Kamis, 27 Agustus 2015

Tanggap Bencana Musim Penghujan






Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Waspada Online, Jumat 21 Agustus 2015

Baru-baru ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I Medan menginformasikan bahwa Sumatera Utara kini memasuki musim penghujan. Hal ini juga dibuktikan dengan meningkatnya frekuensi hujan menggempur banyak wilayah di Sumatera Utara, termasuk kota Medan. Berbeda dengan yang dialami daerah lain di Indonesia seperti Jawa yang mengalami kekeringan, Medan kini dihantui cuaca ekstrim yang sewaktu-waktu datang melanda.

BMKG memperkirakan, tidak hanya hujan tetapi angin kencang juga akan mengancam daerah Sumut ini. Menimbang berita ini, kewaspadaan menjadi hal yang utama untuk kita pahami bersama. Pasalnya, bencana banjir, angin kencang (puting beliung) dan longsor akibat cuaca ekstrim itu bukanlah ringan. Karena hal itu bisa menimbulkan banyak korban jiwa, kerusakan/kerugian material dan berbagai penyakit.

Pertama, banjir. Beberapa daerah di Sumatera Utara sedari dulu sudah “berlangganan” banjir seperti Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai bahkan kota Medan sendiri.  Jika musim penghujan, beberapa daerah ini akan berubah menjadi lautan air dan menenggelamkan rumah-rumah warga. Bencana ini selalu mengganggu aktifitas publik, merusak barang-barang hingga merenggut korban jiwa.

Beberapa hari yang lalu di saat hujan deras, seorang ibu dan anak dilaporkan hanyut di sebuah kali di kota Medan. Kronologisnya, pada saat itu terjadi banjir akibat hujan deras yang mengakibatkan permukaan jalan raya dan kali itu sama rata. Ketika, si ibu dan anak berteduh di pinggiran kali itu, tiba-tiba mereka terseret dan hingga saat ini korban tak kunjung ditemukan.

Hal ini tentu disayangkan, bagaimana bisa kota Medan yang begitu sempit ini menorehkan korban jiwa akibat banjir. Ini harusnya jadi tamparan bagi kita, pemerintah maupun warga. Ketidaksiagaan kita pada bencana menjadi faktor utamanya. Bahkan tatkala kita sendiri yang menimbulkan banjir itu terjadi.

Kebijakan /program pemerintah untuk tanggap banjir harusnya menjadi daftar prioritas. Pasalnya, sudah bertahun-tahun bahkan berganti gubernur, walikota dan bupati, bencana banjir tetap melanda daerah-daerah di Sumut. Ada beberapa program yang bisa dijalankan pemerintah untuk mencegahnya seperti mewajibkan setiap rumah memiliki tanaman yang bisa menyerap air saat hujan. Selain itu, pekarangan/halaman tidak boleh dijadikan berbatu/beton supaya tanah bisa menahan air.

Pemerintah daerah juga perlu menghidupkan kembali gotong royong seperti dahulu. Aksi bersama ini bisa dilakukan sekali sebulan di akhir pekan. Warga bersama pemerintah turut serta membersihkan pekarangan rumah, sungai dan pembuangan sampah. Selain bisa mencegah banjir, kegiatan ini tentu bisa mempererat tali persaudaraan antara rakyat dengan pemerintah dan diantara rakyat itu sendiri.

Kedua, angin kencang (puting beliung). Beberapa pekan lalu, dikabarkan angin puting beliung melanda daerah Padang Bulan, Medan. Sejumlah atap rumah dan pepohonan runtuh akibat angin itu. Angin sejenis ini memang harus diwaspadai. Saya teringat 12 tahun yang lalu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, angin puting beliung melanda desa kami, desa Gempolan, Serdang Bedagai. Angin itu datang di malam hari dan kami hanya diam di rumah. Teriakan bahkan tangisan banyak terdengar dari rumah-rumah tetangga termasuk kami karena sangat ketakutan.

Angin itu menyapu atap-atap rumah di desa kami. Selain itu, sejak saat itu sampai sekarang saya menjadi trauma jika angin kencang datang walaupun bukan puting beliung. Menurut warga di tempat kami, sebelumnya tidak ada pemberitahuan akan terjadi puting beliung di daerah kami. Itulah yang membuat kami kecewa. Untuk itu, ini menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah melalui BMKG. Jika bencana seperti angin puting melanda, sebaiknya ada pemberitahuan awal kepada masyarakat. Jadi, masyarakat bisa melakukan tindakan siaga supaya tidak menimbulkan kerugian dan traumatik.

Ketiga, longsor. Jenis bencana ini erat dengan hujan dan terjadi di daerah dataran tinggi/perbukitan. Ada banyak daerah yang rawan longsor di Sumatera Utara, seperti Langkat, Tapanuli tengah (Sipirok), Tapanuli Utara dan daerah perbukitan lainnya. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Langkat mengatakan setidaknya ada 13 kecamatan rawan bencana longsor di kabupaten itu. Data ini dibuktikan dengan kuantitas longsor tiap tahun terjadi di daerah tersebut. Terakhir, longsor di Langkat terjadi Januari 2015 lalu saat musim hujan dan banjir terjadi.

Peran pemerintah dan rakyat dibutuhkan. Pemerintah harus tegas kepada masyarakat yang membangun rumah mereka di daerah rawan longsor karena yang tampak selama ini, pemerintah tutup mata untuk hal sesederhana ini. Kemudian, pemerintah juga harus memberikan penyuluhan pada rakyat di daerah rawan longsor agar paham proses terjadi longsor dan bahayanya. Masyarakat juga perlu bersadar diri. Terkadang, kita sudah tahu bahaya bencana, tapi tetap saja kita tidak jera membangun rumah di daerah longsor dan menolak untuk direlokasi.

Ke depan, bencana masih akan terus melanda. Oleh karena itu, tidak saatnya lagi kita bersantai ria. Pemerintah harus segera membuat program yang relevan dengan kondisi itu. Pemerintah harus cepat bergerak dan tidak boleh bermalas-malasan. Karena, kalau pemerintah saja sudah malas mengurusi negeri ini, bagaimana lagi dengan rakyat? Semoga ke depan, kita semakin tanggap bencana agar tidak terjadi korban jiwa, kerugian material, dan menyisakan traumatik.

Penulis  adalah Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar