Kamis, 29 Oktober 2015

Kapan Sektor Pangan Kita Mandiri?



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Malut Post Maluku, 29 Oktober 2015 

Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan impor beras sebagai upaya mengantisipasi keterbatasan pasokan dalam negeri akibat fenomena El Nino. Kebijakan itu jelas bertentangan dengan keinginan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang sejak awal ingin membangun kemandirian pangan yang bersumber dari dalam negeri. Faktor alam yang buruk pada 2015, terutama kemarau panjang, mau tidak mau membuat pemerintah harus mengingkari janji yang telah dicanangkan sejak jauh hari, yakni tidak mengimpor beras. Terbukti, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui pemerintah sedang menyiapkan stok beras dari Vietnam dan Thailand. Langkah itu diambil untuk mengantisipasi keterbatasan pasokan beras petani akibat fenomena El Nino.

Data BMKG memprediksi tingkat kekeringan 2015 lebih parah dibandingkan El Nino pada 1997-1998. Saat itu saja, pemerintah harus mengimpor jutaan ton beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dampak El Nino tahun ini memang telah menurunkan pasokan beras di beberapa daerah, sehingga menyebabkan kenaikan harga beras sekitar 10 persen. Kenaikan harga beras itu dipicu oleh berkurangnya stok beras. Informasi yang disampaikan oleh pemerintah menyebutkan panen padi masih terus berlangsung hingga akhir 2015. Artinya, hingga akhir Desember 2015, El Nino tidak akan terlalu mengganggu. Namun pada saat bersamaan, stok beras di Bulog hanya 1,7 juta ton, yang diprediksi akan habis Desember 2015.

Sebagai antisipasi, pemerintah mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand yang sewaktu-waktu bisa didatangkan ke Indonesia. Fakta tersebut membuktikan stok beras di dalam negeri masih sangat rentan, alias jauh dari stok aman. Musim kering 2015 sebetulnya sudah diketahui sejak lama, sehingga pemerintah mestinya bisa mengantisipasi dengan baik. Semua instansi terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, serta Bulog juga sudah seharusnya memiliki langkah antisipatif dengan meningkatkan stok dalam negeri sebanyak mungkin. Selama ini, Kementerian Pertanian terkesan sangat optimistis pemerintah tidak akan mengimpor beras. Ternyata data yang disampaikan Kementerian Pertanian tidak akurat karena stok Bulog justru tidak surplus dan segera habis pada akhir 2015.

Sebagai solusinya, pemerintah langsung menyiapkan impor beras dan terkesan diam-diam. Wajar jika ada penilaian pemerintah plinplan dan tidak memiliki komitmen jelas dalam membangun kedaulatan pangan. Padahal, dari awal pemerintah menjanjikan akan membangun kemandirian pangan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak. Dengan membangun kemandirian pangan, pastinya sektor pertanian di dalam negeri  akan kembali bergairah. Selama ini, kebijakan sektor pangan yang lebih banyak dikuasai mafia membuat petani dalam negeri terpuruk.

Apapun itu, kita harus tetap mendukung visi pemerintah mengenai kemandirian pangan. Apalagi, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan sangat malu karena ditanya kepada negara lain kapan akan melakukan impor lagi, khususnya beras. Seharusnya, visi pemerintah dipertajam dan segera diwujudkan, bukan lagi sekadar retorika. Ditinjau dari berbagai aspek, Indonesia sangat memenuhi syarat untuk mampu mewujudkan kemandirian pangan. Bahkan, lebih dari itu Indonesia bisa menjadi suplaier pangan terbesar di dunia. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Indonesia harus mandiri terlebih dulu.

Sektor kemandirian pangan bukan sesuatu hal sulit bagi pemerintah, asalkan semua instansi terkait fokus pada tugas pokok dan fungsinya. Program mencetak sawah baru jutaan hektare yang dijanjikan dalam kampanye dulu harus segera diwujudkan. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian harus benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, khususnya petani dan pertenak. Selama kebijakan impor masih bisa dipermainkan para mafia, sulit bagi pemerintah untuk bisa memajukan sektor pertanian. Padahal, segala sumber daya alam (SDA) masih kita miliki sehingga dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama bisa direalisasikan.

Sebagai contoh, Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Itu terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Di Indonesia, segala jenis tanaman apa pun bisa tumbuh subur dan berkembang. Melalui kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, tidak heran menjadikannya sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam bidang pertanian yang bisa dilihat pada perkembangan kelapa sawit, karet, dan cokelat yang mulai bergerak menguasai pasar dunia. Oleh karena itu, kita menagih janji dan komitmen pemerintah untuk segera fokus merealisasikan kemandirian pangan.

Selama ini, kita masih mengimpor beras, jagung, gula, daging, kedelai, garam, terigu, dan lain sebagainya. Meski tidak semua kebutuhan pokok itu dipenuhi di Indonesia, setidaknya untuk kebutuhan yang paling mendasar seperti beras, garam, jagung, daging, dan beberapa komoditas lainnya seharusnya sudah bisa diproduksi sepenuhnya dari dalam negeri. Pemerintah harus malu dengan janjinya yang indah bahwa Indonesia bisa mandiri pangan asal ada kemauan.

Tidak ada alasan apa pun untuk melakukan impor lagi. Pertanyaannya, kapan janji itu diwujudkan? Masyarakat semakin realistis dan sudah bosan dengan janji-janji manis pemerintah. Kita tunggu saja gebrakan dan strategi apa yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi-JK untuk merealisasikannya. Kita berharap, sektor pangan kita benar-benar bisa mandiri agar kita tidak bergantung lagi kepada negara lain.

Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Mengobarkan Patriotisme Pemuda



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Lampung Post, 28 Oktober 2015 

Menyambut perayaan 87 tahun Sumpah Pemuda, kita jadi teringat lirik lagu karangan A. Simanjuntak “Bangun Pemudi Pemuda”. Satu kalimat di situ mengingatkan pemuda Indonesia tentang tanggung jawabnya, yaitu “masa yang akan datang kewajibanmulah”. Jika kita kembali ke masa di era Sumpah Pemuda dicetuskan pada tahun 1928, para pemuda Indonesia di masa itu berkumpul dengan satu spirit untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan sebuah jawaban atas tantangan jaman masa itu: penjajahan kaum kolonial atas bangsa Indonesia.

Atas dasar kesadaran kolektif, juga dengan semangat kebersamaan, para Jong Indonesia di masa itu sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tidak ada jalan lain. Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia, menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah kolonial di bumi Indonesia.

Dari sejarah Sumpah Pemuda tadi kita bisa menangkap pesan kuat tentang betapa para pemuda Indonesia di era itu dengan gegap gempita memenuhi panggilan jaman-nya untuk melawan penjajahan dengan sebuah komitmen tentang persatuan. Komitmen yang diniscayakan dalam sebuah “sumpah agung”, yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Kiprah dan peran para pemuda Indonesia pada tahun 1928 itu telah mengubah secara drastis pola perjuangan pergerakan nasional dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional.

Kini, 87 tahun kemudian, pertanyaan yang relevan untuk kita jawab adalah: apakah peran pemuda, yang menurut data BPS berjumlah sekitar 170 juta orang (di bawah umur 40 tahun), sebagai penggerak perubahan bagi bangsanya? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Jika dulu tantangan nyata pemuda Indonesia adalah bagaimana melawan penjajahan fisik, maka sekarang pemuda Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah besar: krisis multidimensi, yang menempatkan Indonesia “terjajah” oleh bangsa-bangsa lain dalam bentuk penjajahan bentuk baru. Penjajahan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Betapa tidak,  Indonesia yang dahulu pernah begitu berwibawa dan mandiri, kini menjelma menjadi negeri yang bergelimang produk impor. Bukan hanya impor barang tapi juga impor pemikiran dan impor kebudayaan. Pada akhirnya, arus impor berkecepatan tinggi di segala lini tersebut memadamkan spirit dan kemampuan kita sebagai bangsa untuk mampu memproduksi barang, ide, dan kebudayaan karena terlena oleh produk-produk impor tadi.

Di sektor ekonomi, produksi dalam negeri sudah kalah bersaing dengan produk-produk bermerek mancanegara. Di bidang pemikiran, para intelektual muda lebih merasa gagah mengutip kearifan para tokoh bangsa lain, ketimbang mengutip kearifan tokoh-tokoh nasional. Padahal pemikiran Bung Karno, Hatta, Gus Dur, dan banyak tokoh lagi sudah diakui di dunia internasional. Bahkan, dalam tataran praktis, gaya demokrasi yang dianut pun lebih berorientasi pada demokrasi ala Barat ketimbang demokrasi ala Indonesia. Bukan demokrasi yang berjiwa nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia yang mengutamakan musyawarah dan mufakat. Kini, perbedaan pendapat lebih cenderung diselesaikan dengan mekanisme voting (pemungutan suara) daripada dengan cara musyawarah untuk mufakat.

Sementara itu, dari sisi kebudayaan, arus budaya pop impor semakin memudarkan kecintaan pemuda-pemudi Indonesia untuk melestarikan warisan budaya nasional, seperti wayang, sastra dan tari-tarian daerah dan sebagainya. Padahal, tidak sedikit orang asing yang justru kemudian mempelajari dan membawa warisan budaya leluhur ke pentas internasional.

Saya percaya bahwa keberhasilan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan para pemuda-pemudinya dalam berkiprah di bidang keahliannya masing-masing. Negeri ini sesungguhnya dilimpahi tunas-tunas bangsa yang punya potensi besar untuk membawa kejayaan bangsa di pentas internasional. Kami mencatat ada begitu banyak prestasi yang telah diraih para pemuda-pemudi Indonesia di pentas dunia. Keberhasilan pelajar-pelajar Indonesia asuhan Profesor Yohanes Surya menjadi juara Olimpiade Fisika dan Matematika tingkat dunia menjadi bukti bahwa pemuda-pemudi Indonesia punya kualitas yang tidak kalah dari kualitas pemuda-pemudi negara lain.

Publik kebudayaan sangat bersemangat ketika menyaksikan pertunjukan “Matah Ati”. Bagi kami, Matah Ati adalah sebuah pertunjukan budaya  sangat indah dan penuh dengan nilai-nilai filosofis. Pengakuan batik Indonesia dari UNESCO juga menjadi bukti bahwa jika dikembangkan secara sungguh-sungguh, karya budaya asli Indonesia berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi soft power Indonesia di kancah internasional. Pengakuan komunitas perfilman internasional yang memuji film “Denias, Senandung di Atas Awan”, karya sutradara Ari Sihasale, kiprah para ilmuwan muda Indonesia di lembaga-lembaga riset internasional dengan berbagai penemuan penting mereka adalah cermin bahwa sejatinya pemuda-pemudi Indonesia punya potensi besar untuk membawa bangsa kita menjadi bangsa maju.

Bayangkan, jika setiap bidang dan sektor kehidupan di negeri ini dipenuhi dengan pemuda ber-etos baja seperti contoh-contoh sukses tadi, niscaya Republik ini akan lebih cepat bangkit dan melesat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia.

Memang, untuk merajut potensi-potensi besar itu dibutuhkan sebuah keteladanan, yang mampu menggelorakan patriotisme kaum muda dalam konteks kekinian.  Namun, jika keteladanan itu tak kunjung datang, semangat Sumpah Pemuda 1928 bisa menjadi teladan bahwa kaum muda bisa menjadi teladan untuk kaumnya sendiri. Bahkan, kaum muda bisa menjadi pelopor atas kebangkitan bangsa, di tengah-tengah krisis multidimensi yang mendera di semua lini.

Ingat kepemudaan berarti spirit. Ia adalah personalisasi dari sosok bersemangat baja; si pantang menyerah, si pekerja keras, si cerdas, dan memiliki penguasaan terhadap sejumlah keterampilan yang diperlukan. Bila pemuda bangsa tahun 1928 menjawab tantangan penjajahan dengan persatuan, maka pemuda Indonesia masa kini bisa menjawab tantangan krisis multidimensi dengan tampil sebagai pionir-pionir penuh prestasi di bidang keahlian dan bidang kecakapannya masing-masing. Para pemuda Indonesia yang memilih dunia olahraga sebagai atlet jadilah atlet yang mendalami dunia keatletannya sehingga berprestasi di pentas dunia.

Begitu pula, para pemuda yang berkiprah di bidang kesenian dan kebudayaan, apakah itu sebagai penari, penyanyi, pelukis, penulis, dan sebagainya, jadilah seniman dan budayawan yang mendalami secara utuh bidangnya masing-masing sehingga diakui dunia. Juga, para pemuda yang berprofesi sebagai peneliti, ilmuwan, politisi, birokrat dan sebagainya, hendaknya menekuni profesinya secara utuh, tulus, dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Seperti kata Bung Karno, Karmane Vadni Adikaraste Maphalessu Kada Chana (laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang, sebab jika bukan engkau yang memetik buahnya maka anakmu yang akan memetik, jika bukan anakmu pastilah cucumu yang akan memetiknya).

Inilah redefinisi partriotisme pemuda Indonesia masa kini, yang tidak kalah agung dari patriotisme pemuda Indonesia 1928 ketika mencetuskan Sumpah Pemuda. Melalui redefinisi tersebut Indonesia akan selangkah lebih dekat mewujudkan impian menjadi bangsa yang besar di pentas dunia dengan berpijak pada kearifan nasional dan keahlian putra putri bangsa sendiri.

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan alumnus Universitas Negeri Medan.

Mengembangkan Pendidikan Alternatif di Pelosok



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Batam Pos, 22 Oktober 2015 

Melalui UUD Negara Republik Indonesia 1945, negara telah memberikan jaminan kesamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tanpa dibatasi oleh administrasi, teritori, agama, suku bangsa dan budaya. Jaminan terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala bidang telah diatur secara jelas dan tegas dalam pasal-pasal dan ayat ayat yang terkandung didalam batang tubuh UUD 1945 tersebut.

Hak terhadap akses pendidikan sebagai salah satu hak sipil warga negara diatur dalam Pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dengan mengikuti program pendidkan wajib dimana negara yang harus menyelenggarakan pelaksanaan sistem pendidikan nasional dan pemerintah wajib membiayainya dengan memprioritas anggran pendidkan sebanyak 20% dari APBN.

Dengan demikian, secara ideal seharusnya pendidikan bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai merauke dari kota hingga ke desa. Tapi kondisi dilapangan menunjukkan fakta yang berbeda, dimana pendidikan masih menjadi barang langka dan barang mahal yang tidak bisa dijangkau dengan mudah oleh kelompok masyarakat tertentu. Cita-cita pendidkan yang merata dengan program wajib belajar pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendidik anak bangsa agar berakhlak mulia masih jauh dari kenyataan dilapangan.

Kelompok masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang jauh dari akses informasi dan minim sentuhan fasilitas publik menjadi kelompok yang paling rentan yang sangat mungkin generasinya tidak bisa mencicipi pendidikan yang layak. Kelompok-kelompok masyarakat yang demikian harus rela menerima kenyataan bahwa pendidikan adalah hal mewah bagi anak-anak mereka.

Data yang dihimpun oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mencatat bahwa di seluruh Indonesia 33.000 desa berada di dalam dan disekitar kawasan hutan negara. Dengan model penguasaan kawasan hutan yang sentralistik dan berada di bawah kendali pusat dalam hal ini adalah kementrian Kehutanan, yang tidak membenarkan adanya pemukiman di dalam kawasan hutan negara, maka penduduk yang berada di 33.000 desa tersebut rentan disebut sebagai penduduk ilegal.

Dengan status desa dan kependudukan yang demikian membuat masyarakat semakin sulit mengakses hak-hak sipil kewarganegaraanya termasuk hak memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan alasan takut melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, negara kemudian lepas tangan dan seolah-olah tidak bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan yang ada.

Keadaan semakin dipersulit ketika negara memberikan hak penguasaan kawasan hutan di tempat 33.000 desa tersebut berada kepada investor di sektor kehutanan yang didominasi oleh pengetahuan global yang berorientasi pada kepentingan pasar. Perkembangan pengetahuan yang sangat cepat yang dibawa oleh pelaku usaha kehutanan menimbulkan kegamangan yang luar biasa pada masyarakat yang tingkat pengetahuannya sangat minim. Sulitnya mengakses berbagai informasi dan keterbatasan pengetahuan terhadap isu-isu global semakin mengancam eksistensi dan masa depan warga rentan yang tinggal sekitar dan didalam kawasan hutan.

Ditengah-tengah situasi yang serba sulit dan tidak memberikan banyak pilihan, pendidikan alternatif melalui sekolah-sekolah warga menjadi jawaban paling tepat bagi warga rentan saat ini. Pengembangan ruang-ruang pendidikan alternatif berbasis pengetahuan dan kearifan  lokal yang berorientasi pada perkembangan pengetahuan global menjadi pilihan utama yang mendesak harus segera  dikembangkan.

Beberapa kelompok-kelompok kritis berpayung organisasi non kepemerintahan (NGO) sudah mulai menggagas dan mengembangkan model-model pendidikan alternatif bagi warga rentan baik yang berada disekitar maupun di dalam kawasan hutan. Sebagai contoh, SOKOLA telah mampu mengembangkan model pendidikan alternatif bersifat nonformal bagi anak Rimba, beberapa NGO telah membangun taman-baca dan perpustakaan sederhana di desa-desa dampingan, serta beberapa inisiatif-inisiatif lain yang bertujuan memberikan layanan akses pendidikan nonformal bagi warga rentan yang sulit mengakses pendidikan formal.

Sasaran dari model pendidikan alternatif tidak hanya anak-anak usia sekolah. Dengan model pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta waktu yang dimiliki oleh warga, menjadikan model-model pendidikan alternatif lebih mudah diterima oleh warga. Model belajar yang tidak dikerangkeng oleh kurikulum baku sangat memungkinkan setiap peserta belajar berimajinasi, mengeksplorasi pengetahuan dan menggali berbagai informasi secara terbuka dan lepas.

Bagi warga rentan yang jarang sekali diperhatikan oleh program-program pemerintah, pendidikan alternatif menjadi plihan satu-satunya dalam upaya pengembangan pengetahuan dan proses pembelajaran secara mandiri serta menjadi salah satu jawaban atas persoalan yang mereka hadapi setiap hari.

Jadi, dengan adanya pendidikan alternatif ini, rakyat tidak perlu lagi menunggu pembangunan sekolah-sekolah formal yang nyatanya hanya sebatas wacana tanpa realisasi. Pendidikan alternatif yang tidak kaku ini, bisa menjadi jawaban kebutuhan rakyat pada pendidikan. Hal ini juga sebagai wujud gebrakan cepat yang harus dilakukan negara untuk mencerdaskan bangsa di daerah tertinggal.

Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Indonesia Masih Kekurangan Guru SD



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa Medan, 21 Oktober 2015

Pemerintah mengklaim bahwa jumlah guru PNS Sekolah Dasar di Indonesia sudah memadai. Bahkan pemerintah mengatakan bahwa rasio siswa-guru (student-teacher ratio/STR) di Indonesia untuk sekolah dasar sudah selevel dengan Jepang, yaitu 20:1. Artinya, satu guru rata-rata menangani 20 siswa.

Pernyataan itu nyatanya berbeda dengan data yang dihimpun oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI justru mengatakan bahwa saat ini Indonesia kekurangan guru berstatus pegawai negeri sipil, terutama yang mengajar di tingkat sekolah dasar. Menurut data PGRI, ketersediaan guru sekolah dasar saat ini masih kurang 400.000 orang. Kekurangan guru SD banyak ditemui di daerah timur, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur/Barat. Selain itu juga banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Dan nyatanya lagi, kekurangan guru SD juga ditemukan di Jawa, Pulau Sebira, dan Kepulauan Seribu yang masuk wilayah DKI Jakarta, pun masih kekurangan guru. Bahkan di Pulau itu guru SMP tidak  ada. Akibatnya, guru SD merangkap jadi guru SMP. Ada 6 guru di SD-SMP berada dalam satu atap. Pada akhirnya, guru-guru dari daerah pindah ke perkotaan.

Selama ini, kekurangan guru SD bisa ditutupi dengan adanya tenaga guru honorer. Banyak sekolah pada akhirnya mengangkat guru honorer untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri akibat minimnya guru PNS. Karena jika tidak ada jasa honorer, tidak akan ada guru yang bisa mendidik anak-anak di daerah-daerah  pelosok. Padahal, pengangkatan guru honorer yang mengajar di sekolah negeri itu bertentangan dengan aturan yang dibuat pemerintah sendiri. Dalam hal ini, penulis menilai pemerintah sedang tidak konsekuen yaitu melarang guru honorer namun tidak mengangkat guru PNS yang memadai.

Problematika Guru Honorer
Keberadaan guru honorer ini pun menuai masalah baru. Salah satunya terkait dengan kesejahteraan para guru honorer. Pasalnya, gaji yang diterima guru honorer per bulannya relatif sangat kecil dan sangat jauh dari jumlah honor yang diterima oleh guru-guru PNS. Mirisnya lagi, guru honorer maupun guru PNS yang mengajar di sekolah dituntut tugas dan kewajiban yang sama tetapi status kepegawaian masing-masing berbeda. Jika PNS lalai menjalankan tugas dan kewajibannya, masih ada toleransi dan peringatan yang berkepanjangan yang bersifat meringankan.

Sementara guru honorer, jika melakukan kelalaian kapan saja bisa dipecat. Padahal upah guru honorer masih memprihatinkan. Masih anyak guru honorer diupah hanya Rp 150.000 setiap bulannya dan itu pun sekolah harus merogohnya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini tentu tidak adil karena pada kenyataannya kualitas guru honorer tidak kalah dengan guru PNS. Banyak guru honorer yang  masih muda, cerdas, berwawasan luas dan juga kritis. Seharusnya, pemerintah bisa memprioritaskan masalah kekurangan guru maupun kesejahteraan guru honorer.

Segera Dituntaskan
Kasus kekurangan guru SD ini harus segera dituntaskan. Sebab kita tahu bahwa pendidikan merupakan modal awal kita menjalani hidup dari nol hingga menuju kesuksesan. Pasalnya, selain orangtua, kontribusi dan jasa guru menjadi salah satu faktor pendukung baik atau tidaknya masa depan seorang anak. Bisa dibayangkan jika sekolah kekurangan banyak guru. Pastinya, pengetahuan dan karakter anak didiknya tidak akan berkembang. Anak bisa tidak terarah, menjadi pembangkang hingga melakukan tindakan-tindakan kriminal. Jadi tidak heran jika sejak beberapa tahun lalu hingga sekarang banyak kasus-kasus yang terjadi pada anak.

Pertama, maraknya curanmor dengan melukai hingga membunuh korbannya atau yang lebih sering disebut Begal. Tidak hanya orang dewasa, begal pun nyatanya dilakukan oleh anak-anak muda (sekolah). Dengan tidak berprikemanusiaan, para begal itu menorehkan banyak korban hingga menimbulkan ketakutan masif di masyarakat.

Kedua, Perkelahian atau tawuran pelajar. Tentu kita masih ingat beberapa waktu belakangan ini, banyak video perkelahian pelajar khususnya SD beredar di sosial media yang meresahkan para orangtua maupun pihak sekolah. Kasus ini bahkan seringkali terjadi di sekolah-sekolah dasar di daerah-daerah. Hal ini tentu turut disebabkan kurangnya penanganan guru akibat minimnya kuantitas dan kualitas guru dalam mengarahkan anak didiknya. Pasalnya, di berbagai video yang beredar, lokasi perkelahian anak sekolah tersebut berada di lingkungan sekolah.

Ketiga, kurangnya niat belajar siswa. Sudah menjadi fakta, di era majunya teknologi komunikasi saat ini, anak-anak lebih suka berkutat dengan telepon pintar dengan layanan media sosial, permainan (game) dan fitur-fitur lainnya daripada membaca buku pelajaran sekolah mereka. Kemudian, sekarang ini banyak anak-anak di bawah umur yang sudah pacaran. Hal ini sangat meresahkan orangtua dan guru. Soalnya, ini membuat anak-anak jadi sering keluyuran hingga lewat jam istirahat malam karena bertemu dengan pacarnya. Hal ini sungguh menyedihkan. Anak-anak semakin lama semakin kehilangan hak-haknya untuk memperoleh kebahagiaan masa kanak-kanak mereka. Dalam hal ini, guru khusunya sekolah dasar sangat berkontribusi besar dalam membentuk moral dan etika anak.

Oleh karena itu, jika guru cukup secara menyeluruh di Indonesia, maka problematika anak-anak diatas bisa diminimalisir bahkan bisa dicegah. Kita berharap pemerintah tetap fokus untuk membenahi pendidikan negeri ini melalui kecukupan guru sekolah dasar di seluruh nusantara demi menciptakan generasi-generasi berkualitas dan bermoral baik.

 Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.