Jumat, 20 November 2015

Mencari Pahlawan Antikorupsi



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Swara Kita Manado, 12 November 2015
 
Cerita korupsi tidak akan pernah habis kalau masih banyak orang berkeinginan untuk tetap mencari kekayaan semata dalam kehidupannya. Dan Indonesia masih saja menjadi negara yang tidak lepas dari belenggu korupsi. Bahkan dalam lima tahun terakhir, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saja tiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4.

Korupsi sepertinya telah menjadi bobrok utama masyarakat, bahkan menjadi budaya dari kalangan berpangkat sampai rakyat biasa. Ibarat suatu penyakit sudah menjadi sangat kronis dan sudah menjalar ke seluruh tubuh sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan sendi-sendi perekonomian. Akibat korupsi, tidak ada lagi orang yang bisa menjadi pahlawan dan panutan. Yang banyak berseliweran adalah orang-orang yang mengaku pahlawan.

Parahnya lagi, lebih banyak masyarakat sekarang yang malah berlomba-lomba menjadi terhormat dengan melakukan korupsi tanpa malu-malu. Bahkan korupsi itu sudah berani memutuskan hukum secara tidak benar, atau yang sekarang cukup popular di masyarakat dengan istilah kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit. Wah, tentunya satu istilah yang sangat enak untuk didengar namun malah menjadi sebuat trend betapa kemudian seenaknya saja mencuri uang negara. Apakah keadaan ini harus terus dipertahankan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Namun tentunya saat ini yang sangat dicari adalah seorang pahlawan yang mampu memberantas korupsi yang sepertinya sudahn berurat-berakar di negeri ini. Dicari seorang yang berani menolak segala sesuatu pemberian hanya untuk kepentingan pribadinya. Orang yang berani memangkas birokrasi yang semuanya berujung kepada perilaku korupsi. Inilah yang menjadi sau tanda tanya yang sangat besar dan menggelayut di dalam setiap pemikiran kita.

Bagaimana frame pahlawan antikorupsi tentunya sangat sulit untuk dijelaskan. Namun untuk dasarnya adalah bagaimana sosok hukum itu memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan peraturan. Tetapi tetap saja hukum malah masih memberikan celah untuk seseorang dapat lepas misalnya dari jeratan hukum. Bahkan parahnya lagi, ada seorang tahanan koruptor kelas kakap Gayus Tambunan yang terus saja membuat aksi sensasional dengan berkeliaran dimana-mana. Padahal dia harusnya terus berada di dalam penjara akibat perbuatannya yang merugikan negara selama ini.

Pahlawan antikorupsi itu tentunya adalah bagaimana hati nurani kita semua mampu berkata tidak pada saat kita melihat ada sesuatu yang sebenarnya tidak beres. Sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi hak kita. Tidak peduli dengan keadaan lingkungan sekitar yang memiliki harta berlimpah namun diperoleh dari hasil yang kurang sehat. Dan yang paling penting adalah bagaimana dia setiap saat takut dengan Tuhannya terhadap apa yang dilakukannya di muka bumi ini.

Sesungguhnya, para pahlawan yang berjuang pada zaman revolusi dahulu jelas punya cita-cita mulia agar negara ini dapat berdiri dengan kukuh dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Para pahlawan rela berkorban agar anak cucunya tidak dicemoohkan oleh bangsa lain. Itulah yang seharunya direnungkan kita semua bahwa kita memang harus bisa bangkit bukan sebagai negara juara satu koruptor namun menjadi negara yang nomor satu dalam kebersihannya dan kejujurannya.

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar