Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Malut Post Maluku, 29 Oktober 2015
Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan impor beras sebagai upaya
mengantisipasi keterbatasan pasokan dalam negeri akibat fenomena El Nino.
Kebijakan itu jelas bertentangan dengan keinginan pemerintahan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla, yang sejak awal ingin membangun kemandirian pangan yang bersumber
dari dalam negeri. Faktor alam yang buruk pada 2015, terutama kemarau panjang, mau
tidak mau membuat pemerintah harus mengingkari janji yang telah dicanangkan
sejak jauh hari, yakni tidak mengimpor beras. Terbukti, Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui pemerintah sedang menyiapkan stok
beras dari Vietnam dan Thailand. Langkah itu diambil untuk mengantisipasi
keterbatasan pasokan beras petani akibat fenomena El Nino.
Data BMKG memprediksi tingkat
kekeringan 2015 lebih parah dibandingkan El Nino pada 1997-1998. Saat itu saja,
pemerintah harus mengimpor jutaan ton beras untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Dampak El Nino tahun ini memang telah menurunkan pasokan beras di
beberapa daerah, sehingga menyebabkan kenaikan harga beras sekitar 10 persen.
Kenaikan harga beras itu dipicu oleh berkurangnya stok beras. Informasi yang
disampaikan oleh pemerintah menyebutkan panen padi masih terus berlangsung
hingga akhir 2015. Artinya, hingga akhir Desember 2015, El Nino tidak akan
terlalu mengganggu. Namun pada saat bersamaan, stok beras di Bulog hanya 1,7
juta ton, yang diprediksi akan habis Desember 2015.
Sebagai antisipasi, pemerintah
mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand yang sewaktu-waktu bisa didatangkan
ke Indonesia. Fakta tersebut membuktikan stok beras di dalam negeri masih
sangat rentan, alias jauh dari stok aman. Musim kering 2015 sebetulnya sudah
diketahui sejak lama, sehingga pemerintah mestinya bisa mengantisipasi dengan
baik. Semua instansi terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian PU dan
Perumahan Rakyat, serta Bulog juga sudah seharusnya memiliki langkah
antisipatif dengan meningkatkan stok dalam negeri sebanyak mungkin. Selama ini,
Kementerian Pertanian terkesan sangat optimistis pemerintah tidak akan
mengimpor beras. Ternyata data yang disampaikan Kementerian Pertanian tidak
akurat karena stok Bulog justru tidak surplus dan segera habis pada akhir 2015.
Sebagai solusinya, pemerintah
langsung menyiapkan impor beras dan terkesan diam-diam. Wajar jika ada
penilaian pemerintah plinplan dan tidak memiliki komitmen jelas dalam membangun
kedaulatan pangan. Padahal, dari awal pemerintah menjanjikan akan membangun
kemandirian pangan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak. Dengan
membangun kemandirian pangan, pastinya sektor pertanian di dalam negeri akan kembali bergairah. Selama ini, kebijakan
sektor pangan yang lebih banyak dikuasai mafia membuat petani dalam negeri
terpuruk.
Apapun itu, kita harus tetap mendukung
visi pemerintah mengenai kemandirian pangan. Apalagi, Presiden Joko Widodo
pernah mengatakan sangat malu karena ditanya kepada negara lain kapan akan
melakukan impor lagi, khususnya beras. Seharusnya, visi pemerintah dipertajam
dan segera diwujudkan, bukan lagi sekadar retorika. Ditinjau dari berbagai
aspek, Indonesia sangat memenuhi syarat untuk mampu mewujudkan kemandirian
pangan. Bahkan, lebih dari itu Indonesia bisa menjadi suplaier pangan terbesar
di dunia. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Indonesia harus mandiri terlebih
dulu.
Sektor kemandirian pangan bukan
sesuatu hal sulit bagi pemerintah, asalkan semua instansi terkait fokus pada
tugas pokok dan fungsinya. Program mencetak sawah baru jutaan hektare yang
dijanjikan dalam kampanye dulu harus segera diwujudkan. Kebijakan pemerintah di
bidang pertanian harus benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, khususnya
petani dan pertenak. Selama kebijakan impor masih bisa dipermainkan para mafia,
sulit bagi pemerintah untuk bisa memajukan sektor pertanian. Padahal, segala
sumber daya alam (SDA) masih kita miliki sehingga dalam kurun waktu yang tidak
terlalu lama bisa direalisasikan.
Sebagai contoh, Indonesia adalah
salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Itu terbukti dengan keadaan
tanah Indonesia yang sangat subur. Di Indonesia, segala jenis tanaman apa pun
bisa tumbuh subur dan berkembang. Melalui kekayaan alam yang dimiliki
Indonesia, tidak heran menjadikannya sebagai salah satu negara yang memiliki
peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia memiliki
potensi yang luar biasa dalam bidang pertanian yang bisa dilihat pada
perkembangan kelapa sawit, karet, dan cokelat yang mulai bergerak menguasai
pasar dunia. Oleh karena itu, kita menagih janji dan komitmen pemerintah untuk
segera fokus merealisasikan kemandirian pangan.
Selama ini, kita masih mengimpor
beras, jagung, gula, daging, kedelai, garam, terigu, dan lain sebagainya. Meski
tidak semua kebutuhan pokok itu dipenuhi di Indonesia, setidaknya untuk
kebutuhan yang paling mendasar seperti beras, garam, jagung, daging, dan
beberapa komoditas lainnya seharusnya sudah bisa diproduksi sepenuhnya dari
dalam negeri. Pemerintah harus malu dengan janjinya yang indah bahwa Indonesia
bisa mandiri pangan asal ada kemauan.
Tidak ada alasan apa pun untuk
melakukan impor lagi. Pertanyaannya, kapan janji itu diwujudkan? Masyarakat
semakin realistis dan sudah bosan dengan janji-janji manis pemerintah. Kita
tunggu saja gebrakan dan strategi apa yang akan dilakukan pemerintahan
Jokowi-JK untuk merealisasikannya. Kita berharap, sektor pangan kita
benar-benar bisa mandiri agar kita tidak bergantung lagi kepada negara lain.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.