Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Sinar Harapan, Senin 24 Agustus 2015
Menjadi pemimpin berintegritas dan mengedepankan kebenaran belum tentu
mendapat sambutan baik dari publik. Kondisi ini dialami Basuki Tjahaja
Purnama atau biasa disapa Ahok selama memimpin DKI Jakarta. Hampir
seluruh kebijakannya kontradiktif di mata publik. Sebagian publik
menilai programnya tidak pro rakyat dan merampas hak asasi mereka. Tidak
heran, setiap kali programnya dieksekusi, masyarakat selalu menentang
dan berusaha menghentikannya. Selain perlawanan, kebijakan dan ketegasan
Ahok juga selalu membuahkan hinaan dan ejekan terkait SARA.
Namun, tak sedikit publik menilai kepemimpinan Ahok sudah sesuai dengan konstitusi. Suara positif ini tidaklah kosong. Ada banyak bukti yang diperlihatkan Ahok selama kepemimpinannya di Jakarta. Pertama, sebagai agen antikorupsi. Keseriusan Ahok dalam memberantas korupsi tak sebatas wacana. Kebijakannya menerapkan transaksi keuangan di Jakarta tidak lebih dari Rp 25 juta merupakan salah satu buktinya. Tujuannya untuk melumpuhkan transaksi siluman yang bisa merugikan Ibu Kota Indonesia itu. Dalam hal ini, Ahok pun bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak hanya itu, sikap Ahok menantang Badan Pengawas Keuangan (BPK) untuk memeriksa hartanya. Di tengah banyaknya pejabat negeri ini memanipulasi jumlah hartanya, Ahok justru ingin hartanya diperiksa BPK. Di saat banyaknya pejabat ingin melemahkan KPK, Ahok justru ingin KPK semakin bergerak cepat untuk memberantas korupsi. Secara tidak langsung, ada dua pelajaran yang ditunjukkan Ahok kepada kita. Pertama, ia berusaha mengamankan uang yang menjadi hak rakyat dari tangan-tangan koruptor, mendidik kita untuk hidup bersih dari tindakan korup.
Kedua, pelopor kebijakan dinamis. Buah pemikiran Ahok bukan produk instan. Dia selalu melihat dampak jangka panjang sebelum membuat kebijakan. Itulah sebabnya banyak masyarakat (antiperubahan) menentang program-programnya. Contohnya, baru-baru ini Ahok bersikeras menggusur 500 rumah penduduk di bantaran Sungai Ciliwung atau biasa disebut Kampung Pulo. Beberapa tahun sebelumnya, Pemprov Jakarta telah menginformasikan penggusuran tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi bencana banjir di Jakarta.
Sungai Ciliwung ini memang selalu meluap jika musim hujan dan mengakibatkan banjir di Jakarta. Kerugian material akibat banjir Jakarta ditaksir Rp 1,5 miliar per jamnya. Bisa dibayangkan, jika banjir berlangsung lama, kerugian material pasti tak terhitung lagi. Dana sebesar itu pasti bisa menghidupi penduduk miskin Jakarta. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan kericuhan dan aksi saling menyerang antara petugas dan rakyat. Insiden itu menorehkan korban luka dan kerugian material.
Kendati demikian, Ahok tidak menarik ulur keputusannya. Dia lebih memilih dibenci, dihina, dan diancam tidak dipilih pada pilkada berikutnya daripada harus melihat Jakarta terus dilanda banjir. Ahok menunjukkan bahwa kerugian akibat penggusuran tidak ada apa-apanya dibandingkan kerugian banjir di Ibu Kota. Sebenarnya, Ahok tak lepas tanggung jawab. Dia memberikan rumah susun sewa murah bagi warga tersebut. Sayangnya, sambutan masyarakat tidak pernah sejalan dengan kebijakan Ahok. Kebijakannya dianggap merampas hak masyarakat.
Mereka berpikir HAM harus diwujudkan dengan mengabulkan tuntutan mereka. Sementara itu, Ahok berpikir dengan cara relokasi itu, hak hidup masyarakat dan generasi masa depan sedang diperjuangkan.
Aksi Rasis
Ketiga, menjunjung tinggi pluralisme. Saya kagum saat membaca berita di Kompas (12/8/2015) yang memberitakan bahwa Ahok menyumbang Rp 11 miliar kepada Jakarta Islamic Center yang bertujuan mengembangkan pusat kajian agama Islam di Ibu Kota.
Meski bukan seorang muslim, Ahok sangat menghargai dan mengayomi semua agama. Apa yang menjadi hak konstituen selalu dia realisasikan. Seperti yang kita ketahui, Ahok berasal dari kaum agama dan etnis minoritas. Banyak hinaan dan ejekan yang dia dapatkan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Banyak pejabat dan ormas yang menginginkannya mundur sebagai gubernur. Namun, semua hal itu justru membuatnya semakin berusaha menunjukkan kebenaran yang dipegangnya.
Harusnya, masyarakatlah yang mengevaluasi diri. Pikiran dan aksi rasis yang masih begitu kuat di negeri ini harus segera ditanggalkan. Bhinneka Tunggal Ika semestinya bukan sebatas semboyan, melainkan diwujudkan dalam hidup bermasyarakat. Salah satunya mendukung setiap pemimpin, apa pun agama dan sukunya. Itu karena memimpin bukanlah soal perbedaan melainkan memperjuangkan hak rakyat. Ahok dan kebijakannya untuk hak asasi masyarakat harus terus didukung. Kita perlu bersabar untuk bisa melihat manfaat jangka panjang dari buah kepemimpinannya itu. Semoga ke depan kepemimpinan Ahok juga bisa diregenerasikan karena sosok dialah yang sangat dibutuhkan di negeri ini.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan alumnus Universitas Negeri Medan.
Namun, tak sedikit publik menilai kepemimpinan Ahok sudah sesuai dengan konstitusi. Suara positif ini tidaklah kosong. Ada banyak bukti yang diperlihatkan Ahok selama kepemimpinannya di Jakarta. Pertama, sebagai agen antikorupsi. Keseriusan Ahok dalam memberantas korupsi tak sebatas wacana. Kebijakannya menerapkan transaksi keuangan di Jakarta tidak lebih dari Rp 25 juta merupakan salah satu buktinya. Tujuannya untuk melumpuhkan transaksi siluman yang bisa merugikan Ibu Kota Indonesia itu. Dalam hal ini, Ahok pun bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak hanya itu, sikap Ahok menantang Badan Pengawas Keuangan (BPK) untuk memeriksa hartanya. Di tengah banyaknya pejabat negeri ini memanipulasi jumlah hartanya, Ahok justru ingin hartanya diperiksa BPK. Di saat banyaknya pejabat ingin melemahkan KPK, Ahok justru ingin KPK semakin bergerak cepat untuk memberantas korupsi. Secara tidak langsung, ada dua pelajaran yang ditunjukkan Ahok kepada kita. Pertama, ia berusaha mengamankan uang yang menjadi hak rakyat dari tangan-tangan koruptor, mendidik kita untuk hidup bersih dari tindakan korup.
Kedua, pelopor kebijakan dinamis. Buah pemikiran Ahok bukan produk instan. Dia selalu melihat dampak jangka panjang sebelum membuat kebijakan. Itulah sebabnya banyak masyarakat (antiperubahan) menentang program-programnya. Contohnya, baru-baru ini Ahok bersikeras menggusur 500 rumah penduduk di bantaran Sungai Ciliwung atau biasa disebut Kampung Pulo. Beberapa tahun sebelumnya, Pemprov Jakarta telah menginformasikan penggusuran tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi bencana banjir di Jakarta.
Sungai Ciliwung ini memang selalu meluap jika musim hujan dan mengakibatkan banjir di Jakarta. Kerugian material akibat banjir Jakarta ditaksir Rp 1,5 miliar per jamnya. Bisa dibayangkan, jika banjir berlangsung lama, kerugian material pasti tak terhitung lagi. Dana sebesar itu pasti bisa menghidupi penduduk miskin Jakarta. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan kericuhan dan aksi saling menyerang antara petugas dan rakyat. Insiden itu menorehkan korban luka dan kerugian material.
Kendati demikian, Ahok tidak menarik ulur keputusannya. Dia lebih memilih dibenci, dihina, dan diancam tidak dipilih pada pilkada berikutnya daripada harus melihat Jakarta terus dilanda banjir. Ahok menunjukkan bahwa kerugian akibat penggusuran tidak ada apa-apanya dibandingkan kerugian banjir di Ibu Kota. Sebenarnya, Ahok tak lepas tanggung jawab. Dia memberikan rumah susun sewa murah bagi warga tersebut. Sayangnya, sambutan masyarakat tidak pernah sejalan dengan kebijakan Ahok. Kebijakannya dianggap merampas hak masyarakat.
Mereka berpikir HAM harus diwujudkan dengan mengabulkan tuntutan mereka. Sementara itu, Ahok berpikir dengan cara relokasi itu, hak hidup masyarakat dan generasi masa depan sedang diperjuangkan.
Aksi Rasis
Ketiga, menjunjung tinggi pluralisme. Saya kagum saat membaca berita di Kompas (12/8/2015) yang memberitakan bahwa Ahok menyumbang Rp 11 miliar kepada Jakarta Islamic Center yang bertujuan mengembangkan pusat kajian agama Islam di Ibu Kota.
Meski bukan seorang muslim, Ahok sangat menghargai dan mengayomi semua agama. Apa yang menjadi hak konstituen selalu dia realisasikan. Seperti yang kita ketahui, Ahok berasal dari kaum agama dan etnis minoritas. Banyak hinaan dan ejekan yang dia dapatkan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Banyak pejabat dan ormas yang menginginkannya mundur sebagai gubernur. Namun, semua hal itu justru membuatnya semakin berusaha menunjukkan kebenaran yang dipegangnya.
Harusnya, masyarakatlah yang mengevaluasi diri. Pikiran dan aksi rasis yang masih begitu kuat di negeri ini harus segera ditanggalkan. Bhinneka Tunggal Ika semestinya bukan sebatas semboyan, melainkan diwujudkan dalam hidup bermasyarakat. Salah satunya mendukung setiap pemimpin, apa pun agama dan sukunya. Itu karena memimpin bukanlah soal perbedaan melainkan memperjuangkan hak rakyat. Ahok dan kebijakannya untuk hak asasi masyarakat harus terus didukung. Kita perlu bersabar untuk bisa melihat manfaat jangka panjang dari buah kepemimpinannya itu. Semoga ke depan kepemimpinan Ahok juga bisa diregenerasikan karena sosok dialah yang sangat dibutuhkan di negeri ini.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar