Kamis, 27 Agustus 2015

Belajar dari Jepang




Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Lampung Post, 1 Juni 2015


Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dijadwalkan pada bulan Desember tahun 2015 ini, Indonesia mesti meniru strategi Jepang yang sangat memproteksi secara besar-besaran industri otomotif dan sektor pertanian dengan mengenakan pajak impor yang sangat tinggi. Saat ini, Indonesia dalam merespon liberalisasi justru melakukan kejahatan terhadap petani dalam negeri misalnya dengan mengimpor gula mentah tanpa kendali saat panen tebu, impor beras saat pasokan beras dalam negeri masih mencukupi, dan menerapkan harga gabah yang rendah.

Di sektor otomotif, pemerintah Jepang juga membuka pintu impor mobil yang sangat lebar dengan mengenakan pajak rendah untuk mobil yang sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria mobil hijau atau low cost green car (LCGC). Dalam hal ini, perlu komitmen pemerintah untuk mendukung industri otomotif dalam negeri agar bisa membangun negeri sendiri. Sedangkan untuk pertanian, pemerintah harus membangun kemandirian pangan dengan kebijakan-kebijakan yang pro petani.

Di sektor pertanian, Jepang sangat menutup impor pangan dengan subsidi dan tarif impor yang sangat tinggi. Subsidi dan proteksi produksi pangan mencapai 67 persen hasil petani Jepang dalam nilai yen. Sedangkan petani RI, produksi kurang dari 40 persen dalam rupiah. Padahal harga jual gabah petani Amerika dan beras Jepang empat kali lebih tinggi di harga pasar domestik Jepang dan enam kali lebih tinggi dari beras petani Indonesia. Seluruh hasil pertanian Jepang dianungi dibawah satu federasi koperasi raksasa Jepang yang sama kuatnya melawan perusahaan multinasional dunia seperti Cargill. Sedangkan petani Indonesia masih dimakan oleh tengkulak dan sistem ijon. Jadi apakah bisa petani tebu rakyat dipaksa melawan gula mentah impor pada saat panen raya? Pastinya tidak. Apalagi banyak oknum pejabat pemburu rente menjual ijin impor yang secara sistematik membunuh petani sendiri.

Harga pasar gula di Jepang sekitar 2-3 kali harga gula di Indonesia. Bahkan Jepang mengenakan tarif impor senilai 100 persen. Jika ada oknum pejabat yang mengeluarkan ijin impor itu kejahatan dan di dalamnya pasti ada iming-iming. Ini yang harus disidik polri. Karena akibatnya, rakyat yang di ladang tidak pernah merasakan perbaikan nasib. Apabila pejabat terkait seperti menteri perdagangan, menteri pertanian dan menteri bidang ekonomi lain tidak memahami fenomena ini maka kemampuan mereka layak dipertanyakan.

Permainan Impor
Kebijakan otomotif yang kontra produktif adalah kolusi penghapusan pajak impor mobil. Dalih mobil LCGC yang dipaksakan adalah satu contoh permainan impor kenderaan dan komponen yang menggerus devisa nasional. Komponen mobil Indonesia hampir semuanya atau 99 persen impor. Kebijakan itu dibuat oleh oknum pejabat korup yang menghasilkan kebijakan korup. Kalau pejabat yang mengeluarkan ijin seperti ini tidak diberantas, Presiden Jokowi tidak akan mungkin berhasil menjalankan program-program pro-rakyatnya.

Sebagai perbandingan, AS masih mengenakan tarif pajak 25 persen untuk impor mobil. Namun Indonesia, justru menurunkan tarif menjadi 5 persen. Apalagi untuk jenis LCGC yang kriterianya dimanipulasikan, pajaknya malah 0 persen. Sekedar informasi, LCGC bukanlah kriteria green car. Akibat pembebasan impor, mobil dijual dengan harga murah sehingga membanjiri pasar dan mengakibatkan jalan tambah macet. Ini mengakibatkan hilangnya waktu kerja 3-5 jam. Apabila industri dalam negeri baik otomotif maupun agribisnis berjalan sendiri-sendiri tanpa dukungan pemerintah maka Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara lainnya.

Belum ada kata terlambat bagi pemerintahan Jokowi untuk mengembangkan industri otomotif dan pertanian negeri. Pemerintah bisa belajar dari Jepang yang berkomitmen dan konsisten dalam mengembangkan industri-industri khususnya otomotif dan pertanian yang ada di negaranya. Dengan mengembangkan keduanya, maka bisa dijamin solusi untuk menyejahteraan rakyat Indonesia mulai menemui titik terang. 


Penulis adalah Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar