Senin, 17 Juli 2017

Merajut Kembali Kebhinnekaan


Oleh: Hasian Sidabutar
Terbit: Suara NTB, 9 Juni 2017



Kebhinekaan kita sedang dibanyangi kehancuran. Berbagai perilaku intoleransi baik di kehidupan nyata maupun di media sosial semakin tidak terbendung. Ujaran kebencian (hate speech) dan saling mengkafirkan semakin marak terjadi. Isu SARA dalam kontestasi pemilihan pemimpin terus merajalela. Ormas yang tidak pancasilais semakin bermunculan.

Pada tahun 2016, SETARA Institute merilis hasil penelitian terkait isu intoleransi di kalangan siswa. Dari 760 responden, diketahui 62 persen siswa toleran, 35,7 persen intoleran pasif atau puritan, 2,4 persen intoleran aktif, dan sekitar 0,3 persen berpotensi menjadi teoris. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total jumlah pelajar Indonesia pada tahun 2015 mencapai 40,3 juta siswa. Jika mengacu pada data penelitian SETARA Institute, artinya sekitar 967 ribu siswa intoleran aktif dan 120 ribu siswa berpotensi menjadi teroris.

Virus intoleransi juga merebak ke semua usia. Berdasarkan rilis penelitian Wahid Foundation tahun 2016 yang melibatkan 1.255 responden, ditemukan fakta bahwa 59 persen responden memiliki rasa benci terhadap non muslim, etnis tionghoa, dan lain-lain. Kemudian, 82 persen responden tidak setuju menjadi tetangga yang berbeda agama dengannya. Yang paling mengkhawatirkan dari temuan Wahid Foundation adalah sedikitnya 11,5 juta orang Indonesia berpotensi melakukan tindakan-tindakan radikal.

Kedua hasil penelitian tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata karena sudah nyata terjadi beberapa tahun terakhir. Ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, Indonesia dibentuk belandaskan kebhinekaan. Founding Fathers kita merumuskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan pandangan hidup NKRI. Hal itu sudah harga mati dan tidak bisa ditawar.

Siapa pun bagian dari NKRI wajib mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, termasuk menghargai kebhinekaan. Setiap warga negara memiliki hak yang sama - tidak ada hukum mayoritas-minoritas. Setiap orang berhak berkotribusi bagi bangsa, termasuk menjadi pemimpin. Namun, kini negara kita darurat intoleransi. Untuk itu, langkah solutif harus segera dilakukan.

Pertama, membubarkan organisasi anti Pancasila. Hal ini memang bukan pekerjaan yang mudah, akan tetapi pemerintah harus melakukannya. Pembubaran ormas tidak boleh berhenti di Hitzbut Tahrir Indonesia atau HTI (8/5/16), tetapi juga seluruh ormas yang tidak pancasilais dan mengancam kebhinekaan. Tahun 2016, Mendagri, Tjahjo Kumolo mencatat ada 254.633 ormas di Indonesia. Dari jumlah tersebut,  287 ormas terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, 2.477 di provinsi, 1.807 di kabupaten & kota, 62 di Kementerian Luar Negeri dan 250 ribu di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemerintah harus bekerja keras untuk mendeteksi, menginvestigasi dan membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Kedua, menghapus perda anti pancasila. Hukum Indonesia harus merangkul semua pihak. Semestinya tidak boleh ada peraturan yang menguntungkan satu golongan tertentu. Salah satu contohnya adalah perda syariah yang diterapkan di sejumlah daerah. Terdapat 443 Perda Syariah yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 1998 (BBC Indonesia, 7/4/16). Meskipun hal ini sulit untuk dituntaskan, namun bukan berarti pemerintah harus tinggal diam. Perlu adanya penekanan ke sejumlah golongan bahwa negara Indonesia berdiri berdasarkan kebhinekaan. Untuk itu, sepatutnya perda pun harus mewakili semua kepentingan masyarakat.

Ketiga, dialog lintas agama. Kurangnya komunikasi antaragama menimbulkan sekat-sekat di antara masyarakat yang beragam. Sangat wajar jika kini suara masyarakat menjadi terbelah. Tiap agama tenggelam dalam fase egosentris yang semuanya memiliki tuntutan tersendiri kepada pemerintah. Untuk itu, sebagai penyelenggara negara, pemerintah harus segera menyatukan masyarakat lintas agama dengan membuat program dialog/forum secara rutin. Selain itu, tentunya perlu inisiatif dari setiap petinggi-petinggi agama dari pusat hingga daerah untuk melakukan hal serupa.

Keempat, meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah. SETARA Institute mengatakan bahwa guru agama di sekolah-sekolah cenderung mengajarkan teori hitam-putih atau surga-neraka. Sangat jarang ada ruang bagi siswa untuk bertanya tentang keberagaman agama yang ada di Indonesia. Hal ini lah yang membuat siswa menjadi buta, abai, dan intoleran kepada teman yang berbeda agama dengannya. Untuk itu, pemerintah melalui kementerian agama perlu membina guru-guru agama di seluruh daerah agar memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya menerapkan dasar kebhinekaan dalam mengajar.

Kelima, peran keluarga. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1997:374) mengatakan keluarga adalah tempat terbaik untuk mendapatkan pendidikan individual dan pendidikan sosial. Anak harus digembleng dengan nilai-nilai sosial supaya mampu berdampingan di masyarakat yang majemuk. Orang tua punya peran penting untuk memperkenalkan kebhinekaan yan ada di Indonesia, agar cakrawala berpikir anak tidak sempit. Hal-hal seperti kafir-mengkafirkan yang terjadi belakangan ini pun tidak akan terjadi lagi di masa depan. Anak-anak pun bisa bebas berteman dengan yang berbeda dengannya.

Keenam, mencegah politik SARA. Koyaknya demokrasi ditandai dengan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang ingin menjadi pemimpin. Problematika inilah yang masih terus terjadi di Indonesia. Banyak oknum tertentu ingin menjatuhkan calon pemimpin lain dengan isu-isu SARA. Ironisnya lagi, rakyat yang notabene belum memiliki bekal pendidikan politik dengan mudahnya diadu-domba dengan isu tersebut. Hal ini tentu tidak boleh terus dibiarkan. Masyarakat harus belajar agar melek politik dan tidak mudah dieksploitasi oleh oknum tertentu yang ingin memiliki kepentingan pribadi/kelompoknya. Inti dari memilih pemimpin di Indonesia adalah kemampuannya mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Tindakan solutif di atas memang bukan perkara mudah dan pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, jika dimulai dari sekarang, bukan tidak mungkin bingkai kebhinekaan Indonesia secara perlahan akan terajut kembali. Untuk itu, diperlukan sikap rendah hati, mau mengalah, berpikir terbuka (open-minded) dengan orang yang berbeda, serta mau bekerja sama antarwarga negara demi terciptanya kerukunan dan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis adalah mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada

Senin, 07 Desember 2015

Memeringati Hari Antikorupsi



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Metro Siantar, 7 Desember 2015

Perilaku korup semakin mengganas dan tak pernah absen terjadi di negeri ini. Perilaku haram itu telah mencederai sendi Trias politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berimbas pada terhambatnya laju pembangunan bangsa di semua sector. Tindak pidana korupsi di Indonesia telah terjadi secara meluas dan telah menjadi penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga telah menyerobot hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, serta memundurkan pembangunan dan memudarkan masa depan bangsa.

Perilaku korupsi ini tidak hanya dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, ataupun kewenagan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan aset negara, tetapi juga berpengaruh pada setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, ataupun terpaksa. Kebobrokan integritas dan mental korup para penyelenggara negara tidak hanya menempatkan bangsa Indonesia bercokol di deretan negara terkorup dunia tetapi bahkan kondisi seperti ini dapat saja mengiring bangsa ini kearah kehancuran, failed state, atau ambruk keropos diakibatkan korupsi.

Memang penyakit korupsi ini tidak hanya menyerang satu negara, bahkan ia telah menjadi acaman serius bagi kebanyakan negara–negara dibelahan dunia. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat telah terjadi 629 kasus korupsi yang melilit 1328 tersangka di lingkungan pejabat pusat hingga daerah dengan total kerugian negara Rp 5,29 triliun.

Angka itu masih dalam durasi waktu satu tahun. Artinya jika dikalkulasikan dengan tahun-tahun sebelumnya dan hingga semester I tahun 2015 ini dimana kita tahu kinerja KPK terus menurun, maka angka itu pasti jauh membludak. Bisa saja angka tersebut hanyalah fenomena sebagai fakta permukaan dari realita korupsi yang berlapis dinegeri ini. Walaupun belum terungkap tuntas berbagai praktik korupsi, penyingkapan 629 kasus selama 2014 itu sudah membuat berbagai kalangan terperangah betapa korupnya sistem birokrasi indonesia.

Meski fenomena korupsi ini telah menjadi penyakit kronis dan sistemik yang sangat sulit untuk disembuhkan, namun ada tren lain yang muncul dalam melawan perilaku korupsi, dimana penjabat negara begitu lantang membicarakan bahaya korupsi, namun tidak sedikit pula maling teriak maling. Sikap yang tidak jujur ini terbukti dari begitu banyaknya undang–undang dibuat untuk mencegah korupsi, tapi korupsi justru semakin berkembang subur.

Bila demikian, sudah sepatutnyalah kita pertanyakan kembali komitmen pemimpin negeri ini untuk memberantas korupsi, sudah saatnya pula kita tanya pada diri kita masing–masing sampai dimana kita berlaku jujur dalam menjalankan kehidupan sehari–hari. Lalu untuk apa ritual hari anti korupsi yang setiap tahunnya kita peringanti? Pertanyaan seperti ini sangat wajar untuk kita kemukakan. Jika ternyata penyakit korupsi itu tetap saja menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negeri ini.

Melalui momentum hari antikorupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember ini, mari kita berefleksi kembali, menyalakan kembali semangat memerangi korupsi, paling tidak memulainya dari kita sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Jangan hanya terkesan pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika belaka, dimana masyarakat semakin sengsara sementara para pelakunya semakin bertambah kaya.

Semangat antikorupsi mesti terus berlanjut, meski persoalan ini bertambah absurd. Untuk itu diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dalam memerangi praktik korupsi yang tidak hanya memakai gay –gaya lama dengan menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai kekuatan untuk menduduki tampuk kekuasaan, mempunyai kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, menyusun agenda dan pelaksana kebijakan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, serta meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan peran yang sebenarnya selaku pelayanan publik. Kemudian juga diperlukan kemampuan dan kemauan birokrasi untuk melakukan langkah yang mencakup perubahan prilaku yang mengedepankan netralitas, profesionalitas, demokrasi, transparansi dan mandiri disertai perbaikan semangat kerja dalam mengelola pelayanan.

Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku. Disamping itu perlu dilakukan kempanye kepada masyarakat agar korupsi di pandang sebagai penyakit sosial tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial pun harus diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkapkan dan memberitakan tindak korupsi. Pengembagan budaya malu korupsi harus di sertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam diri yang akan melawan budaya korupsi itu sendiri.

Pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dalam penegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Adapun tujuan itu yakni untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Kita juga menyakini bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerja sama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Diantara berbagai butir penting lainya, semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan dipolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi serta pengawasan yang efektif.


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.

Mewujudkan Generasi Berkarakter dan Bermanfaat



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Publica Pos, 5 Desember 2015

Problem yang sangat seringkali saya temui saat mengajar siswa/i di kelas adalah; jika saya ajukan sebuah pertanyaan untuk menguji sebatas mana penguasaan materi mereka, maka sebagian besar dari siswa-siswa tersebut akan berfikir keras hanya untuk mengingat susunan huruf, titik, koma yang sepersis-persisnya dengan yang ada di buku pelajaran. Dan ketika saya pindahkan aplikasi jawaban tersebut kepada bentuk persoalan yang lain, maka mereka pun tidak mengetahui bagaimana mengaplikasikan jawabannya tadi, padahal sebenarnya sederhana saja asalkan mereka mengetahui hakikat konsepnya.

Dalam contoh kasus lain, anak-anak juga begitu “takut” mengisikan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS) atau tugas-tugas pekerjaan rumahnya dengan jawaban yang dirasa amat berbeda dengan yang tertulis pada buku paket. Seperti dalam benak mereka redaksi pada buku paket itu adalah pakem yang harus diikuti agar mendapat nilai benar.

Tentu persoalan ini tidak hanya berhenti di sini. Yaitu dengan imbasnya kepada hal-hal lain yang tak kalah berbahayanya, seperti sikap kritis yang amat dibutuhkan sebagai modal pembentuk kepribadian siswa agar lebih kreatif.

Lalu apa jadinya nasib generasi bangsa ke depan jika SDM-nya hanya menurut dan tidak berani berfikir dan bertindak kreatif? Maka, sebuah benang merah yang dapat saya tarik dari permasalahan ini adalah betapa lemahnya inisiatif atau motivasi intrinsik yang mereka miliki dikarenakan tidak mengetahui hakikat dan alasan mengapa ia melakukan sesuatu hal (dalam hal ini mengikuti pelajaran) sehingga mereka cenderung berfikir pasif.

Dan seperti yang kita ketahui bahwa salah satu pemicu lahirnya motivasi intrinsik dengan meminjam istilah dalam Quantum Learning Bobbi De Porter disebut sebagai; AMBAK (apa manfaatnya bagiku). Di mana AMBAK ini berperan menumbuhkan pertanyaan mendasar pada diri siswa ketika akan mempelajari sesuatu mengenai manfaat apa yang akan ia peroleh. Untuk kemudian pola pikir tersebut menjadi sebuah kebiasaan baik (good habit) yang membuat siswa senantiasa menggali lebih dalam dengan sendirinya apa saja konten-konten yang bermanfaat dari apa yang ia pelajari.

Namun, seperti yang sudah kita maklumi bahwasannya betapa sekolah pun memang tidak memberikan kesempatan yang leluasa kepada siswa untuk mengembangkan budaya kritis.  Di mana siswa tidak dibiasakan untuk melakukan penelititan atau kritik terhadap materi. Siswa cenderung harus “manut” terhadap apa saja yang harus mereka terima, tanpa mengetahui apakah maslahat yang dikandung materi/pemberian tersebut terhadap masa depan mereka, khususnya kemampuan mereka memecahkan persoalan.

Jika A yang diberikan guru, maka A pula yang harus ditelan oleh siswa, kadang-kadang dengan otoritasnya sebagai pengajar, beberapa guru akan memberikan hukuman kepada mereka yang tidak patuh terhadap asas pengajaran yang seperti ini. Juga yang tak kalah parah, anak yang kritis cenderung dianggap aneh/asing dan mendapatkan ejekan dari teman-teman sekelasnya.

Pun, tak kalah dengan kurikulum yang memang amat mengesampingkan budaya kritis atau bernalar, yang tampak dari porsi pelajaran yang begitu banyak urusan hafal-menghafal. Pandangan saya bahwasannya anak-anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kadaluarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anak kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.

Ya, bernalar tingkat tinggi. Kenapa harus bernalar tingkat tinggi? Sebab masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin.

Lalu, apa yang dapat kita perbuat atas persoalan ini? Dalam tulisan kecil ini saya akui bahwasannya saya tidak bisa memberikan pil manjur yang dapat membereskan persoalan ini secara serta merta dan tuntas. Sebab pendidikan, berikut elemen-elemen yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang sangat kompleks, seperti juga hakikat diri manusia sebagai pelakunya. Maka setidaknya saya mencermati salah satu bagian yang amat penting saja yaitu pembangunan karakter.

Pentingnya Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan akibat dari setiap keputusan yang ia buat.

Dalam hal ini, saya mengembalikan lagi pada persoalan yang saya gambarkan di atas bahwa betapa pentingnya karakter sebagai pondasi anak dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh demi kebaikannya di masa sekarang dan yang akan datang. Lalu kenapa harus karakter? Tentu, sebab sangat jelas perbedaan antara anak yang memiliki karakter dibanding anak yang tidak memiliki karakter yang kuat. Dimana anak yang memiliki karakter cenderung lebih memahami pilihannya, berikut manfaat, resiko dan hal-hal apa saja yang harus ia tempuh dalam mencapai tujuannya. Sebab ia memiliki minat atau passion yang lebih baik terhadap bidang yang ia geluti. Ia juga memahami aplikasi yang tepat kepada lingkungan dan masyarakat sampai pada lingkup yang paling luas sekalipun. Dan relevansinya kepada konsep AMBAK tadi sejalan, bukan?

Contoh nyata ini seringkali saya lihat pada lembaga pendidikan alternatif, seperti sekolah alam di mana kegiatan-kegiatan seperti mengorganisir kelompok (kepemimpinan), berempati, beradaptasi mendapat perhatian lebih. Sehingga kemampuan siswa dalam bertindak sebagai mahkluk sosial yang sesungguhnya akan lebih terbangun, seperti apa yang dikatakan Daniel Goleman bahwasannya keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi 80% oleh kecerdasan emosi dan 20% oleh kecerdasan otak (IQ).

Karena pendidikan karakter juga adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) yang lebih menyeluruh maka keberhasilan siswa yang nantinya bakal menjadi bagian dari masyarakat akan lebih dapat menyumbangkan manfaatnya, baik dalam kapasitas kecerdasan emosi maupun keilmuannya.

Maka, sekali lagi dengan penerapan dan penguatan karakter pada diri siswa-siswi, kita tidak akan melihat lagi istilah “salah jurusan” atau salah memilih kegiatan, minat, pencarian akan ilmu yang ia butuhkan pada anak berkarakter, sebab dirinya memahami secara utuh kapasitas diri, serta tujuan yang ia tempuh.

Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip sedikit kata-kata dari Dr. Martin Luther King; Intelegence plus character, that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.