Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, 4 November 2015
Penangkapan Dewie Yasin Limpo dan penetapannya
sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menunjukkan tingkah laku para politikus kita sangat sulit berubah. Dalam satu
tahun terakhir, sudah tiga anggota DPR yang dicokok KPK. Sebelum Dewie, ada
Adriansyah dan Patrice Rio Capella yang sudah ditangkap KPK. Kita berasumsi
bahwa KPK tidak pernah salah tangkap. Kecuali beberapa tersangka yang
memenangkan upaya praperadilan, semua tersangka KPK dihukum penjara, bahkan
sebagian dimiskinkan dan dicabut hak-hak politiknya.
Namun, upaya hukum tak juga membuat para
politikus jera. Terbukti mereka terus bergerilya memainkan anggaran proyek
pemerintah. Dewie Limpo diduga menerima suap terkait proyek pengembangan
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Deiyai, Papua, yang anggarannya sedang
dibahas DPR. Nilai proyeknya ratusan miliar rupiah. Atas perannya, Dewie
menerima uang S$ 177.700, sisanya akan dibayarkan kemudian. Dalam kasus ini,
KPK telah menetapkan lima tersangka. Selain Dewie, ada juga pejabat daerah dan
pengusaha yang terlibat dalam kasus tersebut.
Publik sudah sangat geram melihat kelakuan
para politikus yang tak pernah berusaha memperbaiki diri untuk lebih memikirkan
rakyat ketimbang kantong sendiri. Dalam kondisi rakyat sedang susah karena
kesulitan ekonomi dan berbagai bencana yang terjadi belakangan ini, mereka
seolah hidup di dunia lain, tak lagi peduli nasib konstituen/pemilihnya. Mereka
malah menggunakan “aji mumpung” untuk mememanfaatkan jabatannya guna
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pantas saja sejumlah survei
memperlihatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR karena memang terlalu
telanjang mereka mengingkari harapan rakyat.
Selain itu, prestasi DPR juga sangat rendah
dalam menjalankan kewenangan legislasi dan pengawasan pemerintah. Sebaliknya,
beberapa survei menempatkan KPK dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai
institusi yang tetap dihormati dan dipercaya. Kita bisa menarik kesimpulan
bahwa rakyat umumnya mendambakan kepastian hukum dan keadilan, yang mereka
tunjukkan pada kepercayaan mereka terhadap KPK. Rakyat juga mendambakan situasi
stabil dan aman, terlihat dari kepercayaan mereka yang tinggi kepada TNI.
Muncul pertanyaan, mengapa kepercayaan kepada
penegak hukum lain, seperti jaksa, polisi, dan hakim rendah? Jawabannya bisa
dilihat dari banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para
penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim yang sangat melukai perasaan
publik. Penyalahgunaan wewenang itu seperti “pagar makan tanaman”. Sebab pejabat
bersangkutan bertugas menjaga tingkat martabat tertentu, tetapi mengabaikan dan
melecehkannya. Para penyalahguna wewenang itu pantas dihukum ganda
seberat-beratnya. Tingkat kerugian yang diakibatkan tindakannya bisa sangat
besar karena ia tidak lagi berbuat dengan hati nuraninya, tetapi nafsu serakah
yang dampak negatifnya sangat luas.
Itu sebabnya kita sependapat dengan keputusan
pengadilan beberapa waktu lalu yang mencabut hak-hak politik para koruptor,
seperti dijatuhkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq dan Irjen Djoko Susilo.
Pencabutan hak politik pada dasarnya merupakan tambahan atas hukuman yang sudah
ada. Dengan keputusan itu, terpidana kehilangan hak untuk memilih dan dipilih,
apalagi menduduki jabatan publik. Banyak pihak yang mengusulkan pencabutan hak
politik tersebut menjadi standar yang dikenakan terhadap para terpidana kasus
korupsi sehingga benar-benar menimbulkan efek jera.
Anggota DPD, I Wayan Sudirta, pernah
mengatakan semua terpidana kasus korupsi yang melakukan kejahatannya karena
kedudukan, aktivitas, atau posisi politiknya harus dicabut hak-hak politiknya.
KPK mendorong pencabutan hak politik terhadap koruptor karena kejahatan ini
bersifat luar biasa dan sangat menyengsarakan banyak orang. Pemberian hukuman
tambahan tersebut diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi)
hakim-hakim pada tingkat peradilan di bawahnya. Selaku rakyat, kita mesti sependapat
dengan argumentasi KPK mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang
menyengsarakan banyak orang.
Tentu saja ada kejahatan lain yang tergolong
luar biasa, seperti narkotika dan terorisme. Bagi kita di Indonesia, kejahatan
narkotika dan terorisme telah menimbulkan kerusakan yang luas, menghancurkan
generasi muda, dan kesengsaraan sangat luas dalam masyarakat.
Mengingat besarnya intensitas kejahatan korupsi, narkotika, dan terorisme di
negeri ini kiranya diperlukan landasan hukum yang lebih kuat, seperti UU, agar
pencabutan hak politik bisa menjadi ancaman yang sah bagi para terpidana.
Selama ini dasar hukumnya adalah Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor Ayat 1
mengenai pidana tambahan.
Pada masa lalu, hukuman tambahan tersebut bisa
berupa kematian perdata (mort civile) bagi pelaku kejahatan berat,
tetapi sekarang umumnya tidak diberlakukan. Para politikus, pejabat publik, dan
penegak hukum tersangka korupsi semestinya dikenai hukuman tambahan karena
mereka telah menyalahgunakan wewenangnya untuk merampas hak rakyat. Selain itu,
perlu mulai dipikirkan bagaimana menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap
partai politik yang terbukti menerima dan menggunakan uang hasil korupsi dan
kejahatan lainnya. Misalnya, parpol tersebut dibekukan atau bahkan dibubarkan.
Sulitnya, kita akan menghadapi resistensi DPR
dalam penyusunan aturan yang bisa menjerat mereka. Karena itu, jika Presiden Jokowi
memang benar-benar memiliki komitmen tinggi mengenai masalah ini, pemerintah
perlu mengambil inisiatif dalam menempuh langkah-langkah politik agar aturan
tersebut bisa diwujudkan. Harapannya, dengan semakin diberlakukannya hukuman
tambahan bagi para politikus yang korup, prevalensi korupsi di jajaran pejabat
publik/politikus bisa dicegah atau dihentikan.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar