Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Publica Pos, 1 Desember 2015
Tinggal beberapa waktu ke depan, masyarakat di negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Desember
2015, MEA akan mulai diberlakukan. Dalam MEA ada arus “3 ang”, yaitu arus
barang, uang dan orang yang akan lebih mudah dan deras mengalir antarnegara
anggota. Distribusi perdagangan akan semakin terbuka. Alur investasi juga akan
berseliweran demi memenuhi kebutuhan modal bagi perusahaan di masing-masing
negara. Belum lagi tenaga kerja yang dapat dengan mudah bekerja melintasi
negara-negara anggota tanpa hambatan yang berarti. Sudah terbayang hilir mudik
lalu lintas barang, uang dan orang sebagai dampak dari integrasi ekonomi dan
perdagangan ini.
Pada satu sisi, MEA dipandang positif sebagai upaya integrasi kekuatan
ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Integrasi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan dapat membawa perdamaian dalam konteks hubungan internasional
antarnegara anggota. Karena integrasi perdagangan akan menciptakan
kesalingtergantungan dan kerjasama saling menguntungkan antar negara-negara
anggota. Interpendensi ini secara simultan juga dapat menciptakan rezim
internasional yang dapat meminimalisasi potensi-potensi konflik dan memperkuat
tali perdamaian.
Kita perlu melihat contoh dari kasus Eropa. Mulanya masyarakat di benua
itu memiliki kebutuhan yang sama atas kebutuhan energy batu bara dan baja.
Maka, pada tahun 1950 lahirlah European Coal and Steel Community (ECSC) untuk
menghapus hambatan perdagangan batu bara dan baja itu. Berdiri pula European
Atomic Energy Community (Euratom) dan European Economic Community (EEC), yang
kemudian bergabung menjadi European Community (EC). Selanjutnya dalam
perjanjian Schengen (1985) mereka menghilangkan batas negara dan membangun
pasar tunggal. Perjanjian Maasticht (1992) mengubah European Community menjadi
Uni Eropa.
Sejarah terbentuknya Uni Eropa ini merupakan salah satu studi kasus yang
menggambarkan fenomena perdagangan internasional dapat berimplikasi positif
terhadap perdamaian. Integrasi Eropa yang diawali dengan kerjasama ekonomi
dapat menjaga perdamaian di Eropa. Terbukti dengan tidak adanya perang secara
terbuka antarnegara anggota Uni Eropa hingga saat ini.
Berkaca kepada studi kasus Uni Eropa di atas, MEA juga nantinya
diharapkan dapat melahirkan perdamaian secara dua arah. Pertama, untuk
membentuk MEA diperlukan stabilitas keamanan. Tanpa stabilitas keamanan ini di
negara-negara anggota, MEA yang kita harapkan akan sulit terwujud. Alih-alih
menciptakan kemakmuran, instabilitas keamanan akan memporakporankan cita-cita
MEA.
Stabilitas keamanan yang dimaksud disini adalah stabilitas keamanan dalam
negeri masing-masing anggota MEA. Tindak kekerasan yang menimpa warga minoritas
seperti Pattani di Thailand, Moro di Filipina, dan Rohingya di Myanmar.
Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia
harus bisa berperan secara aktif untuk mendorong terciptanya perdamaian bagi
Pattani, Moro dan Rohingya tersebut. Jika terjadi konflik dalam negeri
Thailand, Filipina dan Myanmar, maka kelancaran arus barang, uang dan orang
akan terganggu. Akibatnya integrasi ekonomi yang sejatinya dapat menciptakan
kemakmuran justru dapat menimbulkan kekisruhan (chaos).
Kedua, terciptanya perdamaian karena adanya rasa saling membutuhkan di
antara negara-negara anggota MEA. Indonesia saja memliki salingketergantungan
dengan Thailandm, Singapura dan Malaysia. Pada tahun 2013, tiga negara ini
menjadi tumpuan impor Indonesia. Barang-barang yang diimpor dari Thailand di
antaranya kendaraan dan bagiannya, mesin-mesin/pesawat mekanik, plastic dan
barang dari plastic dan banyak lagi lainnya. Sedangkan barang-barang impor dari
Singapura antara lain mesin/peralatan listrik, mesin-mesin/peswat mekanik,
bahan kimia organisk, plastic dan barang plastic dan banyak lagi lainnya.
Begitu juga dengan Malaysia yang berbatasan secara langsung, Indonesia
impor dari Malaysia mesin-mesin/pesawat
mekanik, plastic dan barang plastik, mesin/peralatan listrik, bahan kimia
organic dan banyak lagi lainnya. Demikian juga sebaliknya Thailand, Singapura
dan Malaysia bergantung kepada Indonesia. Singapura mengimpor sayuran dan
buah-buahan dari Indonesia. Malaysia juga mengimpor produk migas, pertambangan
dan perkebunan dari Indonesia.
Jadi, perdamaian kita wujudkan melalui MEA dengan dua arah, yaitu secara
ex-ante (sebelum) dan ex-post (sesudah). Ex-ante artinya dengan perdamaian kita
capai keberhasilan MEA. Sedangkan ex-post artinya dengan MEA pula kita wujudkan
perdamaian.
Potensi Konflik Indonesia
Misi perdmaian ini tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan.
Indonesia sendiri masih menyimpan potensi konflik batas wilayah dengan
negara-negara tetangga. Indonesia memiliki wilayah yang berbatasan dengan
beberapa negara. Hampir setiap perbatasan tersebut menyisakan permasalahan yang
hingga kini belum jelas kesepakatannya.
Belum ada kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia soal garis batas
ZEE di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan serta Laut Sulawesi. Malaysia ingin
batas landas kontinen dan ZEE berada pada satu garis yang sama, sedangkan
Indonesia ingin landas kontinen dan ZEE berada pada 2 garis yang berbeda.
Indonesia juga masih mengklaim batas ZEE di Selat Malaka bagian selatan dan
batas laut territorial di Selat Singapura bagian timur.
Dengan Filipina, Indonesia juga belum menyepakati 2 segmen garis batas
ZEE di Laut Sulawesi. Dengan Singapura, Indonesia belum menyepakati garis batas
laut wilayah Selat Singapura segmen timur II khususnya soal kepemilikan South
Ledge. Hal ini akan pelik karena melibatkan 3 negara, yaitu Indonesia, Malaysia
dan Singapura. Masalah batas ZEE antara Thailand dengan Indonesia di perairan
utara Selat Malaka juga belum selesai.
Persoalan-persoalan ini juga musti segera dituntaskan sebelum dan seiring
dengan berlakunya MEA. Sebab jika tidak, akan dapat menghambat MEA itu sendiri.
Peran Indonesia
Indonesia adalah negeri demokrasi yang berpenduduk cukup besar sekitar
250 juta jiwa atau 40 persen dari total jumlah penduduk MEA yang mencapai
sekitar 600 juta jiwa. Falsafah Pancasila yang menjadi dasar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia juga menjadi jiwa dalam menghadapi
konflik. Indonesia jelas bukan tanpa konflik, namun konflik-konflik yang ada
cenderung dapat diselesaikan.
Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di
Aceh yang terjadi selama 30 tahun lebih dan banyak memakan korban jiwa berakhir
damai pada 15 Agustus 2005. Belum lagi konflik di Sampit, Poso, Ambon, dan
seterusnya. Hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia. Banyak negara tertarik dan ingin mempelajari
bagaimana Indonesia bisa menciptakan perdamaian.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar