Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Swara Kita Manado, 12 November 2015
Cerita korupsi tidak akan pernah habis kalau masih banyak orang
berkeinginan untuk tetap mencari kekayaan semata dalam kehidupannya. Dan
Indonesia masih saja menjadi negara yang tidak lepas dari belenggu korupsi.
Bahkan dalam lima tahun terakhir, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saja
tiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8;
pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014
IPK-nya meningkat menjadi 3,4.
Korupsi sepertinya telah menjadi bobrok utama
masyarakat, bahkan menjadi budaya dari kalangan berpangkat sampai rakyat biasa.
Ibarat suatu penyakit sudah menjadi sangat kronis dan sudah menjalar ke seluruh
tubuh sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan sendi-sendi perekonomian. Akibat
korupsi, tidak ada lagi orang yang bisa menjadi pahlawan dan panutan. Yang
banyak berseliweran adalah orang-orang yang mengaku pahlawan.
Parahnya lagi, lebih banyak masyarakat
sekarang yang malah berlomba-lomba menjadi terhormat dengan melakukan korupsi
tanpa malu-malu. Bahkan korupsi itu sudah berani memutuskan hukum secara tidak
benar, atau yang sekarang cukup popular di masyarakat dengan istilah kalau bisa
dipermudah mengapa dipersulit. Wah, tentunya satu istilah yang sangat enak
untuk didengar namun malah menjadi sebuat trend betapa kemudian
seenaknya saja mencuri uang negara. Apakah keadaan ini harus terus
dipertahankan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
Namun tentunya
saat ini yang sangat dicari adalah seorang pahlawan yang mampu memberantas
korupsi yang sepertinya sudahn berurat-berakar di negeri ini. Dicari seorang
yang berani menolak segala sesuatu pemberian hanya untuk kepentingan
pribadinya. Orang yang berani memangkas birokrasi yang semuanya berujung kepada
perilaku korupsi. Inilah yang menjadi sau tanda tanya yang sangat besar dan
menggelayut di dalam setiap pemikiran kita.
Bagaimana frame
pahlawan antikorupsi tentunya sangat sulit untuk dijelaskan. Namun untuk
dasarnya adalah bagaimana sosok hukum itu memberikan jaminan terwujudnya
keadilan dan penegakan peraturan. Tetapi tetap saja hukum malah masih
memberikan celah untuk seseorang dapat lepas misalnya dari jeratan hukum.
Bahkan parahnya lagi, ada seorang tahanan koruptor kelas kakap Gayus Tambunan
yang terus saja membuat aksi sensasional dengan berkeliaran dimana-mana.
Padahal dia harusnya terus berada di dalam penjara akibat perbuatannya yang
merugikan negara selama ini.
Pahlawan
antikorupsi itu tentunya adalah bagaimana hati nurani kita semua mampu berkata
tidak pada saat kita melihat ada sesuatu yang sebenarnya tidak beres. Sesuatu
yang sebenarnya bukan menjadi hak kita. Tidak peduli dengan keadaan lingkungan
sekitar yang memiliki harta berlimpah namun diperoleh dari hasil yang kurang
sehat. Dan yang paling penting adalah bagaimana dia setiap saat takut dengan
Tuhannya terhadap apa yang dilakukannya di muka bumi ini.
Sesungguhnya,
para pahlawan yang berjuang pada zaman revolusi dahulu jelas punya cita-cita
mulia agar negara ini dapat berdiri dengan kukuh dan sejajar dengan
bangsa-bangsa lain. Para pahlawan rela berkorban agar anak cucunya tidak
dicemoohkan oleh bangsa lain. Itulah yang seharunya direnungkan kita semua
bahwa kita memang harus bisa bangkit bukan sebagai negara juara satu koruptor
namun menjadi negara yang nomor satu dalam kebersihannya dan kejujurannya.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar