Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Malut Post, 17 November 2015
Dramawan dan sineas
Arifin C Noer pernah mengatakan: jangan sepelekan badut atau pelawak (joker)
karena badut adalah ”raja kebudayaan”. Predikat itu bisa dimaknai: subyek yang
memiliki otoritas kultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental
(karakter) masyarakat. Yakni, dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner,
dan elegan.
Memahami Srimulat
bisa juga di dalam konteks cara pandang Arifin C Noer di atas. Grup lawak
Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an
hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup
yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia
tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan, seperti halnya yang
terbaca dalam pesan Anwari dalam kutipan di atas. Dalam konteks itu, menurut
Anwari, Srimulat telah menjadi subkultur (baca: kebudayaan khusus yang timbul
karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya).
Srimulat tampil
di dalam masyarakat urban perkotaan dengan mengusung kultur Jawa Mataraman.
Kata ”Mataraman” merujuk pada jejak kekuasaan Kerajaan Mataram Baru sejak era
Hadiwijaya di Pajang Jawa Tengah, Panembangan Senopati di Kotagede Yogyakarta,
Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Pleret dan di Kerta Bantul, hingga Sunan
Pakubuwono Surakarta dan Pangeran Mangukubumi/ Hamengku Buwono I di Yogyakarta.
Oase kaum urban
Kultur Jawa
Mataraman, selain telah melahirkan kesenian klasik dan kesenian rakyat, juga
kesenian lawak dengan genre dagelan mataram (Basiyo dan kawan-kawan) di wilayah
Yogyakarta. Spirit dagelan mataram itu ”diadopsi” Srimulat secara populer.
Memanfaatkan budaya pop/massa, Srimulat menemukan bahasa ungkap yang
artikulatif dan komunikatif sehingga mampu membangun koneksitas yang intens
dengan masyarakat urban perkotaan (Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Surakarta).
Lawakan Srimulat
menjadi oase di tengah ”gurun pasir” kehidupan kaum urban yang lebih lekat
dengan kultur industri daripada kuyup dengan kultur agrarisnya. Bagi masyarakat
urban perkotaan yang berasal dari Jawa, Srimulat adalah ”bilik budaya” yang
selalu perlu ditengok untuk melakukan (pinjam istilah Umar Kayam) konfirmasi
nilai sekaligus pengukuhan: mereka merasa tetap menjadi bagian dari komunitas
Jawa.
Adapun bagi
publik di luar etnis Jawa, Srimulat menjadi wahana untuk rileksasi di tengah
tekanan kehidupan kota yang keras. Publik Srimulat semakin meluas ketika
Srimulat menemukan panggung barunya di televisi. Semula Srimulat tampil rutin
di TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya media massa audio-visual; kemudian
mulai merambah ke stasiun-stasiun televisi swasta.
Hilangnya tobong
Tobong atau
gedung pertunjukan ketoprak atau lawak semacam Srimulat kini telah hilang
seiring dengan makin menguatnya pragmatisme. Masyarakat kini semakin individual
dan tidak terlalu membutuhkan kultur tatap muka secara langsung. Mereka lebih
memilih internet dan televisi, termasuk untuk menyaksikan kesenian.
Seiring dengan
keluarnya Srimulat dari dunia panggung maupun studio televisi, Indonesia
tetaplah negeri yang suka tertawa. Bahkan untuk hal-hal yang konyol atau
sengaja dibuat konyol. Buktinya, paket-paket acara komedi (tepatnya banyolan)
cukup diminati penonton. Grup-grup lawak dari anak-anak muda pasca-Prambors DKI
dan Bagito bermunculan dari audisi lawak televisi.
Juga muncul
dagelan pop Yuk Keep Smile (YKS), Happy Show, Pesbuker, Comedy Night Live,
Indonesia Lawak Klub, Stand Up Comedy, dan lainnya. Pelaku atau
pelawak-pelawaknya mencoba menggunakan resep: perpaduan antara
humor/dagelan/kelucuan/kekonyolan dengan hal-hal yang sensasional, seperti
tubuh wanita.
Lalu di mana
Srimulat? Kelompok yang loyal pada jalur ideal sebuah lawakan itu? Secara
pribadi pelawak-pelawak eks Srimulat mereka mungkin bertahan/survive.
Namun sebagai kekuatan kelompok yang menggetarkan dan historis, Srimulat kini
tinggal kenangan.
Indonesia memang
masih menjadi negeri yang suka tertawa. Namun, kini tawa yang muncul
benar-benar karena kekonyolan hidup sebenarnya. Bukan kekonyolan artifisial
yang muncul karena kreativitas yang dihasilkan pelawak di atas panggung.
Karena itu,
kritisisme dunia lawak sebenarnya adalah semacam tindakan ”subversif” para
seniman lawak terhadap realitas formal, umum dan mapan yang ada di masyarakat. Tawa
yang meledak pun tidak lagi sekedar impuls motorik yang fisikal, dan hanya
berisiko mengguncang atau mengencangkan perut. Dalam lawak subversif itu ada
gelombang energi yang diam-diam bergerak dan menjalar dalam pikiran, dalam
hati, dalam kemanusiaan, sehingga orang bukan hanya mengalami katarsis, tetapi
juga tercerahkan.
Krisis lawak
Saat ini,
lawak(an) cenderung hanya menjadi komoditas industri yang kurang tertarik pada
kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian,
termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas
dan forum-forum lain. Sebagian masyarakat lain menganggap kritisisme dalam
kesenian dibutuhkan dalam setting masyarakat.
Kebutuhan itu
muncul karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan
simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi publik. Hal itu lahir dari
proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi.
Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya
pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis
sosial.
Maka, ketika
politik macet dan hanya menjadi jagat ”jual-beli” kekuasaan, seni lawak perlu
tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner, dan elegan.
Seni lawak mampu
menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya, pada
pemuliaan manusia. Peran semua yang berkepentingan dibutuhkan. Dan mesti segera
dimulai. Andakah yang pertama?
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar