Selasa, 29 September 2015

Mengikuti Jejak Adnan Buyung


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, 28 September 2015

Indonesia kembali berduka. Salah satu pengacara kondang dan aktivis HAM, Adnan Buyung Nasution, meninggal dunia (81 tahun) pada Rabu, 23 September 2015. Beliau berpulang setelah menderita penyakit komplikasi ginjal, jantung dan lambung. Kepergian pengacara berdarah Batak yang akrab disapa Bang Buyung ini menyisakan duka mendalam bagi segenap insan hukum di tanah air.

Beliau dikenal sebagai tokoh hukum yang rendah hati (humble) dan ramah kepada semua orang, tidak memberikan perlakuan yang berbeda ketika disapa oleh tokoh penting/pejabat maupun orang biasa. Kegigihan beliau dalam menegakkan hukum harus diacungi jempol. Beliau dikenal tegas dan tak bisa tenang melihat hal yang tidak benar. Beliau sosok yang tidak mau kompromi dengan ketidakbenaran dan ketidakadilan. Di mata hukum, beliau adalah sosok yang rela berkorban demi menegakkan hukum.

Kontribusinya bagi Indonesia bisa dikatakan sangat besar. Sikap kritis beliau kepada pemerintah sebenarnya sudah terlihat sejak terlibat dalam aksi mengkritisi pemerintahan Orde Lama, yakni ikut membidani dan menjadi pengurus Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) 1966-1968. Beliau turut menumbangkan pemerintahan Soekarno dan melahirkan pemerintahan Orde Baru, Soeharto. Meski demikian, bukan berarti beliau tidak kritis pada pemerintahan Orde Baru. Beliau ingin mewujudkan keadilan bagi rakyat kecil di masa Orde Baru dengan mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tahun 1970.

Kiprah Bang Buyung juga mulai menapaki soal hak asasi manusia (HAM). Beliau sangat aktif membela hak-hak rakyat. Ia merupakan pendiri dan mantan Komnas HAM Asia di Manila tahun 1983-1985. Ia juga bergabung sebagai anggota International Advisory Council of Netherlands Institute of Human Rights (SIM) di Utrecht tahun 1980-1987.

Atas pengabdiannya di bidang hukum, beliau bisa menyabet berbagai penghargaan. Tahun 1968, ia menerima anugerah Man of The Year dari Harian Indonesia Raya. Tahun 1976, menerima penghargaan internasional untuk bantuan hukum di Stockholm dan di London setahun kemudian.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2000 menganugerahkannya penghargaan Bintang Mahaputra dan Bapak Advokat Indonesia 2009 yang diberikan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI). Tahun 2010, ada tiga penghargaan diterimanya yakni The Ary Suta Center Award, Petisi 50 Award dan sebagai Intelektual Berdedikasi pada Kompas Award.

Di Indonesia, beliau dijadikan salah satu narasumber utama bidang hukum. Karena itu, namanya acap kali menghiasi publikasi dan pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik. Kendati demikian, ia tetap rajin melahirkan tulisan yang dimuat di sejumlah media massa nasional maupun internasional, termasuk melahirkan sejumlah buku.

Beberapa buku yang telah dilahirkannya di antaranya "Access to Justice in Indonesia", "Access to Justice", "Bantuan Hukum di Indonesia", "Democracy in Indonesia", "Instrument Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia", "Arus Pemikiran Konstitualisme: Tata Negara, Hukum dan Peradilan", "Advokat, HAM dan Demokrasi". Terakhir, tahun 2012, ia meluncurkan buku "Nasihat untuk SBY", berisi nasihat-nasihat yang ia berikan kepada SBY semasa menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum.

Mengikuti Jejaknya
Tentu beliau patut menjadi panutan, baik bagi penegak hukum maupun masyarakat umum. Ada banyak hal yang bisa dicontoh dari beliau, namun bukan berarti kita juga harus berprofesi sama dengan beliau.

Pertama, menjadi penegak hukum yang benar. Paling aneh hidup di negeri ini, penegak hukum jauh lebih sering terekspose di media massa karena pelanggaran hukum daripada membela hukum. Ada banyak kasus korupsi dan suap-menyuap yang melilit penegak hukum seperti Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Asmadinata dan Pragsono (hakim tipikor Palu dan Semarang), Pargoyo Riyadi (penyidik pajak), tiga hakim PTUN Medan yang baru-baru ini diberitakan.

Ini menjadi bukti hukum di negeri ini masuk angin. Masih banyak oknum membisniskan hukum. Tidak heran, banyak koruptor dihukum tidak setimpal dengan perbuatannya. Banyak koruptor di penjara dengan fasilitas hotel, sementara rakyat miskin yang mencuri sandal, kakao dan kayu bakar dihukum bertahun-tahun dan denda sejumlah uang. Inilah gambaran penegakan hukum di Indonesia, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Belajar dari Adnan Buyung, hukum mestinya tidak kompromi dengan ketidakbenaran.

Kedua, masyarakat taat hukum. Kita tidak perlu jadi hakim, jaksa, pengacara dan penegak hukum lainnya supaya bisa mengerjakan hukum. Kita mesti taat hukum mulai dari hal-hal kecil seperti menaati perda, lalu lintas dan lingkungan keluarga. Baru-baru ini, Indonesia dinyatakan sebagai negara darurat kekerasan pada anak. Banyak kekerasan pada anak yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Artinya, masih banyak rakyat yang tidak tahu hukum dan risikonya. Banyak orang tua membuang bayi, menganiaya hingga membunuh anaknya.

Kemudian, melanggar peraturan berlalu lintas sudah membudaya. Ada-tidaknya rambu lalu lintas seakan tidak memengaruhi pengendara untuk taat aturan. Buktinya kasus kecelakaan lalu lintas selalu marak terjadi. Data Kepolisian RI mencatat, tahun 2014 kecelakaan lalu lintas mencapai lebih 85 ribu kasus dan menimbulkan kerugian lebih Rp 225 miliar. Tentu kita tidak ingin kejadian ini meningkat. Karenanya, sangat penting menaati peraturan lalu lintas mulai sekarang.

Belajar dari Adnan Buyung, hukum harus berdiri pada hakikatnya. Hukum bukan bidang untuk main-main, karena bicara soal hukum juga bicara soal kesejahteraan rakyat dan kemajuan. Penegak hukum harus menegakkan hukum secara benar, bukan untuk meraup uang (korupsi dan suap). Adnan Buyung sudah melakukannya terlebih dahulu. Jauh lebih baik, jika semua elemen masyarakat turut melakukannya. Jika kita mengimpikan keadilan hukum di Indonesia, awali dari diri sendiri agar semua cita-cita penegak hukum yang sudah mendahului kita bisa dicapai. Selamat jalan, Bang Buyung… (Hasian Sidabutar SPd)

Penulis adalah anggota Initiatives of Change Indonesia dan alumnus Universitas Negeri Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar