Jumat, 14 Agustus 2015

Budayakan Membaca


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Waspada Medan, 8 Agustus 2015 

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata membaca berasal dari kata dasar baca yang memiliki arti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya di hati). Menurut Fredick Mc. Donald dalam bukunya Burns terbitan tahun 1996 halaman 8 mendefinisikan membaca sebagai rangkaian beberapa respon yang lengkap yaitu mencakup respon sikap, kognitif dan manipulatif. Menurut Smith (2005), membaca merupakan suatu proses yang membangun pemahaman sari bacaan (teks) yang tertulis. Membaca begitu penting untuk dibudayakan agar manusia bisa mengembangkan pola pikir dan budi pekertinya. Namun, Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda selama 3,5 abad ini semakin lama semakin menurun minatnya untuk menimba ilmu dengan membaca.

Taufik Ismail, 1998 pernah bertanya “Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?” Pertanyaan ini tentu menjadi perenungan bagi kita semua. Sebab budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia sekarang jauh menurun jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Keadaan ini, antara lain, disebabkan oleh orientasi pembangunan pemerintah yang terlalu bersifat materialistis.

Berbeda dengan zaman post-modernisme ini, pada zaman penjajahan Belanda, siswa setingkat SMA sepanjang tiga tahun sekolahnya, wajib membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku sastra yang terdiri atas empat bahasa yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Hal ini sangat luar biasa mengingat zaman itu merupakan zaman yang penuh dengan tekanan.

Di awal abad 20-an, pemerintah kolonial telah membangun 680 perpustakaan umum di bawah koordinasi Komisi Bacaan Rakyat (Belanda: Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka. Hingga 1930, pemerintah kolonial telah membangun 2.686 perpustakaan untuk publik. Juga di waktu yang sama, Belanda juga membangun sistem pendidikan yang modern. Sistem pendidikan ini memungkinkan kalangan orang kaya atau ningrat bisa belajar budaya Barat.

Budaya membaca sudah merupakan suatu kebutuhan praktis (practical necessity) dalam dunia modern. Bagi negara-negara maju, aktivitas membaca sudah menjadi aktivitas pribadi dan menjadi suatu kebutuhan bagi mereka. Namun tidak sama halnya yang terjadi pada masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di kebanyakan negara berkembang, dimana tingkat buta aksara (illiteracy) dan kurang terdidik (under educated) dalam masyarakat masih tinggi, budaya membaca belum menjadi kebutuhan sehari-hari.

Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan minat baca orang Indonesia terus menurun? Penulis mengamati bahwa televisi menjadi salah satu penyebab rusaknya budaya baca di masyarakat. Perkembangan televisi telah menciptakan masyarakat budaya dengar dan lihat. Ini berarti televisi sulit menciptakan budaya baca. Perkembangan televisi telah mengantarkan masyarakat untuk terus memupuk budaya menonton dan bukan budaya baca. Televisi telah menjadi candu bagi semua lapisan usia. Akibat yang terjadi adalah usaha mengentaskan keterpurukan masyarakat mau tak mau akan mengalami keterlambatan karena masyarakat lebih memikmati acara-cara hiburan di televisi.

Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka bangsa Indonesia akan selamanya jauh tertinggal dari negara lain, hanya menjadi pengikut budaya lain dan target pasar bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak akan pernah dapat hidup sejajar dengan bangsa maju seperti Singapore, Jepang, Amerika, Australia, Jerman, dan lainnya. Apalagi bersaing di pasar bebas ASEAN (MEA) yang akan diberlangsungkan pada akhir tahun 2015 ini, pastinya akan kalah dengan negara tetangga lainnya. Jika ingin hidup sejajar dan bersaing di MEA nanti, kita harus mampu mempelajari, mentransfer, menguasai, dan menggunakan IPTEK. Jadi membangun budaya baca dan belajar menjadi kunci untuk membuka pintu bangsa Indonesia menuju bangsa yang maju.

Mengembangkan budaya baca dan belajar, bukan hanya sekedar menyediakan buku, majalah, fasilitas, gedung, ruangan, dan kantor tetapi lebih dari itu. Membangun budaya baca dan belajar berarti membangun pemikiran, perilaku, dan budaya dari generasi yang tidak suka membaca menjadi generasi suka membaca dan belajar. Membangun budaya baca memerlukan keterlibatan semua pihak, semua sektor, semua disiplin ilmu, dan waktu lama paling tidak 100 tahun. Sampai saat ini, pemerintah belum memberikan perhatian lebih (priority) untuk membangun budaya baca dan belajar.

Salah satu yang harusnya dikembangkan oleh negara untuk mewujudkan bangsa yang gemar membaca yaitu dengan menyediakan perpustakaan yang memadai. Perpustakaan menjadi sarana sangat penting dalam perkembangan budaya baca masyarakat kita. Sasaran setiap perpustakaan dalam pengembangan budaya baca pun mesti sesuai dengan lingkungan dimana perpustakaan itu berdiri. Penyediaan pustaka juga tidak boleh hanya untuk memenuhi kebutuhan pelajar, mahasiswa dan akademisi tetapi juga semua kalangan dalam masyarakat. Kerjasama perpustakaan akan menyatukan semua sumberdaya yang dimiliki oleh semua jenis perpustakaan ini, sehingga menjadi suatu kekuatan informasi nasional.

Dalam merealisasikannya juga pemerintah sebaiknya tidak bertindak sendiri-sendiri. Pemerintah bisa bekerjasama dengan swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyakat dalam meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di perpusatakan. Kemudian juga memberikan informasi, penyuluhan dan himbauan dengan media yang ada untuk masyarakat agar mereka mengerti betul apa arti pentingnya budaya membaca. Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat. Alhasil, anak-anak bangsa atau generasi-generasi penerus bangsa ini akan terus “haus” akan berbagai ilmu.

Belajar dari Negara Lain
Kita perlu mencontoh negara-negara maju yang sudah lama sukses mewujudkan budaya membaca, misalnya negara Jepang. Bisa dikatakan, Jepang merupakan negara satu-satunya di Asia yang sama majunya dengan Amerika Serikat dalam IPTEK dan perekonomian. Sifat dasar orang Jepang memang tekun dan pekerja keras. Keinginan untuk selalu belajar ini tercermin pada tingginya budaya baca dan tulis masyarakat Jepang. Menurut data dari situs khusus tentang media massa berbahasa Jepang yakni Bunkanews, kuantitas toko buku di Jepang sama dengan kuantitas toko buku di Amerika Serikat. Padahal dari segi geografisnya, luas negara Amerika Serikat dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang. Rata-rata orang Jepang gemar membaca, atau paling tidak, gemar mencari informasi yang tampak remeh sekalipun dari orang lain

Budaya membaca yang tinggi tentu dipengaruhi oleh tingginya minat menulis. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Jepang. Budaya menulis Jepang sudah ditekankan sejak dini, anak sekolah dasar rutin diberikan tugas “sakubun” (arti: mengarang). Contohnya, ketika mereka sedang dalam libur musim panas,musim dingin, atau libur kenaikan kelas, mereka selalu disuruh membuat sakubun tentang apa yang mereka kerjakan, rasakan, dan alami selama liburan atau juga kesan mereka terhadap orang tua.

Kemudian, setiap karya anak-anak di Jepang selalu dihargai oleh para guru dan orang tua mereka. Di waktu menjelang tamat, mereka diwajibkan menulis tentang cita-cita. Tulisan itu kemudian disimpan oleh sekolah dan nantinya akan dilihat kembali beberapa tahun kemudian. Tingginya budaya menulis dan membaca orang Jepang juga dikarenakan mereka adalah “learning society”, yaitu masyarakat yang senang belajar dan peka terhadap informasi yang ada (well informed).

Pemerintah Indonesia sedari sekarang harus benar-benar memberi perhatian khusus pada lemahnya minat baca masyarakat. masyarakat sangat urgen disentuh berbagai literatur atau buku-buku yang mencerdaskan anak-anak Indonesia baik di kota maupun di pedesaan terpencil sekalipun. Dengan membangun jumlah perpustakaan yang cukup dan buku-buku yang memadai di nusantara, hal itu bisa menunjang minat baca masyarakat. Harapannya, generasi muda Indonesia di masa depan semakin mencintai dunia baca. Mari budayakan membaca...


Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar