisa memicu ketegangan politik yang berimbas pada stabilitas nasional. Jika ini terjadi, seluruh sektor pemerintahan pastinya akan runtuh dan mengakibatkan kericuhan yang tak terbendung di masyarakat.

Ketujuh, minimnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Fakta di lapangan menunjukkan banyak rakyat tidak mau tahu apapun yang dikerjakan oleh pemerintah. Rakyat menilai, semua pemimpin sama saja, hanya mengubar janji-janji semata. Hal ini tentu sangat tidak baik terjadi dalam suatu negara. Harusnya, negara dibangun untuk lebih maju lagi tidak hanya oleh pemerintah saja melainkan rakyat. Sinergitas yang terbentuk antara pemerintah dengan rakyat tentu akan menjaga keamanan dalam negeri.


Berbenah Diri
 
Indonesia masih punya kesempatan untuk tidak kembali jatuh dalam kebangkrutan seperti 1998 lalu. Akan tetapi dengan syarat, Indonesia harus melakukan langkah-langkah antisipasif. Tidak begitu sulit namun membutuhkan kesatuhatian dan kemauan untuk sama-sama membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Pemerintah bisa meminimalisir utang negara dengan berbagai strategi.

Pertama, memperkuat sektor kelautan. Sumber daya laut yang begitu berkelimpahan jika masuk ke kas negara, bisa menutupi kebutuhan negara kita. Pasalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Indonesia sudah mengalami kerugian sebesar 3.000 triliun rupiah dari sektor kelautan. Oleh sebab itu, pemerintah harus menindak tegas para pelaku eksploitasi serta oknum-oknum pejabat yang “bermain” di sektor tersebut. Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang memberi efek jera bagi oknum yang tidak bertanggungjawab. Kedua, memutuskan rantai korupsi di tanah air. Meskipun bukan pekerjaan yang mudah, namun bukan tidak mungkin korupsi di tanah air bisa dicegah. Oleh sebab itu, negara ini butuh orang-orang bersih untuk mengerjakan itu. Kita berharap, seleksi calon pimpinan KPK yang masih berlangsung sekarang ini akan menghasilkan pimpinan KPK yang baru, jujur, terbuka dan bersih dari segala kasus suap, gratifikasi dan praktek korupsi lainnya. Dengan ketiadaan korupsi di negeri ini, tentu uang negara pun tidak akan hilang dan perekonomian tanah air pun akan berjalan dengan baik.

Ketiga, menyatukan visi dan misi antar pemimpin di tanah air ini. Menomorduakan kepentingan pribadi dan kelompok menjadi kunci utama terciptanya kesatuan visi dan misi dalam upaya memajukan bangsa ini. harapannya, setiap unsur dalam pemerintahan fokus pada kinerja masing-masing dan terus berjuang untuk mempertahankan stabilitas nasional demi kesejahteraan negara. Keempat, menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akutnya ketidakpercayaan kepada pemerintah disebabkan karena banyaknya program pemerintah yang tidak pro rakyat. Oleh karena itu, pemerintah harus berpikir keras untuk membuat kebijakan atau program yang benar-benar hasilnya bisa dicecap oleh rakyat khususnya rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
 
Tidak ada kata terlambat jika sejak dini pemerintah bangkit dan bekerja merevolusi nasib negeri ini menjadi lebih  baik. Yakinlah, dengan niat dan tindakan ril yang dikerjakan dengan sepenuh hati tidak akan menyebabkan kebangkrutan di negara dengan penduduk terbesar keempat dunia ini.
 
 
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Ekonomi dan Sosial. Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia)