Senin, 07 Desember 2015

Memeringati Hari Antikorupsi



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Metro Siantar, 7 Desember 2015

Perilaku korup semakin mengganas dan tak pernah absen terjadi di negeri ini. Perilaku haram itu telah mencederai sendi Trias politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berimbas pada terhambatnya laju pembangunan bangsa di semua sector. Tindak pidana korupsi di Indonesia telah terjadi secara meluas dan telah menjadi penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga telah menyerobot hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, serta memundurkan pembangunan dan memudarkan masa depan bangsa.

Perilaku korupsi ini tidak hanya dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, ataupun kewenagan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan aset negara, tetapi juga berpengaruh pada setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, ataupun terpaksa. Kebobrokan integritas dan mental korup para penyelenggara negara tidak hanya menempatkan bangsa Indonesia bercokol di deretan negara terkorup dunia tetapi bahkan kondisi seperti ini dapat saja mengiring bangsa ini kearah kehancuran, failed state, atau ambruk keropos diakibatkan korupsi.

Memang penyakit korupsi ini tidak hanya menyerang satu negara, bahkan ia telah menjadi acaman serius bagi kebanyakan negara–negara dibelahan dunia. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat telah terjadi 629 kasus korupsi yang melilit 1328 tersangka di lingkungan pejabat pusat hingga daerah dengan total kerugian negara Rp 5,29 triliun.

Angka itu masih dalam durasi waktu satu tahun. Artinya jika dikalkulasikan dengan tahun-tahun sebelumnya dan hingga semester I tahun 2015 ini dimana kita tahu kinerja KPK terus menurun, maka angka itu pasti jauh membludak. Bisa saja angka tersebut hanyalah fenomena sebagai fakta permukaan dari realita korupsi yang berlapis dinegeri ini. Walaupun belum terungkap tuntas berbagai praktik korupsi, penyingkapan 629 kasus selama 2014 itu sudah membuat berbagai kalangan terperangah betapa korupnya sistem birokrasi indonesia.

Meski fenomena korupsi ini telah menjadi penyakit kronis dan sistemik yang sangat sulit untuk disembuhkan, namun ada tren lain yang muncul dalam melawan perilaku korupsi, dimana penjabat negara begitu lantang membicarakan bahaya korupsi, namun tidak sedikit pula maling teriak maling. Sikap yang tidak jujur ini terbukti dari begitu banyaknya undang–undang dibuat untuk mencegah korupsi, tapi korupsi justru semakin berkembang subur.

Bila demikian, sudah sepatutnyalah kita pertanyakan kembali komitmen pemimpin negeri ini untuk memberantas korupsi, sudah saatnya pula kita tanya pada diri kita masing–masing sampai dimana kita berlaku jujur dalam menjalankan kehidupan sehari–hari. Lalu untuk apa ritual hari anti korupsi yang setiap tahunnya kita peringanti? Pertanyaan seperti ini sangat wajar untuk kita kemukakan. Jika ternyata penyakit korupsi itu tetap saja menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negeri ini.

Melalui momentum hari antikorupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember ini, mari kita berefleksi kembali, menyalakan kembali semangat memerangi korupsi, paling tidak memulainya dari kita sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Jangan hanya terkesan pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika belaka, dimana masyarakat semakin sengsara sementara para pelakunya semakin bertambah kaya.

Semangat antikorupsi mesti terus berlanjut, meski persoalan ini bertambah absurd. Untuk itu diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dalam memerangi praktik korupsi yang tidak hanya memakai gay –gaya lama dengan menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai kekuatan untuk menduduki tampuk kekuasaan, mempunyai kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, menyusun agenda dan pelaksana kebijakan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, serta meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan peran yang sebenarnya selaku pelayanan publik. Kemudian juga diperlukan kemampuan dan kemauan birokrasi untuk melakukan langkah yang mencakup perubahan prilaku yang mengedepankan netralitas, profesionalitas, demokrasi, transparansi dan mandiri disertai perbaikan semangat kerja dalam mengelola pelayanan.

Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku. Disamping itu perlu dilakukan kempanye kepada masyarakat agar korupsi di pandang sebagai penyakit sosial tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial pun harus diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkapkan dan memberitakan tindak korupsi. Pengembagan budaya malu korupsi harus di sertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam diri yang akan melawan budaya korupsi itu sendiri.

Pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dalam penegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Adapun tujuan itu yakni untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Kita juga menyakini bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerja sama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Diantara berbagai butir penting lainya, semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan dipolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi serta pengawasan yang efektif.


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.

Mewujudkan Generasi Berkarakter dan Bermanfaat



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Publica Pos, 5 Desember 2015

Problem yang sangat seringkali saya temui saat mengajar siswa/i di kelas adalah; jika saya ajukan sebuah pertanyaan untuk menguji sebatas mana penguasaan materi mereka, maka sebagian besar dari siswa-siswa tersebut akan berfikir keras hanya untuk mengingat susunan huruf, titik, koma yang sepersis-persisnya dengan yang ada di buku pelajaran. Dan ketika saya pindahkan aplikasi jawaban tersebut kepada bentuk persoalan yang lain, maka mereka pun tidak mengetahui bagaimana mengaplikasikan jawabannya tadi, padahal sebenarnya sederhana saja asalkan mereka mengetahui hakikat konsepnya.

Dalam contoh kasus lain, anak-anak juga begitu “takut” mengisikan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS) atau tugas-tugas pekerjaan rumahnya dengan jawaban yang dirasa amat berbeda dengan yang tertulis pada buku paket. Seperti dalam benak mereka redaksi pada buku paket itu adalah pakem yang harus diikuti agar mendapat nilai benar.

Tentu persoalan ini tidak hanya berhenti di sini. Yaitu dengan imbasnya kepada hal-hal lain yang tak kalah berbahayanya, seperti sikap kritis yang amat dibutuhkan sebagai modal pembentuk kepribadian siswa agar lebih kreatif.

Lalu apa jadinya nasib generasi bangsa ke depan jika SDM-nya hanya menurut dan tidak berani berfikir dan bertindak kreatif? Maka, sebuah benang merah yang dapat saya tarik dari permasalahan ini adalah betapa lemahnya inisiatif atau motivasi intrinsik yang mereka miliki dikarenakan tidak mengetahui hakikat dan alasan mengapa ia melakukan sesuatu hal (dalam hal ini mengikuti pelajaran) sehingga mereka cenderung berfikir pasif.

Dan seperti yang kita ketahui bahwa salah satu pemicu lahirnya motivasi intrinsik dengan meminjam istilah dalam Quantum Learning Bobbi De Porter disebut sebagai; AMBAK (apa manfaatnya bagiku). Di mana AMBAK ini berperan menumbuhkan pertanyaan mendasar pada diri siswa ketika akan mempelajari sesuatu mengenai manfaat apa yang akan ia peroleh. Untuk kemudian pola pikir tersebut menjadi sebuah kebiasaan baik (good habit) yang membuat siswa senantiasa menggali lebih dalam dengan sendirinya apa saja konten-konten yang bermanfaat dari apa yang ia pelajari.

Namun, seperti yang sudah kita maklumi bahwasannya betapa sekolah pun memang tidak memberikan kesempatan yang leluasa kepada siswa untuk mengembangkan budaya kritis.  Di mana siswa tidak dibiasakan untuk melakukan penelititan atau kritik terhadap materi. Siswa cenderung harus “manut” terhadap apa saja yang harus mereka terima, tanpa mengetahui apakah maslahat yang dikandung materi/pemberian tersebut terhadap masa depan mereka, khususnya kemampuan mereka memecahkan persoalan.

Jika A yang diberikan guru, maka A pula yang harus ditelan oleh siswa, kadang-kadang dengan otoritasnya sebagai pengajar, beberapa guru akan memberikan hukuman kepada mereka yang tidak patuh terhadap asas pengajaran yang seperti ini. Juga yang tak kalah parah, anak yang kritis cenderung dianggap aneh/asing dan mendapatkan ejekan dari teman-teman sekelasnya.

Pun, tak kalah dengan kurikulum yang memang amat mengesampingkan budaya kritis atau bernalar, yang tampak dari porsi pelajaran yang begitu banyak urusan hafal-menghafal. Pandangan saya bahwasannya anak-anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kadaluarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anak kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.

Ya, bernalar tingkat tinggi. Kenapa harus bernalar tingkat tinggi? Sebab masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin.

Lalu, apa yang dapat kita perbuat atas persoalan ini? Dalam tulisan kecil ini saya akui bahwasannya saya tidak bisa memberikan pil manjur yang dapat membereskan persoalan ini secara serta merta dan tuntas. Sebab pendidikan, berikut elemen-elemen yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang sangat kompleks, seperti juga hakikat diri manusia sebagai pelakunya. Maka setidaknya saya mencermati salah satu bagian yang amat penting saja yaitu pembangunan karakter.

Pentingnya Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan akibat dari setiap keputusan yang ia buat.

Dalam hal ini, saya mengembalikan lagi pada persoalan yang saya gambarkan di atas bahwa betapa pentingnya karakter sebagai pondasi anak dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh demi kebaikannya di masa sekarang dan yang akan datang. Lalu kenapa harus karakter? Tentu, sebab sangat jelas perbedaan antara anak yang memiliki karakter dibanding anak yang tidak memiliki karakter yang kuat. Dimana anak yang memiliki karakter cenderung lebih memahami pilihannya, berikut manfaat, resiko dan hal-hal apa saja yang harus ia tempuh dalam mencapai tujuannya. Sebab ia memiliki minat atau passion yang lebih baik terhadap bidang yang ia geluti. Ia juga memahami aplikasi yang tepat kepada lingkungan dan masyarakat sampai pada lingkup yang paling luas sekalipun. Dan relevansinya kepada konsep AMBAK tadi sejalan, bukan?

Contoh nyata ini seringkali saya lihat pada lembaga pendidikan alternatif, seperti sekolah alam di mana kegiatan-kegiatan seperti mengorganisir kelompok (kepemimpinan), berempati, beradaptasi mendapat perhatian lebih. Sehingga kemampuan siswa dalam bertindak sebagai mahkluk sosial yang sesungguhnya akan lebih terbangun, seperti apa yang dikatakan Daniel Goleman bahwasannya keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi 80% oleh kecerdasan emosi dan 20% oleh kecerdasan otak (IQ).

Karena pendidikan karakter juga adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) yang lebih menyeluruh maka keberhasilan siswa yang nantinya bakal menjadi bagian dari masyarakat akan lebih dapat menyumbangkan manfaatnya, baik dalam kapasitas kecerdasan emosi maupun keilmuannya.

Maka, sekali lagi dengan penerapan dan penguatan karakter pada diri siswa-siswi, kita tidak akan melihat lagi istilah “salah jurusan” atau salah memilih kegiatan, minat, pencarian akan ilmu yang ia butuhkan pada anak berkarakter, sebab dirinya memahami secara utuh kapasitas diri, serta tujuan yang ia tempuh.

Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip sedikit kata-kata dari Dr. Martin Luther King; Intelegence plus character, that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.

Kaum Guru Mesti Bisa Menulis



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Metro Siantar, 1 Desember 2015
 
Banyak orang bertestimoni tentang guru begini, jika guru mengajar, ah, itu soal biasa. Namun, bila guru menulis, itu baru luar biasa. Dan saya, secara pribadi, setuju dengan pernyataan itu. Peran ganda guru sebagai pengajar di sekolah sekaligus penulis, penulis Koran atau buku misalnya, memang masih jarang ditemukan di negeri kita.

Dengan bahasa lain, guru yang produktif menulis bisa dihitung dengan jari. Masih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah guru yang begitu besar. Mungkin hanya sekian ratus guru saja yang menulis dari ratusan ribu jumlah guru yang tersebar di nusantara. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menyikapi kurangnya guru yang bisa menulis dapat dilihat dengan berbagai alasan fundamental. Bukan mencari kambing hitam dalam persoalan ini, tapi minimnya guru yang menulis tak lepas dari desain lembaga pendidikan nasional yang klasik, itu-itu saja, tidak ada inovasi dan improvisasi yang lebih produktif.

Artinya, metode lama dengan model pembelajaran institusi pendidikan masih terfokus pada bentuk pembelajaran menghafal yang lebih menonjolkan intelektual (kognitif) serta menafikan kemampuan kecerdasan psikomotorik, afektif dan emosional (Ary Ginanjar Agustian: 2005). Inilah salah satu persoalan krusial yang mendedah sistem pembelajaran kita. Dengan kata lain, terjadi suatu kenaifan terhadap amanah konstitusi dalam dunia pendidikan nasional. Padahal tujuan pembelajaran sebagaimana UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 juga tidak menafikan soal sikap dan keterampilan. Dengan maksud sederhana, titik tekan keterampilan yang dimaksud UU pendidikan tersebut dapat diterjemahkan dengan kemampuan menulis yang mesti dimiliki oleh para (calon) guru yang menjadi panutan peserta didiknya.

Selain itu, perihal alasan lain guru (belum) tidak menulis karena ter(di)penjara oleh asumsi umum yang menganggap menulis itu sulit. Asumsi itu berbeda dengan pendapat Arswendo Atmowiloto yang mengatakan bahwa menulis itu mudah. Menurut penulis buku Senopati Pamungkas itu, menulis ibarat mencium seorang gadis, sekali dapat mencium maka yang lain mudah didapat. Ini pendapat Arswendo, namun berbeda dengan kebanyakan guru kita.

Menulis masih dianggap suatu pekerjaan yang menakutkan. Ada-ada saja alasan mereka menghindari aktivitas menulis. Dalihnya, saya tidak bisa menulis karena tidak bakat, tak punya keturunan biologis seorang penulis, belum datang mood, dan jutaan dalih lain yang menurut Feby dalam tulisannya di harian Tempo bertajuk Dalih semua itu hanyalah dalih seseorang untuk menghindar dari kegiatan menulis. Kemudian, tidak sedikit pula guru yang tidak menulis karena faktor malas menulis. Padahal teorinya untuk bisa menulis ya terus menulis apapun, menulis catatan harian, menulis aktivitas sehari-hari, menulis hal-hal penting yang terjadi dalam kehidupan atau yang lain.

Sebab, dunia tulis-menulis bukan dunia teori namun dunia yang lebih menekankan pada praktik yang tak kenal kata menyerah. Ibarat orang belajar naik sepeda, sebelum bisa lancar naik sepeda seseorang harus terus belajar praktik naik sepeda meskipun ia berulang kali terjatuh sehingga menimbulkan luka di tubuhnya.

Singkat kata, tanpa praktik menulis mustahil orang bisa menulis. Karena sekali lagi, dunia tulis-menulis bukan dunia teori tapi dunia praktik. Intinya, tanpa berlatih menulis dengan kerja keras serta berdoa tentu mimpi menjadi penulis hanya ada dalam ruang imajinasi/utopis, tidak dalam dunia realitas seperti yang diharapkan (guru). Ya, itulah beberapa perspektif penulis melihat mengapa guru tak menulis. Berbagai persoalan yang menghambat guru menekuni dunia tulis menulis hendaknya dapat ditepis. Item-item di atas hanya alasan kecil dari banyak faktor orang atau guru tidak menulis. Bagaimanapun guru wajib dapat menulis. Karena jika guru tidak bisa menulis bagaimana lagi dengan muridnya?

Sudah bukan rahasia umum, bahwa guru penulis memiliki peran penting dalam memajukan dunia pendidikan nasional yang makin lama makin menurun. Bayangkan saja, kualitas dunia pendidikan kita kini kalah unggul dengan Malaysia. Padahal sejarah mencatat, dan kita semua tahu era tahun 1970-an, Negeri Jiran pernah meminta tenaga pengajar dari Indonesia. Torehan sejarah emas itu menjadi bukti kualitas pendidikan kita dahulu cukup diperhitungkan negara lain. Lantas, bagaimana dengan sekarang?

Sudah barang tentu, menurunnya indeks prestasi pendidikan kita tidak dapat dilepaskan karena minimnya guru yang menulis dan melahirkan karya besar yang membawa perubahan bagi peradaban umat manusia. Pungkas, bukan maksud menggurui, namun uraian di atas setidaknya dapat menjadi bahan refleksi sekaligus autokritik bagi kita semua utamanya stakeholder pendidikan (pemangku kebijakan), pemerhati pendidikan serta guru yang menjadi panutan siswanya.

Di kemudian hari bangsa ini berharap besar adanya revolusi dalam dunia pendidikan utamanya di kalangan tenaga pengajar. Yaitu, guru yang tidak hanya dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada muridnya dengan cara lisan, tetapi guru yang dapat mencerdaskan anak didiknya melalui keterampilan menulis yang mempuni. Anda seorang guru atau anda memiliki saudara/kenalan guru, ayo mulai menulis sekarang…


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.

Detik-Detik Menjelang MEA



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Publica Pos, 1 Desember 2015
 
Tinggal beberapa waktu ke depan, masyarakat di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Desember 2015, MEA akan mulai diberlakukan. Dalam MEA ada arus “3 ang”, yaitu arus barang, uang dan orang yang akan lebih mudah dan deras mengalir antarnegara anggota. Distribusi perdagangan akan semakin terbuka. Alur investasi juga akan berseliweran demi memenuhi kebutuhan modal bagi perusahaan di masing-masing negara. Belum lagi tenaga kerja yang dapat dengan mudah bekerja melintasi negara-negara anggota tanpa hambatan yang berarti. Sudah terbayang hilir mudik lalu lintas barang, uang dan orang sebagai dampak dari integrasi ekonomi dan perdagangan ini.

Pada satu sisi, MEA dipandang positif sebagai upaya integrasi kekuatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Integrasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan dapat membawa perdamaian dalam konteks hubungan internasional antarnegara anggota. Karena integrasi perdagangan akan menciptakan kesalingtergantungan dan kerjasama saling menguntungkan antar negara-negara anggota. Interpendensi ini secara simultan juga dapat menciptakan rezim internasional yang dapat meminimalisasi potensi-potensi konflik dan memperkuat tali perdamaian.

Kita perlu melihat contoh dari kasus Eropa. Mulanya masyarakat di benua itu memiliki kebutuhan yang sama atas kebutuhan energy batu bara dan baja. Maka, pada tahun 1950 lahirlah European Coal and Steel Community (ECSC) untuk menghapus hambatan perdagangan batu bara dan baja itu. Berdiri pula European Atomic Energy Community (Euratom) dan European Economic Community (EEC), yang kemudian bergabung menjadi European Community (EC). Selanjutnya dalam perjanjian Schengen (1985) mereka menghilangkan batas negara dan membangun pasar tunggal. Perjanjian Maasticht (1992) mengubah European Community menjadi Uni Eropa.

Sejarah terbentuknya Uni Eropa ini merupakan salah satu studi kasus yang menggambarkan fenomena perdagangan internasional dapat berimplikasi positif terhadap perdamaian. Integrasi Eropa yang diawali dengan kerjasama ekonomi dapat menjaga perdamaian di Eropa. Terbukti dengan tidak adanya perang secara terbuka antarnegara anggota Uni Eropa hingga saat ini.
Berkaca kepada studi kasus Uni Eropa di atas, MEA juga nantinya diharapkan dapat melahirkan perdamaian secara dua arah. Pertama, untuk membentuk MEA diperlukan stabilitas keamanan. Tanpa stabilitas keamanan ini di negara-negara anggota, MEA yang kita harapkan akan sulit terwujud. Alih-alih menciptakan kemakmuran, instabilitas keamanan akan memporakporankan cita-cita MEA.

Stabilitas keamanan yang dimaksud disini adalah stabilitas keamanan dalam negeri masing-masing anggota MEA. Tindak kekerasan yang menimpa warga minoritas seperti Pattani di Thailand, Moro di Filipina, dan Rohingya di Myanmar. Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia harus bisa berperan secara aktif untuk mendorong terciptanya perdamaian bagi Pattani, Moro dan Rohingya tersebut. Jika terjadi konflik dalam negeri Thailand, Filipina dan Myanmar, maka kelancaran arus barang, uang dan orang akan terganggu. Akibatnya integrasi ekonomi yang sejatinya dapat menciptakan kemakmuran justru dapat menimbulkan kekisruhan (chaos).

Kedua, terciptanya perdamaian karena adanya rasa saling membutuhkan di antara negara-negara anggota MEA. Indonesia saja memliki salingketergantungan dengan Thailandm, Singapura dan Malaysia. Pada tahun 2013, tiga negara ini menjadi tumpuan impor Indonesia. Barang-barang yang diimpor dari Thailand di antaranya kendaraan dan bagiannya, mesin-mesin/pesawat mekanik, plastic dan barang dari plastic dan banyak lagi lainnya. Sedangkan barang-barang impor dari Singapura antara lain mesin/peralatan listrik, mesin-mesin/peswat mekanik, bahan kimia organisk, plastic dan barang plastic dan banyak lagi lainnya.

Begitu juga dengan Malaysia yang berbatasan secara langsung, Indonesia impor  dari Malaysia mesin-mesin/pesawat mekanik, plastic dan barang plastik, mesin/peralatan listrik, bahan kimia organic dan banyak lagi lainnya. Demikian juga sebaliknya Thailand, Singapura dan Malaysia bergantung kepada Indonesia. Singapura mengimpor sayuran dan buah-buahan dari Indonesia. Malaysia juga mengimpor produk migas, pertambangan dan perkebunan dari Indonesia.

Jadi, perdamaian kita wujudkan melalui MEA dengan dua arah, yaitu secara ex-ante (sebelum) dan ex-post (sesudah). Ex-ante artinya dengan perdamaian kita capai keberhasilan MEA. Sedangkan ex-post artinya dengan MEA pula kita wujudkan perdamaian.

Potensi Konflik Indonesia
Misi perdmaian ini tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan. Indonesia sendiri masih menyimpan potensi konflik batas wilayah dengan negara-negara tetangga. Indonesia memiliki wilayah yang berbatasan dengan beberapa negara. Hampir setiap perbatasan tersebut menyisakan permasalahan yang hingga kini belum jelas kesepakatannya.

Belum ada kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia soal garis batas ZEE di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan serta Laut Sulawesi. Malaysia ingin batas landas kontinen dan ZEE berada pada satu garis yang sama, sedangkan Indonesia ingin landas kontinen dan ZEE berada pada 2 garis yang berbeda. Indonesia juga masih mengklaim batas ZEE di Selat Malaka bagian selatan dan batas laut territorial di Selat Singapura bagian timur.

Dengan Filipina, Indonesia juga belum menyepakati 2 segmen garis batas ZEE di Laut Sulawesi. Dengan Singapura, Indonesia belum menyepakati garis batas laut wilayah Selat Singapura segmen timur II khususnya soal kepemilikan South Ledge. Hal ini akan pelik karena melibatkan 3 negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Masalah batas ZEE antara Thailand dengan Indonesia di perairan utara Selat Malaka juga belum selesai.

Persoalan-persoalan ini juga musti segera dituntaskan sebelum dan seiring dengan berlakunya MEA. Sebab jika tidak, akan dapat menghambat MEA itu sendiri.

 Peran Indonesia
Indonesia adalah negeri demokrasi yang berpenduduk cukup besar sekitar 250 juta jiwa atau 40 persen dari total jumlah penduduk MEA yang mencapai sekitar 600 juta jiwa. Falsafah Pancasila yang menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia juga menjadi jiwa dalam menghadapi konflik. Indonesia jelas bukan tanpa konflik, namun konflik-konflik yang ada cenderung dapat diselesaikan.

Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di Aceh yang terjadi selama 30 tahun lebih dan banyak memakan korban jiwa berakhir damai pada 15 Agustus 2005. Belum lagi konflik di Sampit, Poso, Ambon, dan seterusnya. Hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia.  Banyak negara tertarik dan ingin mempelajari bagaimana Indonesia bisa menciptakan perdamaian.

Pengalaman menghadapi banyak konflik selama ini menjadi modal bagi Indonesia untuk dapat berperan lebih dalam mewujudkan perdamaian melalui MEA di kawasan Asia Tenggara. Terlebih sebagai negeri dengan jumlah penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia kita harapkan dapat memainkan peran yang konstruktif dalam penyelesaian konflik Pattani di Thailand, Moro di Filipina dan Rohingya di Myanmar yang kebetulan semuanya adalah etnis Muslim. Dengan MEA, peluang untuk mewujudkan perdamaian semakin terbuka lebar. Tinggal bagaimana Indonesia mau atau tidak mewujudkannya.


Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.