Oleh: Hasian Sidabutar
Terbit: Suara NTB, 9 Juni 2017
Kebhinekaan
kita sedang dibanyangi kehancuran. Berbagai perilaku intoleransi baik di
kehidupan nyata maupun di media sosial semakin tidak terbendung. Ujaran
kebencian (hate speech) dan saling mengkafirkan semakin marak terjadi. Isu SARA
dalam kontestasi pemilihan pemimpin terus merajalela. Ormas yang tidak
pancasilais semakin bermunculan.
Pada tahun
2016, SETARA Institute merilis hasil penelitian terkait isu intoleransi di
kalangan siswa. Dari 760 responden, diketahui 62 persen siswa toleran, 35,7
persen intoleran pasif atau puritan, 2,4 persen intoleran aktif, dan sekitar
0,3 persen berpotensi menjadi teoris. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS),
total jumlah pelajar Indonesia pada tahun 2015 mencapai 40,3 juta siswa. Jika
mengacu pada data penelitian SETARA Institute, artinya sekitar 967 ribu siswa
intoleran aktif dan 120 ribu siswa berpotensi menjadi teroris.
Virus
intoleransi juga merebak ke semua usia. Berdasarkan rilis penelitian Wahid
Foundation tahun 2016 yang melibatkan 1.255 responden, ditemukan fakta bahwa 59
persen responden memiliki rasa benci terhadap non muslim, etnis tionghoa, dan
lain-lain. Kemudian, 82 persen responden tidak setuju menjadi tetangga yang
berbeda agama dengannya. Yang paling mengkhawatirkan dari temuan Wahid
Foundation adalah sedikitnya 11,5 juta orang Indonesia berpotensi melakukan
tindakan-tindakan radikal.
Kedua hasil
penelitian tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata karena sudah nyata
terjadi beberapa tahun terakhir. Ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi
Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, Indonesia dibentuk belandaskan
kebhinekaan. Founding Fathers kita merumuskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai
dasar dan pandangan hidup NKRI. Hal itu sudah harga mati dan tidak bisa
ditawar.
Siapa pun bagian
dari NKRI wajib mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, termasuk
menghargai kebhinekaan. Setiap warga negara memiliki hak yang sama - tidak ada
hukum mayoritas-minoritas. Setiap orang berhak berkotribusi bagi bangsa,
termasuk menjadi pemimpin. Namun, kini negara kita darurat intoleransi. Untuk
itu, langkah solutif harus segera dilakukan.
Pertama, membubarkan organisasi anti Pancasila. Hal
ini memang bukan pekerjaan yang mudah, akan tetapi pemerintah harus
melakukannya. Pembubaran ormas tidak boleh berhenti di Hitzbut Tahrir Indonesia
atau HTI (8/5/16), tetapi juga seluruh ormas yang tidak pancasilais dan
mengancam kebhinekaan. Tahun 2016, Mendagri, Tjahjo Kumolo mencatat ada 254.633 ormas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 287 ormas terdaftar di Kementerian Dalam
Negeri, 2.477 di provinsi, 1.807 di kabupaten & kota, 62 di Kementerian
Luar Negeri dan 250 ribu di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemerintah harus bekerja keras untuk mendeteksi, menginvestigasi dan
membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Kedua, menghapus perda anti pancasila. Hukum
Indonesia harus merangkul semua pihak. Semestinya tidak boleh ada peraturan
yang menguntungkan satu golongan tertentu. Salah satu contohnya adalah perda
syariah yang diterapkan di sejumlah daerah.
Ketiga, dialog lintas agama. Kurangnya komunikasi
antaragama menimbulkan sekat-sekat di antara masyarakat yang beragam. Sangat
wajar jika kini suara masyarakat menjadi terbelah. Tiap agama tenggelam dalam
fase egosentris yang semuanya memiliki tuntutan tersendiri kepada pemerintah.
Untuk itu, sebagai penyelenggara negara, pemerintah harus segera menyatukan
masyarakat lintas agama dengan membuat program dialog/forum secara rutin.
Selain itu, tentunya perlu inisiatif dari setiap petinggi-petinggi agama dari
pusat hingga daerah untuk melakukan hal serupa.
Keempat, meningkatkan kualitas pendidikan agama di
sekolah. SETARA Institute mengatakan bahwa guru agama di sekolah-sekolah
cenderung mengajarkan teori hitam-putih atau surga-neraka. Sangat jarang ada
ruang bagi siswa untuk bertanya tentang keberagaman agama yang ada di Indonesia.
Hal ini lah yang membuat siswa menjadi buta, abai, dan intoleran kepada teman
yang berbeda agama dengannya. Untuk itu, pemerintah melalui kementerian agama
perlu membina guru-guru agama di seluruh daerah agar memiliki pemahaman yang
sama tentang pentingnya menerapkan dasar kebhinekaan dalam mengajar.
Kelima, peran keluarga. Bapak
Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1997:374) mengatakan keluarga adalah
tempat terbaik untuk mendapatkan pendidikan individual dan pendidikan sosial. Anak harus digembleng dengan nilai-nilai
sosial supaya mampu berdampingan di masyarakat yang majemuk. Orang tua punya
peran penting untuk memperkenalkan kebhinekaan yan ada di Indonesia, agar
cakrawala berpikir anak tidak sempit. Hal-hal seperti kafir-mengkafirkan yang
terjadi belakangan ini pun tidak akan terjadi lagi di masa depan. Anak-anak pun
bisa bebas berteman dengan yang berbeda dengannya.
Keenam, mencegah politik SARA. Koyaknya demokrasi
ditandai dengan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang ingin menjadi pemimpin.
Problematika inilah yang masih terus terjadi di Indonesia. Banyak oknum
tertentu ingin menjatuhkan calon pemimpin lain dengan isu-isu SARA. Ironisnya
lagi, rakyat yang notabene belum memiliki bekal pendidikan politik dengan
mudahnya diadu-domba dengan isu tersebut. Hal ini tentu tidak boleh terus
dibiarkan. Masyarakat harus belajar agar melek politik dan tidak mudah
dieksploitasi oleh oknum tertentu yang ingin memiliki kepentingan
pribadi/kelompoknya. Inti dari memilih pemimpin di Indonesia adalah
kemampuannya mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Tindakan
solutif di atas memang bukan perkara mudah dan pasti membutuhkan waktu yang
cukup lama. Namun, jika dimulai dari sekarang, bukan tidak mungkin bingkai
kebhinekaan Indonesia secara perlahan akan terajut kembali. Untuk itu,
diperlukan sikap rendah hati, mau mengalah, berpikir terbuka (open-minded)
dengan orang yang berbeda, serta mau bekerja sama antarwarga negara demi
terciptanya kerukunan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis adalah mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada