Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Waspada Online, Jumat 21 Agustus 2015
Baru-baru ini, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I Medan menginformasikan bahwa
Sumatera Utara kini memasuki musim penghujan. Hal ini juga dibuktikan dengan
meningkatnya frekuensi hujan menggempur banyak wilayah di Sumatera Utara,
termasuk kota Medan. Berbeda dengan yang dialami daerah lain di Indonesia
seperti Jawa yang mengalami kekeringan, Medan kini dihantui cuaca ekstrim yang
sewaktu-waktu datang melanda.
BMKG memperkirakan, tidak hanya hujan
tetapi angin kencang juga akan mengancam daerah Sumut ini. Menimbang berita
ini, kewaspadaan menjadi hal yang utama untuk kita pahami bersama. Pasalnya,
bencana banjir, angin kencang (puting beliung) dan longsor akibat cuaca ekstrim
itu bukanlah ringan. Karena hal itu bisa menimbulkan banyak korban jiwa,
kerusakan/kerugian material dan berbagai penyakit.
Pertama, banjir. Beberapa daerah di
Sumatera Utara sedari dulu sudah “berlangganan” banjir seperti Langkat, Deli
Serdang, Serdang Bedagai bahkan kota Medan sendiri. Jika musim penghujan, beberapa daerah ini
akan berubah menjadi lautan air dan menenggelamkan rumah-rumah warga. Bencana
ini selalu mengganggu aktifitas publik, merusak barang-barang hingga merenggut
korban jiwa.
Beberapa hari yang lalu di saat hujan
deras, seorang ibu dan anak dilaporkan hanyut di sebuah kali di kota Medan. Kronologisnya,
pada saat itu terjadi banjir akibat hujan deras yang mengakibatkan permukaan
jalan raya dan kali itu sama rata. Ketika, si ibu dan anak berteduh di
pinggiran kali itu, tiba-tiba mereka terseret dan hingga saat ini korban tak
kunjung ditemukan.
Hal ini tentu disayangkan, bagaimana
bisa kota Medan yang begitu sempit ini menorehkan korban jiwa akibat banjir.
Ini harusnya jadi tamparan bagi kita, pemerintah maupun warga. Ketidaksiagaan
kita pada bencana menjadi faktor utamanya. Bahkan tatkala kita sendiri yang
menimbulkan banjir itu terjadi.
Kebijakan /program pemerintah untuk
tanggap banjir harusnya menjadi daftar prioritas. Pasalnya, sudah
bertahun-tahun bahkan berganti gubernur, walikota dan bupati, bencana banjir
tetap melanda daerah-daerah di Sumut. Ada beberapa program yang bisa dijalankan
pemerintah untuk mencegahnya seperti mewajibkan setiap rumah memiliki tanaman yang
bisa menyerap air saat hujan. Selain itu, pekarangan/halaman tidak boleh
dijadikan berbatu/beton supaya tanah bisa menahan air.
Pemerintah daerah juga perlu
menghidupkan kembali gotong royong seperti dahulu. Aksi bersama ini bisa
dilakukan sekali sebulan di akhir pekan. Warga bersama pemerintah turut serta
membersihkan pekarangan rumah, sungai dan pembuangan sampah. Selain bisa
mencegah banjir, kegiatan ini tentu bisa mempererat tali persaudaraan antara
rakyat dengan pemerintah dan diantara rakyat itu sendiri.
Kedua, angin kencang (puting beliung).
Beberapa pekan lalu, dikabarkan angin puting beliung melanda daerah Padang
Bulan, Medan. Sejumlah atap rumah dan pepohonan runtuh akibat angin itu. Angin
sejenis ini memang harus diwaspadai. Saya teringat 12 tahun yang lalu saat
masih duduk di bangku sekolah dasar, angin puting beliung melanda desa kami,
desa Gempolan, Serdang Bedagai. Angin itu datang di malam hari dan kami hanya
diam di rumah. Teriakan bahkan tangisan banyak terdengar dari rumah-rumah
tetangga termasuk kami karena sangat ketakutan.
Angin itu menyapu atap-atap rumah di
desa kami. Selain itu, sejak saat itu sampai sekarang saya menjadi trauma jika
angin kencang datang walaupun bukan puting beliung. Menurut warga di tempat
kami, sebelumnya tidak ada pemberitahuan akan terjadi puting beliung di daerah
kami. Itulah yang membuat kami kecewa. Untuk itu, ini menjadi bahan evaluasi
bagi pemerintah melalui BMKG. Jika bencana seperti angin puting melanda,
sebaiknya ada pemberitahuan awal kepada masyarakat. Jadi, masyarakat bisa
melakukan tindakan siaga supaya tidak menimbulkan kerugian dan traumatik.
Ketiga, longsor. Jenis bencana ini erat
dengan hujan dan terjadi di daerah dataran tinggi/perbukitan. Ada banyak daerah
yang rawan longsor di Sumatera Utara, seperti Langkat, Tapanuli tengah
(Sipirok), Tapanuli Utara dan daerah perbukitan lainnya. Bahkan, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Langkat mengatakan setidaknya ada 13
kecamatan rawan bencana longsor di kabupaten itu. Data ini dibuktikan dengan
kuantitas longsor tiap tahun terjadi di daerah tersebut. Terakhir, longsor di
Langkat terjadi Januari 2015 lalu saat musim hujan dan banjir terjadi.
Peran pemerintah dan rakyat dibutuhkan.
Pemerintah harus tegas kepada masyarakat yang membangun rumah mereka di daerah
rawan longsor karena yang tampak selama ini, pemerintah tutup mata untuk hal sesederhana
ini. Kemudian, pemerintah juga harus memberikan penyuluhan pada rakyat di
daerah rawan longsor agar paham proses terjadi longsor dan bahayanya. Masyarakat
juga perlu bersadar diri. Terkadang, kita sudah tahu bahaya bencana, tapi tetap
saja kita tidak jera membangun rumah di daerah longsor dan menolak untuk
direlokasi.
Ke depan, bencana masih akan terus
melanda. Oleh karena itu, tidak saatnya lagi kita bersantai ria. Pemerintah harus
segera membuat program yang relevan dengan kondisi itu. Pemerintah harus cepat
bergerak dan tidak boleh bermalas-malasan. Karena, kalau pemerintah saja sudah
malas mengurusi negeri ini, bagaimana lagi dengan rakyat? Semoga ke depan, kita
semakin tanggap bencana agar tidak terjadi korban jiwa, kerugian material, dan
menyisakan traumatik.
Penulis adalah Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar