Jumat, 20 November 2015

Indonesia Negeri Tertawa



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Malut Post, 17 November 2015
 
Dramawan dan sineas Arifin C Noer pernah mengatakan: jangan sepelekan badut atau pelawak (joker) karena badut adalah ”raja kebudayaan”. Predikat itu bisa dimaknai: subyek yang memiliki otoritas kultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental (karakter) masyarakat. Yakni, dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner, dan elegan.

Memahami Srimulat bisa juga di dalam konteks cara pandang Arifin C Noer di atas. Grup lawak Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan, seperti halnya yang terbaca dalam pesan Anwari dalam kutipan di atas. Dalam konteks itu, menurut Anwari, Srimulat telah menjadi subkultur (baca: kebudayaan khusus yang timbul karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya).

Srimulat tampil di dalam masyarakat urban perkotaan dengan mengusung kultur Jawa Mataraman. Kata ”Mataraman” merujuk pada jejak kekuasaan Kerajaan Mataram Baru sejak era Hadiwijaya di Pajang Jawa Tengah, Panembangan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Pleret dan di Kerta Bantul, hingga Sunan Pakubuwono Surakarta dan Pangeran Mangukubumi/ Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Oase kaum urban
Kultur Jawa Mataraman, selain telah melahirkan kesenian klasik dan kesenian rakyat, juga kesenian lawak dengan genre dagelan mataram (Basiyo dan kawan-kawan) di wilayah Yogyakarta. Spirit dagelan mataram itu ”diadopsi” Srimulat secara populer. Memanfaatkan budaya pop/massa, Srimulat menemukan bahasa ungkap yang artikulatif dan komunikatif sehingga mampu membangun koneksitas yang intens dengan masyarakat urban perkotaan (Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Surakarta).

Lawakan Srimulat menjadi oase di tengah ”gurun pasir” kehidupan kaum urban yang lebih lekat dengan kultur industri daripada kuyup dengan kultur agrarisnya. Bagi masyarakat urban perkotaan yang berasal dari Jawa, Srimulat adalah ”bilik budaya” yang selalu perlu ditengok untuk melakukan (pinjam istilah Umar Kayam) konfirmasi nilai sekaligus pengukuhan: mereka merasa tetap menjadi bagian dari komunitas Jawa.

Adapun bagi publik di luar etnis Jawa, Srimulat menjadi wahana untuk rileksasi di tengah tekanan kehidupan kota yang keras. Publik Srimulat semakin meluas ketika Srimulat menemukan panggung barunya di televisi. Semula Srimulat tampil rutin di TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya media massa audio-visual; kemudian mulai merambah ke stasiun-stasiun televisi swasta.

Hilangnya tobong
Tobong atau gedung pertunjukan ketoprak atau lawak semacam Srimulat kini telah hilang seiring dengan makin menguatnya pragmatisme. Masyarakat kini semakin individual dan tidak terlalu membutuhkan kultur tatap muka secara langsung. Mereka lebih memilih internet dan televisi, termasuk untuk menyaksikan kesenian.

Seiring dengan keluarnya Srimulat dari dunia panggung maupun studio televisi, Indonesia tetaplah negeri yang suka tertawa. Bahkan untuk hal-hal yang konyol atau sengaja dibuat konyol. Buktinya, paket-paket acara komedi (tepatnya banyolan) cukup diminati penonton. Grup-grup lawak dari anak-anak muda pasca-Prambors DKI dan Bagito bermunculan dari audisi lawak televisi.

Juga muncul dagelan pop Yuk Keep Smile (YKS), Happy Show, Pesbuker, Comedy Night Live, Indonesia Lawak Klub, Stand Up Comedy, dan lainnya. Pelaku atau pelawak-pelawaknya mencoba menggunakan resep: perpaduan antara humor/dagelan/kelucuan/kekonyolan dengan hal-hal yang sensasional, seperti tubuh wanita.

Lalu di mana Srimulat? Kelompok yang loyal pada jalur ideal sebuah lawakan itu? Secara pribadi pelawak-pelawak eks Srimulat mereka mungkin bertahan/survive. Namun sebagai kekuatan kelompok yang menggetarkan dan historis, Srimulat kini tinggal kenangan.

Indonesia memang masih menjadi negeri yang suka tertawa. Namun, kini tawa yang muncul benar-benar karena kekonyolan hidup sebenarnya. Bukan kekonyolan artifisial yang muncul karena kreativitas yang dihasilkan pelawak di atas panggung.

Karena itu, kritisisme dunia lawak sebenarnya adalah semacam tindakan ”subversif” para seniman lawak terhadap realitas formal, umum dan mapan yang ada di masyarakat. Tawa yang meledak pun tidak lagi sekedar impuls motorik yang fisikal, dan hanya berisiko mengguncang atau mengencangkan perut. Dalam lawak subversif itu ada gelombang energi yang diam-diam bergerak dan menjalar dalam pikiran, dalam hati, dalam kemanusiaan, sehingga orang bukan hanya mengalami katarsis, tetapi juga tercerahkan.

Krisis lawak
Saat ini, lawak(an) cenderung hanya menjadi komoditas industri yang kurang tertarik pada kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian, termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas dan forum-forum lain. Sebagian masyarakat lain menganggap kritisisme dalam kesenian dibutuhkan dalam setting masyarakat.

Kebutuhan itu muncul karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi publik. Hal itu lahir dari proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi. Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis sosial.

Maka, ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ”jual-beli” kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner, dan elegan.

Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya, pada pemuliaan manusia. Peran semua yang berkepentingan dibutuhkan. Dan mesti segera dimulai. Andakah yang pertama?

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar