Jumat, 20 November 2015

Memperberat Hukuman Bagi Politikus Korup



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, 4 November 2015 

Penangkapan Dewie Yasin Limpo dan penetapannya sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan tingkah laku para politikus kita sangat sulit berubah. Dalam satu tahun terakhir, sudah tiga anggota DPR yang dicokok KPK. Sebelum Dewie, ada Adriansyah dan Patrice Rio Capella yang sudah ditangkap KPK. Kita berasumsi bahwa KPK tidak pernah salah tangkap. Kecuali beberapa tersangka yang memenangkan upaya praperadilan, semua tersangka KPK dihukum penjara, bahkan sebagian dimiskinkan dan dicabut hak-hak politiknya.

Namun, upaya hukum tak juga membuat para politikus jera. Terbukti mereka terus bergerilya memainkan anggaran proyek pemerintah. Dewie Limpo diduga menerima suap terkait proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Deiyai, Papua, yang anggarannya sedang dibahas DPR. Nilai proyeknya ratusan miliar rupiah. Atas perannya, Dewie menerima uang S$ 177.700, sisanya akan dibayarkan kemudian. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima tersangka. Selain Dewie, ada juga pejabat daerah dan pengusaha yang terlibat dalam kasus tersebut.

Publik sudah sangat geram melihat kelakuan para politikus yang tak pernah berusaha memperbaiki diri untuk lebih memikirkan rakyat ketimbang kantong sendiri. Dalam kondisi rakyat sedang susah karena kesulitan ekonomi dan berbagai bencana yang terjadi belakangan ini, mereka seolah hidup di dunia lain, tak lagi peduli nasib konstituen/pemilihnya. Mereka malah menggunakan “aji mumpung” untuk mememanfaatkan jabatannya guna kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pantas saja sejumlah survei memperlihatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR karena memang terlalu telanjang mereka mengingkari harapan rakyat.

Selain itu, prestasi DPR juga sangat rendah dalam menjalankan kewenangan legislasi dan pengawasan pemerintah. Sebaliknya, beberapa survei menempatkan KPK dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai institusi yang tetap dihormati dan dipercaya. Kita bisa menarik kesimpulan bahwa rakyat umumnya mendambakan kepastian hukum dan keadilan, yang mereka tunjukkan pada kepercayaan mereka terhadap KPK. Rakyat juga mendambakan situasi stabil dan aman, terlihat dari kepercayaan mereka yang tinggi kepada TNI.

Muncul pertanyaan, mengapa kepercayaan kepada penegak hukum lain, seperti jaksa, polisi, dan hakim rendah? Jawabannya bisa dilihat dari banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim yang sangat melukai perasaan publik. Penyalahgunaan wewenang itu seperti “pagar makan tanaman”. Sebab pejabat bersangkutan bertugas menjaga tingkat martabat tertentu, tetapi mengabaikan dan melecehkannya. Para penyalahguna wewenang itu pantas dihukum ganda seberat-beratnya. Tingkat kerugian yang diakibatkan tindakannya bisa sangat besar karena ia tidak lagi berbuat dengan hati nuraninya, tetapi nafsu serakah yang dampak negatifnya sangat luas.

Itu sebabnya kita sependapat dengan keputusan pengadilan beberapa waktu lalu yang mencabut hak-hak politik para koruptor, seperti dijatuhkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq dan Irjen Djoko Susilo. Pencabutan hak politik pada dasarnya merupakan tambahan atas hukuman yang sudah ada. Dengan keputusan itu, terpidana kehilangan hak untuk memilih dan dipilih, apalagi menduduki jabatan publik. Banyak pihak yang mengusulkan pencabutan hak politik tersebut menjadi standar yang dikenakan terhadap para terpidana kasus korupsi sehingga benar-benar menimbulkan efek jera.

Anggota DPD, I Wayan Sudirta, pernah mengatakan semua terpidana kasus korupsi yang melakukan kejahatannya karena kedudukan, aktivitas, atau posisi politiknya harus dicabut hak-hak politiknya. KPK mendorong pencabutan hak politik terhadap koruptor karena kejahatan ini bersifat luar biasa dan sangat menyengsarakan banyak orang. Pemberian hukuman tambahan tersebut diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi) hakim-hakim pada tingkat peradilan di bawahnya. Selaku rakyat, kita mesti sependapat dengan argumentasi KPK mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang menyengsarakan banyak orang.

Tentu saja ada kejahatan lain yang tergolong luar biasa, seperti narkotika dan terorisme. Bagi kita di Indonesia, kejahatan narkotika dan terorisme telah menimbulkan kerusakan yang luas, menghancurkan generasi muda, dan kesengsaraan sangat luas dalam masyarakat.
 
Mengingat besarnya intensitas kejahatan korupsi, narkotika, dan terorisme di negeri ini kiranya diperlukan landasan hukum yang lebih kuat, seperti UU, agar pencabutan hak politik bisa menjadi ancaman yang sah bagi para terpidana. Selama ini dasar hukumnya adalah Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor Ayat 1 mengenai pidana tambahan.

Pada masa lalu, hukuman tambahan tersebut bisa berupa kematian perdata (mort civile) bagi pelaku kejahatan berat, tetapi sekarang umumnya tidak diberlakukan. Para politikus, pejabat publik, dan penegak hukum tersangka korupsi semestinya dikenai hukuman tambahan karena mereka telah menyalahgunakan wewenangnya untuk merampas hak rakyat. Selain itu, perlu mulai dipikirkan bagaimana menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap partai politik yang terbukti menerima dan menggunakan uang hasil korupsi dan kejahatan lainnya. Misalnya, parpol tersebut dibekukan atau bahkan dibubarkan.

Sulitnya, kita akan menghadapi resistensi DPR dalam penyusunan aturan yang bisa menjerat mereka. Karena itu, jika Presiden Jokowi memang benar-benar memiliki komitmen tinggi mengenai masalah ini, pemerintah perlu mengambil inisiatif dalam menempuh langkah-langkah politik agar aturan tersebut bisa diwujudkan. Harapannya, dengan semakin diberlakukannya hukuman tambahan bagi para politikus yang korup, prevalensi korupsi di jajaran pejabat publik/politikus bisa dicegah atau dihentikan.

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar