Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Malut Post, 21 November 2015
Lagi-lagi, perpolitikan tanah air kembali tercoreng. Tindakan Ketua DPR
RI dan politisi partai Golkar Setya Novanto, jika benar mencatut nama Presiden
Jokowi untuk melobi PT Freeport Indonesia seperti dituduhkan Menteri Energi
Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Sudirman Said, bukan hanya mencoreng parlemen,
melainkan juga meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap etika politik.
Apa yang dipertontonkan para politikus di panggung politik Indonesia waktu terakhir ini, seolah membenarkan asumsi
sebagian masyarakat yang sinis terhadap politik: bahwa politik adalah medan
pertempuran barbar.
Jika benar laporan Menteri ESDM ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bahwa
Setya Novanto mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk meminta saham
dari Freeport untuk memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak, kepercayaan
rakyat terhadap lembaga DPR benar-benar bakal tergerus hingga ke titik paling
rendah.
Dalam laporannya ke MKD, Senin (16/11) lalu, Sudirman Said menyebut Setya
Novanto, bersama pengusaha minyak Reza Chalid, menemui bos Freeport sebanyak
tiga kali. Pada pertemuan ketiga, 6 Juni 2015, Setya Novanto meminta saham 11
persen untuk Presiden Jokowi dan 9 persen untuk Wapres Jusuf Kalla, demi
memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Untuk “jasa”-nya tersebut, Setya Novanto meminta Freeport memberinya
saham proyek listrik yang akan dibangun di Timika. Ia juga meminta Freeport
menjadi investor sekaligus off taker (pembeli) tenaga listrik yang dihasilkan
dari proyek tersebut.
Dalam laporannya, Sudirman Said menyampaikan bukti berupa transkrip
pembicaraan antara Setya Novanto, Reza Chalid, dan petinggi PT Freeport
Indonesia. Ia juga menyatakan informasi tersebut didapatkan dari petinggi
Freeport Indonesia. Rekaman asli dari percakapan itu akan segera disampaikan
Sudirman ke MKD.
Seolah informasi tersebut belum cukup untuk menunjukkan bobroknya moral
politik pemimpin wakil rakyat, sebuah surat yang diteken Setya Novanto, yang
ditujukan kepada Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, kini beredar di
kalangan wartawan. Dalam surat berkop DPR tertanggal 17 Oktober 2015 itu, Setya
Novanto meminta PT Freeport membayar biaya penyimpanan BBM pada PT Orbit
Terminal Merak (OTM), tempat selama ini PT Pertamina menyimpan bahan bakar di
perusahaan tersebut.
Sebelumnya, nama Setya Novanto juga sudah sering dikaitkan untuk sejumlah
kasus. Mulai dari kasus pengalihan hak tagih Bank Bali pada 1999, kasus
penyelumdupan beras dari Vietnam pada 2003, kasus penyelundupan limbah beracun
di Pulau Galang Batam pada 2006, kasus korupsi proyek PON Riau 2012, dan kasus
dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Hampir dalam semua tersebut, nama Setya Novanto disebut sebagai
negosiator atau pembagi fee untuk memuluskan jalannya proyek. Namun, bukti tak
cukup kuat untuk menyeret Setya Novanto ke meja hijau.
Meski demikian, sejumlah catatan yang dimiliki Setya Novanto membuat kita
mempertanyakan integritasnya sebagai seorang pemimpin DPR. Sebagai ketua dari
lembaga wakil rakyat, kita berharap Setya Novanto adalah seorang leader, orang
yang memimpin, yang mengarahkan, yang memberi inspirasi bagi rakyat yang ia
wakili; bukan malah menjadi makelar atau broker untuk secuil remah-remah bagi
perutnya sendiri.
Kasus Setya Novanto, jika terbukti benar, sebenarnya menjadi pukulan bagi
kita untuk melihat bahwa sudah terlalu lama etika politik di negeri ini
diabaikan. Juga makin sedikit politikus yang masih memegang moralitas politik.
Jika kita sedikit saja memiliki kepekaan politik, kita akan tahu bahwa
rakyat kini mulai tak peduli dengan apa yang terjadi di panggung politik.
Ketika para pemimpin dan kader parpol satu per satu diseret ke depan
persidangan atas tudingan korupsi, rakyat melihat dengan hati tawar.
Sebagian dari mereka bahkan merindukan tirani dan dengan sukarela
mengubur demokrasi. Sebagian lainnya bersorak, mensyukuri bahwa mereka tak
pernah terlibat politik dan insiden itu hanya jadi pembenaran bagi mereka,
bahwa selamanya politik adalah “barang kotor”.
Siapa kini mempercayai politik? Siapa meyakini partai
politik? Seorang jenderal yang berniat maju sebagai calon presiden 2014 lalu
menyebut, demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi duit. Aspirasi rakyat
hanya diwakili segelintir orang yang menilai politik hanya sebagai karier untuk
mengeruk keuntungan financial.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan