Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Koran Madura, 8 Desember 2015
Apa yang sebenarnya membedakan seorang pemimpin dan yang bukan pemimpin?
Ya, jawabbannya adalah tanggung jawab. Tanggung jawab jadi domain kekuasaan
sekaligus legitimasi kepemimpinan seorang pemimpin. Kredibilitas seorang
pemimpin tervisualisasikan dari derajat tanggung jawabnya. Pemimpin yang tak
bertanggung jawab bisa dikategorikan sebagai pemimpin tidak kompeten (Carole
Nicolaides, Progressive Leadership).
Pertanyaannya kemudian, ketika korupsi di lingkar oligarki kekuasaan dalam
birokrasi pemerintahan makin brutal, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Diakui atau tidak, Indonesia tengah berada dalam penguasaan trihibrid
- tiga saudara kandung yang beda sifat (kekuasaan, hukum, dan korupsi) - yang
telah menyatu secara tak terpisahkan. Namun, yang perlu dicermati bukan sekadar
negara ini dalam penguasaan trihibrid semata. Lebih dari itu, menjadi negara
macam apa Indonesia pada 10 atau 20 tahun mendatang jika sejak sekarang negara
ini sudah dikelola oleh kaum Barbar modern: birokrat korup, politisi busuk,
pengacara hitam, dan pengusaha kapitalistik?
Pemimpin selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Meminjam deskripsi Henry
Pratt Faiechild dalam Kartini Kartono (1994), pemimpin adalah seorang yang
memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisasi,
atau mengontrol usaha orang lain melalui prestise, kekuasaan, dan posisi.
Apabila deskripsi itu bisa diandalkan tanpa mengabaikan aspek hukum, korupsi
brutal dalam lingkar oligarki kekuasaan sesungguhnya juga menjadi tanggung
jawab si pemimpin.
Sayangnya, tanggung jawab jadi terminologi yang “selalu” dihindari
pemimpin. Hampir seluruh kasus korupsi besar di lingkar oligarki kekuasaan “terjadi
seolah-olah tanpa sepengetahuan pemimpin, si pengambil keputusan”. Suatu bentuk
kejanggalan luar biasa. Bertolak belakang dengan sistem negara yang menganut
birokrasi patrimonial dalam kultur masyarakat paternalistik. Sistem yang
menjadikan pemimpin sebagai patron.
Secara anatomistis, korupsi brutal di lingkar oligarki kekuasaan terjadi
karena dua sebab. Pertama, tidak ada kompetensi teknis dan moral. Kedua,
pemimpin menjadi patron kejahatan. Mengutip William J Chambliss (Criminal Law
in Action), ”Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di
kalangan bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi
kalangan atas yang lebih dahsyat”.
Fenomena ini sekaligus mengisyaratkan korupsi di Indonesia tak pernah
berdiri sendiri. Suatu kondisi yang mempersulit usaha pengungkapan kasus secara
hukum (konvensional), yang hanya menyandarkan diri pada sistem pembuktian negatief
wettelijk stelsel (pidana).
Oleh sebab itu, implementasi dari tanggung jawab pemimpin jadi kunci sukses
pemberantasan korupsi. Menjadi pemimpin bukan sekadar untuk hidup enak,
dihormati, dikenal banyak orang, tinggal memerintah, dan berpenghasilan besar.
Seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab, berkarakter negarawan, dan
visioner. Memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan,
kemuliaan atau otoritas pribadi, tetapi oleh kesediaannya melayani rakyat.
Berbagai Cara
Barangkali Benny Moerdani (1932-2004) benar. Ada perbedaan mendasar dalam
penghayatan perjuangan pada masa lalu dan sekarang. Generasi pemimpin sekarang
adalah generasi masa damai; generasi yang tak mengalami revolusi kemerdekaan.
Meski lebih profesional karena memperoleh pendidikan dan pelatihan secara
akademis, tetapi miskin tanggung jawab. Akibatnya, negeri ini tidak pernah lagi
melahirkan pemimpin sejati.
E fructu arbor cognoscitur—sebuah pohon
bisa dikenali dari buahnya. Karakter bangsa bisa dilihat dari kualitas hukum
dan kredibilitas pemimpinnya. Ketika Indonesia masih di peringkat ke-107 dari 175
negara terkorup dunia (Transparency International, 2014), masihkah kita berani
mengatakan bahwa penegak hukum negara ini sudah berada dalam pagar good
behaviour dan pemimpin negara ini sudah mengimplementasikan
tanggung jawabnya?
Korupsi brutal yang terjadi di lingkar oligarki kekuasaan tidak pernah bisa
diberantas dengan hanya mengandalkan hukum (konvensional) dan institusi
perkuatannya saja. Memperbanyak hukum justru semakin mempertegas anggapan, ”Corruptissima
republica plurimae leges” (semakin korup sebuah republik semakin
banyak hukum). Oleh sebab itu, diperlukan implementasi dari bentuk tanggung
jawab pemimpin dalam memelopori usaha pemberantasan korupsi.
Memberantas korupsi tak cukup hanya dengan pidato, meneriakkan slogan
secara lantang, atau menyerahkan kasus-kasus korupsi ke ranah hukum, tetapi
harus dengan tindakan nyata pemimpin secara partisipatoris, yang didasari
kejujuran, kelurusan hati, dan tanggung jawab.
Kita semua berharap semoga korupsi tidak menjadi warisan abadi (lasting
legacy) di negeri ini. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk
memberantas korupsi. Salah satunya adalah meratifikasi anti-illicit
enrichment (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) seperti
tertuang dalam Pasal 20 United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC),
yang sejalan dengan prinsip pembuktian terbalik.
Lantas, pemimpin harus berani menerapkan sanksi sosial yang berkaitan
dengan hati nurani dan sikap batin para koruptor. Sanksi sosial yang memiliki
derajat efek jera dahsyat adalah tidak hanya memenjarakan koruptor, tetapi juga
menyita seluruh harta milik (diserahkan kepada negara), memberlakukan kerja
sosial, menjadikan keluarganya (suami/istri dan anak) sebagai anak negara, dan
melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus.
“Think
Different” dan “To Crazy One’s” (berpikir beda dan bersikap gila)
adalah slogan mendiang Steve Jobs, yang mengantar sukses Apple menjadi produk
ikonik dunia. Slogan ini tidak sekadar meninggalkan pesan moral: “Never Quit!”,
tetapi juga mengandung kutipan, ”Seburuk apa pun kondisinya, pemimpin harus
bisa menemukan jalan untuk menciptakan sesuatu yang baru”. Pemimpin sejati
adalah sosok yang bisa menciptakan ”laut biru” di dalam situasi ”laut” yang
sudah ”memerah”.
Indonesia, pasti bisa!
Penulis adalah anggota Intiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar