Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Malut Post, 16 November 2015
Bencana asap
akibat kebakaran lahan dan hutan di berbagai daerah di Indonesia belum
sepenuhnya usai, namun kini kita harus menyiapkan diri menghadapi kemungkinan
bencana di musim hujan. Laporan dari beberapa daerah menunjukkan kerentanan
alam telah memudahkan terjadinya banjir dan tanah longsor.
Dari Bogor,
Jawa Barat, dilaporkan telah terjadi tanah longsor setelah hujan deras turun hingga
menyebabkan satu orang tewas dan empat lainnya terluka. Menurut catatan Badan
Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), longsor di Bogor terjadi di empat
tempat terpisah. Dan pihak BNPB mengungkapkan bahwa longsor yang terjadi di
daerah tersebut bukan kategori longsor besar, melainkan longsor talud atau
longsor kecil. Namun, tebing di lokasi kejadian menimbun pemukiman warga yang
menjadi korban tersebut.
Dari Aceh
dilaporkan potensi cuaca ekstrem di sana meningkat dan bisa membahayakan warga.
Angin kencang dan hujan deras diperkirakan akan melanda wilayah tersebut selama
beberapa waktu mendatang. Sementara itu, dari Karawang, Jawa Barat, juga
dilaporkan kemungkinan terjadinya angin puting beliung yang bisa membahayakan
warga 10 kecamatan yang selama ini memang sudah rawan bencana.
Dari Sumut
dilaporkan potensi banjir besar akan terjadi hingga Desember ke depan. BMKG
sebelumnya sudah melaporkan bahwa Sumut mulai diguyur hujan dari
Agustus-Desember 2015. Artinya, banjir kemungkinan besar akan terjadi lagi
seperti tahun-tahun yang lalu. Tak hanya itu, longsor pun bisa kembali terjadi di
daerah-daerah rawan seperti di Langkat, Tapanuli tengah (khususnya Sipirok),
Tapanuli Utara dan daerah perbukitan lainnya. Bahkan, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Langkat mengatakan setidaknya ada 13 kecamatan
rawan bencana longsor di kabupaten itu. Data ini dibuktikan dengan kuantitas
longsor tiap tahun terjadi di daerah tersebut. Terakhir, longsor di Langkat
terjadi Januari 2015 lalu saat musim hujan dan banjir terjadi.
Masih banyak
lagi daerah-daerah di Indonesia yang diperkirakan akan mengalami musibah banjir
dan tanah longsor selama musim hujan yang melanda Indonesia beberapa waktu ke
depan. Daerah-daerah itu tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa,
Maluku dll.
Berbagai
peringatan dari BNPB maupun BMKG tersebut harus kita waspadai agar sedapat
mungkin dampaknya bisa dikurangi. Pengalaman menunjukkan setiap tahun musibah
banjir dan tanah longsor selalu terjadi, seolah-olah kita tidak memetik
pengalaman dengan memperbaiki kemampuan menghadapi bencana. Kita tidak boleh
lagi memandang enteng masalah ini karena wilayah terdampaknya sudah sangat
luas.
Menurut
perkiraan BNPB, lebih dari 40 juta penduduk tanah air tinggal di daerah-daerah
yang rawan terlanda banjir dan tanah longsor. Mereka berada di 274 kabupaten
dan kota. Artinya, lebih separuh wilayah Indonesia rawan banjir dan longsor.
Potensi bencana di negeri ini sangat luas karena lingkungan telah dibiarkan
bertahun-tahun rusak sebagai dampak eksploitasi pertambangan dan pembabatan hutan.
Karena itu,
setiap waktu rakyat kita dihadapkan pada berbagai bencana silih berganti. Semua
terjadi karena pemerintah melakukan pembiaran. Lihat saja dalam kasus bencana
asap akibat pembakaran hutan. Kita lemah dalam penegakan hukum (law
enforcement) sehingga perusakan, pembalakan, dan pembakaran hutan terus
terjadi.
Rakyat
selalu menjadi korban. Mereka juga seperti ditinggalkan. Dalam menghadapi
banjir dan tanah longsor, tak pernah ada tindakan serius dan berkelanjutan dari
pemerintah untuk menyiapkan warga menghadapi bencana. Mestinya ada program
berkelanjutan, mulai dengan penyuluhan tingkat kerawanan wilayah, kemudian
menyiapkan langkah-langkah antisipasinya, termasuk persiapan evakuasi bila
bencana benar-benar terjadi.
Warga selalu
dihadapkan pada situasi mendadak tanpa persiapan sehingga banyak dari mereka
tidak mampu menyelamatkan diri. Warga selalu mati sia-sia, padahal semestinya risiko
itu bisa diminimalkan bila ada peringatan dini sebelumnya. Bukan hanya
menghadapi banjir dan tanah longsor, melainkan juga bencana lain, seperti gempa
bumi, gunung meletus, dan kebakaran lahan.
Pemerintah
perlu menetapkan daerah-daerah rawan longsor dan angin puting beliung, kemudian
memberitahukannya kepada masyarakat. Kita memiliki banyak ahli yang menguasai
masalah ini sehingga tidak ada alasan pemerintah tidak mampu memberikan layanan
informasi bencana ini kepada warga. Persoalannya terletak pada kesediaan aparat
untuk terjun ke lapangan mendekati warga. Ini soal mentalitas yang harus segera
dirubah. Kita membutuhkan pejabat yang lebih berorientasi pada pelayanan publik,
sebagaimana gaya pendekatan Presiden Joko Widodo.
Penanganan
bencana tidak bisa lagi bersifat ad hoc. Pendekatannya harus bersifat
integral dan berkelanjutan, tidak hanya fokus saat terjadi situasi tanggap
darurat. Karena itu, negara harus terus-menerus hadir dan melayani warga,
menyelami keluhan, dan kegelisahan mereka serta mencari jalan keluarnya. Negara
mesti memikirkan bagaimana agar rakyat terhindar dari bencana serta membiayai
sarana dan prasarana pencegahannya sehingga risiko bisa diperkecil. Itu karena
sikap sembrono dan tidak peduli yang selalu menyebabkan risiko yang harus
ditanggung masyarakat bertambah besar.
Bencana
banjir yang bersifat musiman semestinya bisa kita hindari bila para pejabat
tidak sembrono dan menjalankan tugas dengan baik. Hutan kita tak perlu gundul,
bukit-bukit tetap tegak, serta rawa-rawa dan persawahan tidak berubah menjadi
perumahan dan mal. Bahkan para remaja tak harus kehilangan lapangan bola
seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Dengan demikian, sebenarnya dampak
bencana ini masih bisa diminimalkan, bahkan mungkin bisa dicegah bila tidak ada
berbagai penyimpangan seperti selama ini.
Hal lain
yang juga merisaukan adalah masalah akuntabilitas dalam penglelolaan dana. Rakyat dari waktu ke waktu selalu
disuguhi kabar mengenai banyaknya pejabat yang menyelewengkan dana bantuan sosial
dan anggaran lain yang seharusnya menjadi hak rakyat, terlebih rakyat yang
terkena bencana. Banyak kasus korupsi angaran sosial, seperti yang sudah
terkuak di berbagai daerah selama ini.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan ALumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar