Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Kamis 13 Agustus 2015
Tinggal di kota yang nyaman dengan lingkungan dan
udara yang sehat tentu menjadi impian setiap orang. Pasalnya, kita tidak akan rentan
dengan berbagai penyakit yang diakibatkan lingkungan dan udara yang tidak bersih
dan sehat. Lingkungan juga akan memengaruhi mood kita. Contohnya saja jika
lingkungan kerja kita kotor, pastinya kita tidak akan betah dan fokus untuk
bekerja disana sebelum lingkungan itu bersih. Jika lingkungan bersih dan indah,
pastinya kita akan jauh lebih semangat dan maksimal untuk bekerja. Itu salah
satu contoh kecilnya. Lalu bagaimana jika lingkungan yang dimaksud mencakup
ruang lebih luas seperti kota Medan?
Kota Medan merupakan kota terbesar keempat di
Indonesia. Artinya, Medan menjadi salah satu kota pusat urbanisasi bagi para
warga Sumatera Utara bahkan dari luar yang ingin mengais rezeki di perkotaan.
Resikonya adalah kini kota Medan semakin padat penduduk. Untuk membangun
perumahan pribadi di Medan sudah tergolong susah. Di sisi lain, kota Medan kini
tidak tertata rapi. Banyak oknum yang membangun gedung dengan tata ruang
asal-asalan tanpa memperhatikan bahu jalan. Susahnya merancang pelebaran jalan
kota salah satunya diakibatkan oleh banyaknya bangunan yang mengambil sebagian
lahan di pinggir jalan. Alhasil, kemacetan lalu lintas pun tidak bisa dicegah.
Sejak enam tahun yang lalu, saya sudah berdomisili di
kota Medan. Dalam durasi waktu itu, wajah kota ini sudah banyak yang berubah.
Perubahan itu sendiri lebih condong ke negatif. Yang saya amati, ada banyak
permasalahan yang menjadikan kota ini menjadi tidak sehat.
Pertama, maraknya pembangunan gedung. Memang,
peralihan Medan menuju kota metropolitan harus dibarengi dengan pembangunan
gedung baik perusahaan dan rumah ke yang lebih modern. Akan tetapi, hal yang
sering dilupakan banyak pihak adalah ketidakperduliannya terhadap lingkungan.
Saya sangat senang berkeliling kota Medan. Yang saya amati hampir di sepanjang
kota ini tidak ada lagi terlihat tanah beserta pohon-pohon yang rindang.
Sekarang, semua sudah dibangun menjadi beton, lantai atau aspal. Akibatnya jika
terjadi hujan, makan jalanan di sepanjang kota akan tersulap menjadi lautan
air. Hal ini diperparah dengan minimnya sistem drainase atau saluran pembuangan
air yang tidak dirawat sama sekali. Air hujan bukan terserap ke tanah malah
semakin meluap ke atas dan menimbulkan bau busuk. Ini pun mengganggu aktivitas
pengendara yang lalu lalang di sepanjang jalan itu. Masyarakat yang tinggal di
sekitarnya juga tertanggu dan rentan terserang penyakit seperti DBD.
Seharusnya, pemerintah melalui dinas tata ruang dan
bangunan bisa bertindak lebih tegas dan bisa membuat kebijakan yang tepat.
Contohnya, dengan mengharuskan setiap orang yang ingin membangun rumah atau
perusahaan untuk tidak mengambil bahu jalan dan tidak menjadikan semua
halamannya menjadi beton. Dengan begitu, tanah kita masih bisa ditumbuhi oleh
pepohonan yang bisa mencegah banjir ketika hujan.
Kedua, debu-debu yang membuat kota gersang. Kini
cuaca tidak bisa kita prediksi apakah bakal hujan atau tidak. Karena bisa
terjadi kemarau panjang dan hujan deras yang berujung banjir. Namun,
akhir-akhir ini kita menyaksikan cuaca kemarau melanda kota Medan. Kita bisa
merasakan betapa terik, gerah dan panasnya kota ini. Jika sudah musim kemarau,
maka sepanjang jalanan kota Medan dipenuhi tumpukan debu.
Saya bekerja dengan menggunakan transportasi umum dan
saya setiap harinya saya harus melewati jalan yang cukup jauh yakni dari Jalan
Pancing - HM. Yamin - Gatot Subroto -
Darussalam – Iskandar Muda. Saya harus menggunakan masker mulut
sepanjang perjalanan saya karena saya takut debu-debu itu mengganggu pernapasan.
Namun hati saya miris melihat semua penumpang lain di angkutan umum bahkan para
pengendara sepeda motor tidak menggunakan masker mulut. Saya tidak bisa membayangkan
penyakit apa kelak akan mereka idap akibat debu-debu yang begitu banyak mereka
hirup.
Ini bukan hanya terjadi di sepanjang jalan ke tempat
kerja saya. Beberapa hari minggu hari terakhir Saya sering bepergian melewati Jalan
Pancing - Jalan Aksara – SM. Raja – Amplas; Jalan Pancing – Iskandar Muda –
Padang Bulan – Simpang Pos dan Jalan Pancing – Yos Sudarso – Helvetia –
Marelan. Yang saya lihat sama saja, debu-debu bertebaran dimana-mana. Para
pengguna jalan pun tidak menggunakan masker mulut. Masalah ini sebenarnya bisa
diatasi oleh pemerintah kota.
Minimnya taman yang bisa menyegarkan kota Medan menjadi
salah satu penyebabnya. Jika saja, taman-taman di Medan benar-benar
diprioritaskan pemerintah sebagaimana pemerintah Surabaya lakukan, maka masalah
ini tidak akan terjadi. Kota Surabaya yang dikenal sebagai kota lumbung
industri itu dulunya penuh dengan debu dan gersang, namun karena kota yang
dipimpin oleh Tri Rismaharini itu memprioritaskan penyediaan taman, akhirnya
kota itu menjadi sangat indah. Kota itupun menjadi kota idaman dan layak huni
bagi siapa pun warga disana. Bagaimana dengan kota Medan, masihkah memandang
sebelah mata keberadaan taman dan manfaatnya? Kita tunggu saja kinerja dinas
pertamanan kota untuk mengatasi hal ini.
Ketiga, sampah. Kota besar memang selalu bermasalah
dengan sampah karena minimnya lokasi untuk pembuangannya. Namun bukan berarti
masalah sampah tidak bisa diatasi. Saya sangat terganggu dengan keberadaan
sampah di Jl. Willem Iskandar yang berdekatan dengan kampus Universitas Negeri
Medan (UNIMED). Sampah di lokasi itu begitu banyak dan jika angin kencang
datang, sampah-sampah itu akan bertebaran ke sepanjang jalan. Tentu, hal itu
sangat mengganggu apalagi di daerah tersebut ada banyak kampus dan sekolah.
Sungguh tidak elok jika salah satu daerah pusat pendidikan dikotori dengan
sampah.
Bukan hanya di lokasi itu, Sungai atau tali air di
kota Medan juga dipenuhi dengan sampah busuk hingga membuat warna air hitam
pekat dan berbau. Tidak perlu heran, pasalnya masih banyak masyarakat yang tak
kunjung sadar dan masih terus membuang sampah ke sungai. Ironisnya lagi, saya
sangat jarang menemukan pihak kebersihan kota yang khusus membersihkan sungai
itu. Dampak negatifnya tentu sangat banyak, akan ada banyak sumber penyakit
yang dibawa nyamuk, lalat dan jenis binatang kecil lainnya dari sungai itu kepada
masyarakat. Saya tidak tahu apa yang dikerjakan pemerintah selama ini untuk
masalah tersebut. Selama enam tahun saya tinggal di Medan bahkan hingga
walikotanya berganti, belum pernah ada gebrakan kebersihan yang berdampak bagi
warga.
Tentunya, untuk menciptakan kota yang sehat dibutuhkan
pemerintah yang sehat pula, sehat secara rohani, jasmani, logika, dan karakter.
Hanya pemerintah yang memiliki nilai baik itulah yang tentunya akan terbeban
dan bertanggungjawab untuk merealisasikan kota Medan menjadi sehat. Kota ini
akan tetap sakit jika banyak pejabat pemerintah yang masih memikirkan
kepentingan diri sendiri bukan kepentingan umum. Ya, bukan kepentingan pribadi
dengan segala keserakahan yang berujung pada tindak korupsi (terselubung).
Karena setiap orang yang sakit rohani, logika dan karakterlah yang tidak
memiliki hati untuk merubah kota ini menjadi sehat dan layak huni.
Kita tunggu saja gebrakan apa yang akan dilakukan pemerintah
kota Medan untuk permasalahan ini. Yang pasti, kita berharap pemerintah kota
ini tidak sedang sakit sehingga kita masih bisa berasumsi bahwa kota Medan bisa
bangkit dan dibentuk menjadi kota yang bersih dan lestari. Kita juga berharap, sebagai
salah satu kota terbesar di Indonesia, kota Medan bisa bercitra baik dari
sektor lingkungan hidup dan pemerintahannya.
Penulis adalah Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar