Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Swara Kita Manado, 19 November 2015
Menjelang akhir tahun ada kabar gembira dari pemerintah yang berencana
menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) pribadi dan perusahaan mulai tahun
depan. Ini langkah bagus untuk mengurangi beban masyarakat, meski kebijakan ini
berisiko menurunkan pendapatan pemerintah.
Rencana penurunan tarif PPh pribadi itu diungkapkan Menteri Keuangan
(Menkeu) Bambang Brodjonegoro. Ia mengatakan, kebijakan ini bertujuan agar
wajib pajak lebih nyaman melaksanakan kewajibannya. Saat ini berlaku empat
tariff PPh priabdi berdasarkan tingkat penghasilan tahunan, mulai dari 5 persen
hingga 30 persen.
Mengenai tarif PPh badan atau perusahaan, Menkeu Bambang Brodjonegoro
telah menyampaikannya dalam pertemuannya dengan 300 pengusaha besar beberapa
waktu lalu. Saat ini tarif pajaknya sebesar 25 persen dan akan menjadi sekitar
20 persen atau dibawahnya. Penurunan tariff PPh badan dan perseorangan
sekaligus ini bertujuan agar coverage pajak bertambah.
Revisi UU PPh ini akan diusulkan pemerintah setelah kebijakan pengampunan
pajak (tax amnesty) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kebijakan
tarif PPH ini akan mengurangi penerimaan PPh tahun depan yang ditargetkan naik
11 persen dari tahun ini menjadi 757,2 triliun. Namun, Bambang yakin target
pajak tahun depan bisa ditutupi dengan kebijakan tax amnesty.
Kebijakan tersebut mencerminkan kepekaan pemerintah terhadap harapan
masyarakat dan dunia usaha yang menginginkan relaksasi di tengah situasi
perekonomian yang sulit. Dunia usaha membutuhkan dorongan pemerintah untuk bisa
bangkit dan mengatasi berbagai beban yang makin berat belakangan ini, yaitu
berupa keringanan pajak dan kucuran kredit bank yang lebih murah.
Namun, kita masih menunggu kelanjutan pernyataan Menkeu Bambang tersebut,
terutama yang berkaitan dengan tarif PPh pribadi. Kemana arah pemerintah dalam
memberikan keringanan pajak tersebut, apakah diberikan kepada semua lapisan
atau hanya lapisan berpenghasilan tinggi. Pemerintah ingin menyelamatkan dunia
usaha atau sekaligus daya beli masyarakat luas.
Bila pemerintah hanya mendengarkan usulan dan keluhan pengusaha kebijakan
tersebut kurang berkeadilan. Apalagi pengusaha besar sudah memperoleh bonus tax
amnesty, selain pengurangan tairf PPh badan atau perusahaan.
Seperti diingatkan Direktur Eksekutif Center for Indoensia Taxtation
Anlysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah juga harus memperhatikan berbagai
celah yang harus ditutup. Jangan sampai kebijakan relaksasi pajak tersebut
justru membuat dunia usaha memperoleh celah baru untuk menghindari kewajibannya
karena saat ini peluang penghindaran pajak (tax avoidance) masih tinggi.
Kemudian, sesungguhnya penurunan tarif ini tak serta merta memperluas basis
pajak.
Karena itu, kita menyambut kebijakan penurunan tarif Pph pribadi bila
diberlakukan secara berkeadilan. Kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke
bawah jelas sangat berkepentingan atas keringanan pajak. Bahkan kalau bisa
pemerintah memberikan subsidi untuk jenis-jenis pajak lainnya, seperti pajak
bumi dan bangunan (PBB). Hal tersebut akan mendongkrak daya beli mereka yang
terlanjur tergerus kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
Dalam kaitan ini, kita mencatat pernyataan Guru Besar Cornell University,
Iwan Jaya Aziz, yang menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan daya beli
80 persen penduduk kelas menengah ke bawah,. Ia menilai perekonomian kita sudah
krisis. Dia pun pernah menyarankan jika pemerintah mau sepakat bahwa Indonesia
krisis, hal yang harus dilakukan adalah menyelamatkan 80 persen masyarakat
kelas menengah ke bawah, misalkan dengan menghapuskan pajak. Tujuannya agar
daya beli masyarakat tetap terjaga.
Kita menggarisbawahi pentingnya pandangan tersebut karena perlambatan
ekonomi sudah mengkhawatirkan. Beberapa kali terjadi deflasi dan menurunnya
kontribusi sektor
manufaktur. Terjadinya deflasi memperlihatkan pelemahan daya beli masyarakat
yang akan sulit sekali dinaikkan bila tidak ada intervensi pemerintah.
Sementara itu, penurunan sektor manufaktur merupakan gejala mengkhawatirkan karena di
negara mana pun kemajuan ekonomi justru memperlihatkan kontribusi sector
manufaktur dan jasa-jasa meningkat.
Kita perlu mencermati masalah ini. Jangan sampai kita salah arah melihat
kemajuan yang sebenarnya semu, yang mungkin tumbuh, tetapi hanya dinikmati
lapisan kecil. Bila demikian, hal itu sangat mengkhawatirkan karena sekaligus
menunjukkan tingkat kesenjangan yang makin melebar. Indicator rasio gini juga
memperlihatkan kesenjangan yang makin melebar tersebut.
Karena itu, kuncinya adalah kejujuran. Pemerintah harus jujur dan
bersedia mengubah parameternya dalam melihat kondisi ekonomi rakyat. Misalnya
mengenai ukuran pengangguran, kemiskinan dan parameter kesejahteraan lainnya;
semuanya sudah usang dan tidak relevan lagi. Bila tidak, setiap klaim penurunan
jumlah penduduk miskin dan pengangguran sepenuhnya semu karena tidak
menggambarkan kenyataan di lapangan.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar