Senin, 07 Desember 2015

Memeringati Hari Antikorupsi



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Metro Siantar, 7 Desember 2015

Perilaku korup semakin mengganas dan tak pernah absen terjadi di negeri ini. Perilaku haram itu telah mencederai sendi Trias politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berimbas pada terhambatnya laju pembangunan bangsa di semua sector. Tindak pidana korupsi di Indonesia telah terjadi secara meluas dan telah menjadi penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga telah menyerobot hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, serta memundurkan pembangunan dan memudarkan masa depan bangsa.

Perilaku korupsi ini tidak hanya dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, ataupun kewenagan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan aset negara, tetapi juga berpengaruh pada setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, ataupun terpaksa. Kebobrokan integritas dan mental korup para penyelenggara negara tidak hanya menempatkan bangsa Indonesia bercokol di deretan negara terkorup dunia tetapi bahkan kondisi seperti ini dapat saja mengiring bangsa ini kearah kehancuran, failed state, atau ambruk keropos diakibatkan korupsi.

Memang penyakit korupsi ini tidak hanya menyerang satu negara, bahkan ia telah menjadi acaman serius bagi kebanyakan negara–negara dibelahan dunia. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat telah terjadi 629 kasus korupsi yang melilit 1328 tersangka di lingkungan pejabat pusat hingga daerah dengan total kerugian negara Rp 5,29 triliun.

Angka itu masih dalam durasi waktu satu tahun. Artinya jika dikalkulasikan dengan tahun-tahun sebelumnya dan hingga semester I tahun 2015 ini dimana kita tahu kinerja KPK terus menurun, maka angka itu pasti jauh membludak. Bisa saja angka tersebut hanyalah fenomena sebagai fakta permukaan dari realita korupsi yang berlapis dinegeri ini. Walaupun belum terungkap tuntas berbagai praktik korupsi, penyingkapan 629 kasus selama 2014 itu sudah membuat berbagai kalangan terperangah betapa korupnya sistem birokrasi indonesia.

Meski fenomena korupsi ini telah menjadi penyakit kronis dan sistemik yang sangat sulit untuk disembuhkan, namun ada tren lain yang muncul dalam melawan perilaku korupsi, dimana penjabat negara begitu lantang membicarakan bahaya korupsi, namun tidak sedikit pula maling teriak maling. Sikap yang tidak jujur ini terbukti dari begitu banyaknya undang–undang dibuat untuk mencegah korupsi, tapi korupsi justru semakin berkembang subur.

Bila demikian, sudah sepatutnyalah kita pertanyakan kembali komitmen pemimpin negeri ini untuk memberantas korupsi, sudah saatnya pula kita tanya pada diri kita masing–masing sampai dimana kita berlaku jujur dalam menjalankan kehidupan sehari–hari. Lalu untuk apa ritual hari anti korupsi yang setiap tahunnya kita peringanti? Pertanyaan seperti ini sangat wajar untuk kita kemukakan. Jika ternyata penyakit korupsi itu tetap saja menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negeri ini.

Melalui momentum hari antikorupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember ini, mari kita berefleksi kembali, menyalakan kembali semangat memerangi korupsi, paling tidak memulainya dari kita sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Jangan hanya terkesan pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika belaka, dimana masyarakat semakin sengsara sementara para pelakunya semakin bertambah kaya.

Semangat antikorupsi mesti terus berlanjut, meski persoalan ini bertambah absurd. Untuk itu diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dalam memerangi praktik korupsi yang tidak hanya memakai gay –gaya lama dengan menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai kekuatan untuk menduduki tampuk kekuasaan, mempunyai kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, menyusun agenda dan pelaksana kebijakan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, serta meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan peran yang sebenarnya selaku pelayanan publik. Kemudian juga diperlukan kemampuan dan kemauan birokrasi untuk melakukan langkah yang mencakup perubahan prilaku yang mengedepankan netralitas, profesionalitas, demokrasi, transparansi dan mandiri disertai perbaikan semangat kerja dalam mengelola pelayanan.

Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku. Disamping itu perlu dilakukan kempanye kepada masyarakat agar korupsi di pandang sebagai penyakit sosial tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial pun harus diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkapkan dan memberitakan tindak korupsi. Pengembagan budaya malu korupsi harus di sertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam diri yang akan melawan budaya korupsi itu sendiri.

Pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dalam penegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Adapun tujuan itu yakni untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Kita juga menyakini bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerja sama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Diantara berbagai butir penting lainya, semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan dipolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi serta pengawasan yang efektif.


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar