Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Waspada Medan, 8 Agustus 2015
Mengacu pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata membaca berasal dari kata dasar baca yang memiliki arti melihat serta
memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya di hati). Menurut
Fredick Mc. Donald dalam bukunya Burns terbitan tahun 1996 halaman 8
mendefinisikan membaca sebagai rangkaian beberapa respon yang lengkap yaitu
mencakup respon sikap, kognitif dan manipulatif. Menurut Smith (2005), membaca
merupakan suatu proses yang membangun pemahaman sari bacaan (teks) yang
tertulis. Membaca begitu penting untuk dibudayakan agar manusia bisa
mengembangkan pola pikir dan budi pekertinya. Namun, Indonesia yang merupakan
bekas jajahan Belanda selama 3,5 abad ini semakin lama semakin menurun minatnya
untuk menimba ilmu dengan membaca.
Taufik Ismail, 1998 pernah
bertanya “Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?”
Pertanyaan ini tentu menjadi perenungan bagi kita semua. Sebab budaya membaca dan menulis
masyarakat Indonesia sekarang jauh menurun jika dibandingkan dengan masa
penjajahan Belanda. Keadaan ini, antara lain, disebabkan oleh orientasi
pembangunan pemerintah yang terlalu bersifat materialistis.
Berbeda dengan zaman post-modernisme ini, pada zaman
penjajahan Belanda, siswa setingkat SMA sepanjang tiga tahun sekolahnya, wajib
membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku sastra yang terdiri atas empat bahasa
yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Hal ini sangat luar biasa
mengingat zaman itu merupakan zaman yang penuh dengan tekanan.
Di awal abad 20-an,
pemerintah kolonial telah membangun 680 perpustakaan umum di bawah koordinasi
Komisi Bacaan Rakyat (Belanda: Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur)
yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka. Hingga 1930, pemerintah kolonial
telah membangun 2.686 perpustakaan untuk publik. Juga di waktu yang sama, Belanda
juga membangun sistem pendidikan yang modern. Sistem pendidikan ini memungkinkan
kalangan orang kaya atau ningrat bisa belajar budaya Barat.
Budaya membaca sudah
merupakan suatu kebutuhan praktis (practical necessity) dalam dunia modern. Bagi
negara-negara maju, aktivitas membaca sudah menjadi aktivitas pribadi dan
menjadi suatu kebutuhan bagi mereka. Namun tidak sama halnya yang terjadi pada
masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di kebanyakan negara
berkembang, dimana tingkat buta aksara (illiteracy) dan kurang terdidik (under
educated) dalam masyarakat masih tinggi, budaya membaca belum menjadi kebutuhan
sehari-hari.
Lantas, apa sebenarnya
yang menyebabkan minat baca orang Indonesia terus menurun? Penulis mengamati
bahwa televisi menjadi salah satu penyebab rusaknya budaya baca di masyarakat.
Perkembangan televisi telah menciptakan masyarakat budaya dengar dan lihat. Ini
berarti televisi sulit menciptakan budaya baca. Perkembangan televisi telah
mengantarkan masyarakat untuk terus memupuk budaya menonton dan bukan budaya
baca. Televisi telah menjadi candu bagi semua lapisan usia. Akibat yang terjadi
adalah usaha mengentaskan keterpurukan masyarakat mau tak mau akan mengalami
keterlambatan karena masyarakat lebih memikmati acara-cara hiburan di televisi.
Apabila kondisi ini terus
dibiarkan, maka bangsa Indonesia akan selamanya jauh tertinggal dari negara
lain, hanya menjadi pengikut budaya lain dan target pasar bangsa lain. Bangsa
Indonesia tidak akan pernah dapat hidup sejajar dengan bangsa maju seperti
Singapore, Jepang, Amerika, Australia, Jerman, dan lainnya. Apalagi bersaing di
pasar bebas ASEAN (MEA) yang akan diberlangsungkan pada akhir tahun 2015 ini,
pastinya akan kalah dengan negara tetangga lainnya. Jika ingin hidup sejajar
dan bersaing di MEA nanti, kita harus mampu mempelajari, mentransfer,
menguasai, dan menggunakan IPTEK. Jadi membangun budaya baca dan belajar
menjadi kunci untuk membuka pintu bangsa Indonesia menuju bangsa yang maju.
Mengembangkan budaya
baca dan belajar, bukan hanya sekedar menyediakan buku, majalah, fasilitas,
gedung, ruangan, dan kantor tetapi lebih dari itu. Membangun budaya baca dan
belajar berarti membangun pemikiran, perilaku, dan budaya dari generasi yang
tidak suka membaca menjadi generasi suka membaca dan belajar. Membangun budaya
baca memerlukan keterlibatan semua pihak, semua sektor, semua disiplin ilmu,
dan waktu lama paling tidak 100 tahun. Sampai saat ini, pemerintah belum
memberikan perhatian lebih (priority) untuk membangun budaya baca dan belajar.
Salah satu yang
harusnya dikembangkan oleh negara untuk mewujudkan bangsa yang gemar membaca
yaitu dengan menyediakan perpustakaan yang memadai. Perpustakaan menjadi sarana
sangat penting dalam perkembangan budaya baca masyarakat kita. Sasaran setiap
perpustakaan dalam pengembangan budaya baca pun mesti sesuai dengan lingkungan
dimana perpustakaan itu berdiri. Penyediaan pustaka juga tidak boleh hanya
untuk memenuhi kebutuhan pelajar, mahasiswa dan akademisi tetapi juga semua
kalangan dalam masyarakat. Kerjasama perpustakaan akan menyatukan semua
sumberdaya yang dimiliki oleh semua jenis perpustakaan ini, sehingga menjadi
suatu kekuatan informasi nasional.
Dalam
merealisasikannya juga pemerintah sebaiknya tidak bertindak sendiri-sendiri. Pemerintah
bisa bekerjasama dengan swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyakat dalam
meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di perpusatakan. Kemudian juga
memberikan informasi, penyuluhan dan himbauan dengan media yang ada untuk
masyarakat agar mereka mengerti betul apa arti pentingnya budaya membaca.
Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar,
semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat. Alhasil,
anak-anak bangsa atau generasi-generasi penerus bangsa ini akan terus “haus” akan
berbagai ilmu.
Belajar dari Negara
Lain
Kita perlu mencontoh negara-negara
maju yang sudah lama sukses mewujudkan budaya membaca, misalnya negara Jepang.
Bisa dikatakan, Jepang merupakan negara satu-satunya di Asia yang sama majunya
dengan Amerika Serikat dalam IPTEK dan perekonomian. Sifat dasar orang Jepang
memang tekun dan pekerja keras. Keinginan untuk selalu belajar ini tercermin
pada tingginya budaya baca dan tulis masyarakat Jepang. Menurut data dari situs
khusus tentang media massa berbahasa Jepang yakni Bunkanews, kuantitas toko buku di Jepang sama dengan kuantitas toko
buku di Amerika Serikat. Padahal dari segi geografisnya, luas negara Amerika
Serikat dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak
daripada Jepang. Rata-rata orang Jepang gemar membaca, atau paling tidak, gemar
mencari informasi yang tampak remeh sekalipun dari orang lain
Budaya membaca yang
tinggi tentu dipengaruhi oleh tingginya minat menulis. Hal inilah yang terjadi
pada masyarakat Jepang. Budaya menulis Jepang sudah ditekankan sejak dini, anak
sekolah dasar rutin diberikan tugas “sakubun” (arti: mengarang). Contohnya,
ketika mereka sedang dalam libur musim panas,musim dingin, atau libur kenaikan
kelas, mereka selalu disuruh membuat sakubun tentang apa yang mereka kerjakan,
rasakan, dan alami selama liburan atau juga kesan mereka terhadap orang tua.
Kemudian, setiap karya
anak-anak di Jepang selalu dihargai oleh para guru dan orang tua mereka. Di
waktu menjelang tamat, mereka diwajibkan menulis tentang cita-cita. Tulisan itu
kemudian disimpan oleh sekolah dan nantinya akan dilihat kembali beberapa tahun
kemudian. Tingginya budaya menulis dan membaca orang Jepang juga dikarenakan
mereka adalah “learning society”, yaitu masyarakat yang senang belajar dan peka
terhadap informasi yang ada (well informed).
Pemerintah Indonesia
sedari sekarang harus benar-benar memberi perhatian khusus pada lemahnya minat
baca masyarakat. masyarakat sangat urgen disentuh berbagai literatur atau
buku-buku yang mencerdaskan anak-anak Indonesia baik di kota maupun di pedesaan
terpencil sekalipun. Dengan membangun jumlah perpustakaan yang cukup dan
buku-buku yang memadai di nusantara, hal itu bisa menunjang minat baca
masyarakat. Harapannya, generasi muda Indonesia di masa depan semakin mencintai
dunia baca. Mari budayakan membaca...
Penulis adalah Anggota
Initiatives of Change (IofC) Indonesia. Alumnus
Universitas Negeri Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar