Jumat, 20 November 2015

Menyambut Baik Tarif Baru Pajak



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Swara Kita Manado, 19 November 2015 

Menjelang akhir tahun ada kabar gembira dari pemerintah yang berencana menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) pribadi dan perusahaan mulai tahun depan. Ini langkah bagus untuk mengurangi beban masyarakat, meski kebijakan ini berisiko menurunkan pendapatan pemerintah.

Rencana penurunan tarif PPh pribadi itu diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro. Ia mengatakan, kebijakan ini bertujuan agar wajib pajak lebih nyaman melaksanakan kewajibannya. Saat ini berlaku empat tariff PPh priabdi berdasarkan tingkat penghasilan tahunan, mulai dari 5 persen hingga 30 persen.

Mengenai tarif PPh badan atau perusahaan, Menkeu Bambang Brodjonegoro telah menyampaikannya dalam pertemuannya dengan 300 pengusaha besar beberapa waktu lalu. Saat ini tarif pajaknya sebesar 25 persen dan akan menjadi sekitar 20 persen atau dibawahnya. Penurunan tariff PPh badan dan perseorangan sekaligus ini bertujuan agar coverage pajak bertambah.

Revisi UU PPh ini akan diusulkan pemerintah setelah kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kebijakan tarif PPH ini akan mengurangi penerimaan PPh tahun depan yang ditargetkan naik 11 persen dari tahun ini menjadi 757,2 triliun. Namun, Bambang yakin target pajak tahun depan bisa ditutupi dengan kebijakan tax amnesty.

Kebijakan tersebut mencerminkan kepekaan pemerintah terhadap harapan masyarakat dan dunia usaha yang menginginkan relaksasi di tengah situasi perekonomian yang sulit. Dunia usaha membutuhkan dorongan pemerintah untuk bisa bangkit dan mengatasi berbagai beban yang makin berat belakangan ini, yaitu berupa keringanan pajak dan kucuran kredit bank yang lebih murah.
Namun, kita masih menunggu kelanjutan pernyataan Menkeu Bambang tersebut, terutama yang berkaitan dengan tarif PPh pribadi. Kemana arah pemerintah dalam memberikan keringanan pajak tersebut, apakah diberikan kepada semua lapisan atau hanya lapisan berpenghasilan tinggi. Pemerintah ingin menyelamatkan dunia usaha atau sekaligus daya beli masyarakat luas.

Bila pemerintah hanya mendengarkan usulan dan keluhan pengusaha kebijakan tersebut kurang berkeadilan. Apalagi pengusaha besar sudah memperoleh bonus tax amnesty, selain pengurangan tairf PPh badan atau perusahaan.

Seperti diingatkan Direktur Eksekutif Center for Indoensia Taxtation Anlysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah juga harus memperhatikan berbagai celah yang harus ditutup. Jangan sampai kebijakan relaksasi pajak tersebut justru membuat dunia usaha memperoleh celah baru untuk menghindari kewajibannya karena saat ini peluang penghindaran pajak (tax avoidance) masih tinggi. Kemudian, sesungguhnya penurunan tarif ini tak serta merta memperluas basis pajak.

Karena itu, kita menyambut kebijakan penurunan tarif Pph pribadi bila diberlakukan secara berkeadilan. Kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah jelas sangat berkepentingan atas keringanan pajak. Bahkan kalau bisa pemerintah memberikan subsidi untuk jenis-jenis pajak lainnya, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal tersebut akan mendongkrak daya beli mereka yang terlanjur tergerus kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.

Dalam kaitan ini, kita mencatat pernyataan Guru Besar Cornell University, Iwan Jaya Aziz, yang menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan daya beli 80 persen penduduk kelas menengah ke bawah,. Ia menilai perekonomian kita sudah krisis. Dia pun pernah menyarankan jika pemerintah mau sepakat bahwa Indonesia krisis, hal yang harus dilakukan adalah menyelamatkan 80 persen masyarakat kelas menengah ke bawah, misalkan dengan menghapuskan pajak. Tujuannya agar daya beli masyarakat tetap terjaga.

Kita menggarisbawahi pentingnya pandangan tersebut karena perlambatan ekonomi sudah mengkhawatirkan. Beberapa kali terjadi deflasi dan menurunnya kontribusi sektor manufaktur. Terjadinya deflasi memperlihatkan pelemahan daya beli masyarakat yang akan sulit sekali dinaikkan bila tidak ada intervensi pemerintah. Sementara itu, penurunan sektor manufaktur merupakan gejala mengkhawatirkan karena di negara mana pun kemajuan ekonomi justru memperlihatkan kontribusi sector manufaktur dan jasa-jasa meningkat.

Kita perlu mencermati masalah ini. Jangan sampai kita salah arah melihat kemajuan yang sebenarnya semu, yang mungkin tumbuh, tetapi hanya dinikmati lapisan kecil. Bila demikian, hal itu sangat mengkhawatirkan karena sekaligus menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin melebar. Indicator rasio gini juga memperlihatkan kesenjangan yang makin melebar tersebut.

Karena itu, kuncinya adalah kejujuran. Pemerintah harus jujur dan bersedia mengubah parameternya dalam melihat kondisi ekonomi rakyat. Misalnya mengenai ukuran pengangguran, kemiskinan dan parameter kesejahteraan lainnya; semuanya sudah usang dan tidak relevan lagi. Bila tidak, setiap klaim penurunan jumlah penduduk miskin dan pengangguran sepenuhnya semu karena tidak menggambarkan kenyataan di lapangan.

Oleh karena itu, kita mesti menyambut positif kebijakan penurunan tarif yang direncanakan pemerintah bila mempertimbangkan aspek keadilan dan tidak justru menambah lebar kesenjangan ekonomi. Bila tidak, dampaknya justru akan memperlebar jurang kaya-miskin dan menempatkan sebagian besar penduduk dalam posisi yang makin bertambah sulit.

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar