Jumat, 14 Agustus 2015

Pak Walikota, Medan Tidak Sehat Loh...




Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Kamis 13 Agustus 2015
 
Tinggal di kota yang nyaman dengan lingkungan dan udara yang sehat tentu menjadi impian setiap orang. Pasalnya, kita tidak akan rentan dengan berbagai penyakit yang diakibatkan lingkungan dan udara yang tidak bersih dan sehat. Lingkungan juga akan memengaruhi mood kita. Contohnya saja jika lingkungan kerja kita kotor, pastinya kita tidak akan betah dan fokus untuk bekerja disana sebelum lingkungan itu bersih. Jika lingkungan bersih dan indah, pastinya kita akan jauh lebih semangat dan maksimal untuk bekerja. Itu salah satu contoh kecilnya. Lalu bagaimana jika lingkungan yang dimaksud mencakup ruang lebih luas seperti kota Medan?

Kota Medan merupakan kota terbesar keempat di Indonesia. Artinya, Medan menjadi salah satu kota pusat urbanisasi bagi para warga Sumatera Utara bahkan dari luar yang ingin mengais rezeki di perkotaan. Resikonya adalah kini kota Medan semakin padat penduduk. Untuk membangun perumahan pribadi di Medan sudah tergolong susah. Di sisi lain, kota Medan kini tidak tertata rapi. Banyak oknum yang membangun gedung dengan tata ruang asal-asalan tanpa memperhatikan bahu jalan. Susahnya merancang pelebaran jalan kota salah satunya diakibatkan oleh banyaknya bangunan yang mengambil sebagian lahan di pinggir jalan. Alhasil, kemacetan lalu lintas pun tidak bisa dicegah.

Sejak enam tahun yang lalu, saya sudah berdomisili di kota Medan. Dalam durasi waktu itu, wajah kota ini sudah banyak yang berubah. Perubahan itu sendiri lebih condong ke negatif. Yang saya amati, ada banyak permasalahan yang menjadikan kota ini menjadi tidak sehat.

Pertama, maraknya pembangunan gedung. Memang, peralihan Medan menuju kota metropolitan harus dibarengi dengan pembangunan gedung baik perusahaan dan rumah ke yang lebih modern. Akan tetapi, hal yang sering dilupakan banyak pihak adalah ketidakperduliannya terhadap lingkungan. Saya sangat senang berkeliling kota Medan. Yang saya amati hampir di sepanjang kota ini tidak ada lagi terlihat tanah beserta pohon-pohon yang rindang. Sekarang, semua sudah dibangun menjadi beton, lantai atau aspal. Akibatnya jika terjadi hujan, makan jalanan di sepanjang kota akan tersulap menjadi lautan air. Hal ini diperparah dengan minimnya sistem drainase atau saluran pembuangan air yang tidak dirawat sama sekali. Air hujan bukan terserap ke tanah malah semakin meluap ke atas dan menimbulkan bau busuk. Ini pun mengganggu aktivitas pengendara yang lalu lalang di sepanjang jalan itu. Masyarakat yang tinggal di sekitarnya juga tertanggu dan rentan terserang penyakit seperti DBD.

Seharusnya, pemerintah melalui dinas tata ruang dan bangunan bisa bertindak lebih tegas dan bisa membuat kebijakan yang tepat. Contohnya, dengan mengharuskan setiap orang yang ingin membangun rumah atau perusahaan untuk tidak mengambil bahu jalan dan tidak menjadikan semua halamannya menjadi beton. Dengan begitu, tanah kita masih bisa ditumbuhi oleh pepohonan yang bisa mencegah banjir ketika hujan.

Kedua, debu-debu yang membuat kota gersang. Kini cuaca tidak bisa kita prediksi apakah bakal hujan atau tidak. Karena bisa terjadi kemarau panjang dan hujan deras yang berujung banjir. Namun, akhir-akhir ini kita menyaksikan cuaca kemarau melanda kota Medan. Kita bisa merasakan betapa terik, gerah dan panasnya kota ini. Jika sudah musim kemarau, maka sepanjang jalanan kota Medan dipenuhi tumpukan debu.

Saya bekerja dengan menggunakan transportasi umum dan saya setiap harinya saya harus melewati jalan yang cukup jauh yakni dari Jalan Pancing - HM. Yamin - Gatot Subroto -  Darussalam – Iskandar Muda. Saya harus menggunakan masker mulut sepanjang perjalanan saya karena saya takut debu-debu itu mengganggu pernapasan. Namun hati saya miris melihat semua penumpang lain di angkutan umum bahkan para pengendara sepeda motor tidak menggunakan masker mulut. Saya tidak bisa membayangkan penyakit apa kelak akan mereka idap akibat debu-debu yang begitu banyak mereka hirup.

Ini bukan hanya terjadi di sepanjang jalan ke tempat kerja saya. Beberapa hari minggu hari terakhir Saya sering bepergian melewati Jalan Pancing - Jalan Aksara – SM. Raja – Amplas; Jalan Pancing – Iskandar Muda – Padang Bulan – Simpang Pos dan Jalan Pancing – Yos Sudarso – Helvetia – Marelan. Yang saya lihat sama saja, debu-debu bertebaran dimana-mana. Para pengguna jalan pun tidak menggunakan masker mulut. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi oleh pemerintah kota.

Minimnya taman yang bisa menyegarkan kota Medan menjadi salah satu penyebabnya. Jika saja, taman-taman di Medan benar-benar diprioritaskan pemerintah sebagaimana pemerintah Surabaya lakukan, maka masalah ini tidak akan terjadi. Kota Surabaya yang dikenal sebagai kota lumbung industri itu dulunya penuh dengan debu dan gersang, namun karena kota yang dipimpin oleh Tri Rismaharini itu memprioritaskan penyediaan taman, akhirnya kota itu menjadi sangat indah. Kota itupun menjadi kota idaman dan layak huni bagi siapa pun warga disana. Bagaimana dengan kota Medan, masihkah memandang sebelah mata keberadaan taman dan manfaatnya? Kita tunggu saja kinerja dinas pertamanan kota untuk mengatasi hal ini.

Ketiga, sampah. Kota besar memang selalu bermasalah dengan sampah karena minimnya lokasi untuk pembuangannya. Namun bukan berarti masalah sampah tidak bisa diatasi. Saya sangat terganggu dengan keberadaan sampah di Jl. Willem Iskandar yang berdekatan dengan kampus Universitas Negeri Medan (UNIMED). Sampah di lokasi itu begitu banyak dan jika angin kencang datang, sampah-sampah itu akan bertebaran ke sepanjang jalan. Tentu, hal itu sangat mengganggu apalagi di daerah tersebut ada banyak kampus dan sekolah. Sungguh tidak elok jika salah satu daerah pusat pendidikan dikotori dengan sampah.

Bukan hanya di lokasi itu, Sungai atau tali air di kota Medan juga dipenuhi dengan sampah busuk hingga membuat warna air hitam pekat dan berbau. Tidak perlu heran, pasalnya masih banyak masyarakat yang tak kunjung sadar dan masih terus membuang sampah ke sungai. Ironisnya lagi, saya sangat jarang menemukan pihak kebersihan kota yang khusus membersihkan sungai itu. Dampak negatifnya tentu sangat banyak, akan ada banyak sumber penyakit yang dibawa nyamuk, lalat dan jenis binatang kecil lainnya dari sungai itu kepada masyarakat. Saya tidak tahu apa yang dikerjakan pemerintah selama ini untuk masalah tersebut. Selama enam tahun saya tinggal di Medan bahkan hingga walikotanya berganti, belum pernah ada gebrakan kebersihan yang berdampak bagi warga.

Tentunya, untuk menciptakan kota yang sehat dibutuhkan pemerintah yang sehat pula, sehat secara rohani, jasmani, logika, dan karakter. Hanya pemerintah yang memiliki nilai baik itulah yang tentunya akan terbeban dan bertanggungjawab untuk merealisasikan kota Medan menjadi sehat. Kota ini akan tetap sakit jika banyak pejabat pemerintah yang masih memikirkan kepentingan diri sendiri bukan kepentingan umum. Ya, bukan kepentingan pribadi dengan segala keserakahan yang berujung pada tindak korupsi (terselubung). Karena setiap orang yang sakit rohani, logika dan karakterlah yang tidak memiliki hati untuk merubah kota ini menjadi sehat dan layak huni.

Kita tunggu saja gebrakan apa yang akan dilakukan pemerintah kota Medan untuk permasalahan ini. Yang pasti, kita berharap pemerintah kota ini tidak sedang sakit sehingga kita masih bisa berasumsi bahwa kota Medan bisa bangkit dan dibentuk menjadi kota yang bersih dan lestari. Kita juga berharap, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, kota Medan bisa bercitra baik dari sektor lingkungan hidup dan pemerintahannya. 

Penulis adalah Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar