Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Metro Siantar, 7 Desember 2015
Perilaku korup semakin
mengganas dan tak pernah absen terjadi di negeri ini. Perilaku haram itu telah mencederai
sendi Trias politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berimbas
pada terhambatnya laju pembangunan bangsa di semua sector. Tindak pidana
korupsi di Indonesia telah terjadi secara meluas dan telah menjadi penyakit
yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga
telah menyerobot hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi,
merusak aturan hukum, serta memundurkan pembangunan dan memudarkan masa depan
bangsa.
Perilaku korupsi ini
tidak hanya dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, ataupun
kewenagan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan aset negara, tetapi juga
berpengaruh pada setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi
nilai publik, baik tidak sengaja, ataupun terpaksa. Kebobrokan integritas dan
mental korup para penyelenggara negara tidak hanya menempatkan bangsa Indonesia bercokol di deretan negara
terkorup dunia tetapi bahkan kondisi seperti ini dapat saja mengiring bangsa
ini kearah kehancuran, failed state, atau ambruk keropos diakibatkan korupsi.
Memang penyakit korupsi
ini tidak hanya menyerang satu negara, bahkan ia telah menjadi acaman serius
bagi kebanyakan negara–negara dibelahan dunia. Bayangkan saja, sepanjang tahun
2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat telah terjadi 629 kasus korupsi
yang melilit 1328 tersangka di lingkungan pejabat pusat hingga daerah dengan
total kerugian negara Rp 5,29 triliun.
Angka itu masih dalam
durasi waktu satu tahun. Artinya jika dikalkulasikan dengan tahun-tahun
sebelumnya dan hingga semester I tahun 2015 ini dimana kita tahu kinerja KPK
terus menurun, maka angka itu pasti jauh membludak. Bisa saja angka tersebut
hanyalah fenomena sebagai fakta permukaan dari realita korupsi yang berlapis
dinegeri ini. Walaupun belum terungkap tuntas berbagai praktik korupsi,
penyingkapan 629 kasus selama 2014 itu sudah membuat berbagai kalangan
terperangah betapa korupnya sistem birokrasi indonesia.
Meski fenomena korupsi
ini telah menjadi penyakit kronis dan sistemik yang sangat sulit untuk
disembuhkan, namun ada tren lain yang muncul dalam melawan perilaku korupsi,
dimana penjabat negara begitu lantang membicarakan bahaya korupsi, namun tidak
sedikit pula maling teriak maling. Sikap yang tidak jujur ini terbukti dari
begitu banyaknya undang–undang dibuat untuk mencegah korupsi, tapi korupsi
justru semakin berkembang subur.
Bila demikian, sudah
sepatutnyalah kita pertanyakan kembali komitmen pemimpin negeri ini untuk
memberantas korupsi, sudah saatnya pula kita tanya pada diri kita masing–masing
sampai dimana kita berlaku jujur dalam menjalankan kehidupan sehari–hari. Lalu
untuk apa ritual hari anti korupsi yang setiap tahunnya kita peringanti? Pertanyaan
seperti ini sangat wajar untuk kita kemukakan. Jika ternyata penyakit korupsi
itu tetap saja menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negeri ini.
Melalui momentum hari
antikorupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember ini, mari kita berefleksi
kembali, menyalakan kembali semangat memerangi korupsi, paling tidak memulainya
dari kita sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Jangan hanya terkesan
pemberantasan korupsi hanya sebatas retorika belaka, dimana masyarakat semakin
sengsara sementara para pelakunya semakin bertambah kaya.
Semangat antikorupsi
mesti terus berlanjut, meski persoalan ini bertambah absurd. Untuk itu
diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dalam memerangi praktik korupsi
yang tidak hanya memakai gay –gaya lama dengan menjadikan isu pemberantasan
korupsi sebagai kekuatan untuk menduduki tampuk kekuasaan, mempunyai kompetensi
terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, menyusun agenda dan
pelaksana kebijakan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat,
serta meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan peran yang sebenarnya selaku
pelayanan publik. Kemudian juga diperlukan kemampuan dan kemauan birokrasi
untuk melakukan langkah yang mencakup perubahan prilaku yang mengedepankan
netralitas, profesionalitas, demokrasi, transparansi dan mandiri disertai
perbaikan semangat kerja dalam mengelola pelayanan.
Untuk memberantas korupsi
diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi yang berat
kepada pelaku. Disamping itu perlu dilakukan kempanye kepada masyarakat agar
korupsi di pandang sebagai penyakit sosial tindakan kriminal yang merupakan
musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial pun harus diberikan kebebasan yang
bertanggung jawab dalam mengungkapkan dan memberitakan tindak korupsi. Pengembagan
budaya malu korupsi harus di sertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah
individu dalam diri yang akan melawan budaya korupsi itu sendiri.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta.