Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Jurnal Asia, 12 November 2015
Bagaimana sebenarnya cara
kita mengapitalisasi 250 juta warga Indonesia? Dalam pengertian paling umum,
jumlah itu adalah sebuah potensi kerja yang luar biasa. Yang diukur dengan
kemampuan produktifitasnya dan sumbangannya pada ”pendapatan nasional”.
Maka angka hebat
itu sekedar bermakna ranking terbesar keempat di dunia, bermakna Rp 5.000
triliun dalam PDB, 2.000 dollar AS per kapita, Rp 400 triliun untuk pendidikan,
52 persen persen konstituen untuk satu putaran pilpres, Rp 70 triliun subsidi
energi, 10 persen penganggur, Rp 100 triliun kontribusi industri kreatif, atau
100.000 megawatt tambahan listrik, dan seterusnya.
Dengan itu, kita
sadar, betapa nilai satu manusia di negeri ini, jiwa, raga, dan seluruh potensi
mentalnya, dihitung dalam materialisasi angka-angka yang pada akhirnya
melenyapkan kenyataan dan keberadaan manusianya sendiri. Simplifikasi yang
penuh reduksi ini membuat negeri kita bukan hanya tampak miskin dan sengsara,
tetapi juga rapuh tak berdaya.
Betapa semua
angka itu hanya menjadi artifisialisasi dari realitas majemuk dan padat dimensi
dari kemanusiaan kita sendiri. Satu bentuk komprehensi yang juga menunjukkan
kemiskinan visi, wawasan, dan bacaan para penyelenggara negeri atas negeri yang
dipimpin. Dan kemiskinan ini begitu rentan dalam pertarungan global, bahkan di
tingkat virtual.
Hanya dalam
hitungan hari, bahkan mungkin jam, angka-angka itu bisa berubah radikal, anjlok
ke jurang terdalam, oleh ulah pialang-petualang. Katakanlah semacam George
Soros, yang bukan hanya pernah menghantam Thailand, Korea, Indonesia, dan
banyak negara Asia, tetapi juga negeri dengan kekuatan moneter dahsyat seperti
Inggris. Maka, bila tidak rentan dan rapuh, angka-angka yang memaknai dan
mengapitalisasi 250 juta manusia itu sebenarnya adalah palsu.
Unikum kebudayaan
Kepalsuan itu
terlihat bukan hanya karena sebuah argumentasi teoretis atau filosofis saja,
tetapi juga berdasar fakta dan realita, bahwa sejarah para penghuni negeri
kepulauan itu, lebih dari dua milenia membangun dirinya, sama sekali tidak
dengan angka, tidak dengan statistik ekonomi, data kependudukan, atau jumlah
produksi celana yang dipakainya.
Negeri yang
dipahami dengan baik oleh Soekarno dengan Pancasila-nya ini dibangun melalui
kekuatan-kekuatan kebudayaan (sebagaimana Soekarno memaksudkan semua sila yang
ia kristalkan itu sebagai hasil dan bermakna kebudayaan). Kekuatan yang membuat
negeri-negeri dan bangsa-bangsa di dalamnya bertahan, berkembang, bahkan
memiliki posisi atau peran yang tidak remeh dalam percaturan mancanegara.
Karena, bagaimana
kita dapat mengapitalisasi, mematerialisasi, karya dan produk kultural, seperti
Borobudur, wayang, batik, kitab-kitab ajaran kuno, keterbukaan dan
kosmopolitanisme yang membentuk identitas suku-suku, bahasa yang menyatukan,
pergaulan yang intens dan progresif di antara mereka, kemampuan mengakulturasi
semua adab/budaya asing yang datang dan seterusnya.
Kealpaan pada
hal-hal itu bukan hanya menafikan keunggulan dan kekayaan kita, tetapi juga seperti
mempabrikasi bom waktu kehancuran sendiri. Karena justru dengan itulah, dengan
katakanlah nilai-nilai ideal Pancasila-Soekarno, sebenarnya kita bisa bertahan
sebagai sebuah negeri, sebuah bangsa, dari kemungkinan segregasi yang diramal,
dicemaskan dan ditiupkan segolongan pihak.
Itulah fakta.
Sebenarnya 250 juta manusia adalah jumlah dari para produsen kebudayaan, dari
unikum-unikum kebudayaan. Mereka, pada setiap entitasnya, memiliki daya,
kekuatan produktif, bertahan dan berkembang tersendiri. Yang secara akumulatif
terbukti membangun negeri ini, dengan atau tanpa modal kapital yang serakah,
dengan atau tanpa setidaknya keterlibatan minimal negara.
Seorang wartawan
National Geographic melukiskan dengan haru saat ia berkunjung ke negara yang
merupakan ”Naga Kecil” di tahun 1950-an. Satu konjen AS di Surabaya saat itu
membuat pengumuman yang membuka lowongan kerja bagi juru ketik dengan gaji
cukup. Negeri miskin ini dipercaya akan membanjiri lowongan itu.
Berminggu-minggu ditunggu, pelamar yang datang hanya sehitungan jari.
Namun, saat
pengumuman itu diganti lowongan juru gambar, maka hanya dalam hitungan hari,
puluhan pelamar datang. Kejadian mengejutkan ini tak bisa lain hanya
menciptakan impresi sederhana dari sang wartawan yang lalu menuliskan, ”di negeri
ini semua orang seniman”.
Pragmatisme
idealis
Sebagai sebuah
impresi, komentar hiperbolik itu sah. Namun, setidaknya ia telah menunjukkan,
kekuatan terbaik dan terbesar bangsa ini ada pada kebudayaan yang inheren
bahkan transenden dalam hidup sehari-hari masyarakatnya. Sebuah kekuatan
pimpinan yang penuh visilah yang akan mampu menangkap, mengolah, dan
mengoptimalisasi kekuatan itu menjadi kesejahteraan, sebuah kejayaan.
Di sini,
kesejahteraan tidak lain adalah terjadinya integrasi sinergis antara daya-daya
praktis-pragmatis dari standar hidup sehari-hari dan daya-daya idealis dari
kekuatan kultural-spiritual masyarakat. Ini juga sebuah realita yang kian rusak
karena pemahaman dan penataan yang keliru di mana hidup pragmatis manusia
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari ritus-ritus artistik dan religiusnya. Ini
pula yang mungkin membuat Soekarno menempatkan sila ”Ketuhanan Yang Mahaesa”
dari tempat kelima, 1945, menjadi sila pertama di saat berikutnya.
Maka, misalnya,
bila daya ekonomi kita, terutama di pedesaan atau grass root, didesak untuk
meningkatkan produktivitasnya, sementara kultur atau ritus religiusnya dirusak
budaya kota/asing melalui berbagai media, jangan harap hasil memuaskan akan
didapat. Karena tiap butir gabah yang dihasilkan petani bukan hanya wujud
kebutuhan pragmatis, tetapi juga sebagai rasa syukur, sebagai ibadah, sebagai
kewajiban kultural.
Seberapa jauh
presiden terpilih menyadari hal ini, bisa dibaca dari dialog atau debat.
Keringnya wacana, sempitnya apresiasi pada realitas itu, juga cara mereka
mengukur diri dan bangsa melalui angka, menunjukkan visi dengan ruang dan waktu
lebih lapang dan dalam yang kita harapkan masih jauh dari jangkauan.
Untuk itu, tidak ada alasan
lain, keberanian dan kehendak politik harus kuat untuk bekerja sama dengan
elemen-elemen lain, khususnya kebudayaan. Karena dari sana bisa diharapkan,
keluasan dan kedalaman visi dapat ditingkatkan. Mereka, kekuasaan dan
kebudayaan, yang selama ini arogan dengan mengatakan ”aku bisa hidup tanpa
kau”, sudah saatnya datang ke ruang yang sama. Bukan untuk sekadar salaman dan
minum bersama, tetapi beradu hati, kepala, dan mimpi: menemukan diri kita yang
sebenarnya, saat ini dan nanti. Pada kala itu, harapan tidak lagi tinggal dalam
kotak kenangan.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar