Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Lampung Post, 13 Oktober 2015
Beberapa
waktu yang lalu, pembunuhan tragis terjadi di desa Selok Awar-awar, Lumajang,
Jawa Timur yang menewaskan Salim Kancil, seorang petani sekaligus aktivis yang
menolak pertambangan pasir illegal di desanya. Kejadian ini memperlihatkan
bahwa praktik mafia sudah merasuk ke pedesaan. Sebagai petani yang merasa
hak-haknya dilanggar, Salim dan kawan-kawan berjuang menghalangi kerusakan
lingkungan desanya. Namun, mereka harus berhadapan dengan keganasan orang-orang
rakus.
Dalam
kasus tersebut, polisi sudah menangkap puluhan orang pelaku pembantaian,
termasuk Kepala Desa Selok Awar-awar, Harijono, yang diduga sebagai otak
intelektual pembunuhan itu. Ironisnya, ada empat polisi yang juga diduga
terlibat dalam kasus ini, bahkan jumlahnya diperkirakan akan bertambah. Bahkan Bupati
Lumajang, As’at amaslik, juga tak menolak kemungkinan ada pejabat pemerintah
daerah (pemda) yang terlibat. Ia juga telah mempersilahkan polisi memproses
semua pejabat yang diduga terlibat dalam
kasus ini.
Kasus ini
bermula ketika Salim, Tosan dan warga desa Selok menolak pertambangan pasir
karena menimbulkan masalah lingkungan berupa lubang bekas galian yang
berbahaya. Para petani itu juga mengkhawatirkan hilangnya bukit yang akan
menyebabkan air laut menggenangi sawah dan merusak tanaman padi. Semula mereka
menempuh cara damai dengan menyurati pemda, namun tak ditanggapi sehingga
mereka terjun melakukan penolakan fisik. Kasus ini membelalakkan mata kita
betapa kekejaman yang sangat sadis bisa terjadi di pedesaan.
Salim tak
hanya dikeroyok, tetapi juga diseret dengan motor sejauh beberapa ratus meter,
dipukuli dengan batu, diikat, disetrum, dan digorok lehernya. Yang lebih
menusuk kepedihan kita adalah peristiwa tersebut disaksikan langsung anak-anak
balita siswa PAUD termasuk anak-anak Salim Kancil. Secara psikologis, tontonan
buruk itu pasti akan meninggalkan trauma panjang bagi anak-anak di masa
dewasanya. Kita patut mengutuk keras tindakan sadistis seperti itu. Kita
berharap, para pelaku diganjar hukuman yang setimpal dan member efek jera.
Namun, persoalan kita tidak terbatas pada penanganan kasusnya, tetapi perlu
menjadi pemikiran kita lebih jauh.
Kita kini
risau karena sendi-sendi kemasyarakatan sudah diabaikan, bahkan ditinggalkan.
Kita tidak peduli lagi terhadap nilai-nilai, pendekatan budaya, kearifan lokal,
bahkan musyawarah mufakat yang kita sepakati sebagai falsafah hidup. Kita tak
percaya lagi pada supremasi hukum sehingga kekerasan sebagai gantinya. Ini
harga yang harus kita bayar karena apapun sudah kita ukur dengan materi, pendekatan
serbamateri. Betapa gila, seorang kepala desa langsung gelap mata hanya karena memimpikan
timbunan uang dari penambangan pasir sehingga tak mau mendengar suara rakyat
sendiri.
Aparat
pemda pun menganggap enteng masalah ini. Kemungkinan besar para pejabat itu
sudah menerima upeti sehingga tak perlu menghiraukan penolakan warga dan tidak
mengantisipasi kemungkinan terburuk. Hingga pada akhirnya Salim Kancil dan
warga menempuh cara mereka sendiri yaitu menyetop truk pasir. Ini sebagai
bentuk habisnya harapan mereka kepada pemerintah. Bagi mereka, pemerintah dan
penegak hukum tidak bisa lagi menjadi sandaran bagi rakyat.
Kasus ini
sudah sangat meresahkan warga desa-desa lainnya di nusantara dimana terdapat pertambangan
pasir yang mungkin ilegal. Pemerintah dan rakyat merisaukan potensi konflik sosial
seperti itu di daerahnya. Wajar saja, sudah banyak eksploitasi tambang yang
telah memicu keresahan warga. Bila tidak ditangani dengan baik, ini bisa
meletus menjadi konflik sosial. Tentu kita tidak ingin kasus Lumajang merembet
ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Tangan-tangan
perusahaan besar kini merasuk hingga ke pedalaman, mengeksploitasi tambang, tak
peduli menghancurkan daerah pertanian, dibabat habis untuk disedot pasirnya.
Aktivitas produksi dan pengangkutan pasir menimbulkan kebisingan jalanan desa.
Tak semua penduduk di pedesaan berani menghadapi risiko seperti Salim Kancil
dan kawan-kawannya. Mereka itu silent majority yang benar-benar diam sehingga
kerusakan pun berlanjut tanpa ada pihak yang peduli.
Di
Lumajang saja, menurut catatan Dinas Perhubungan, terdapat sekitar 2000 truk
pengangkut pasir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
memperkirakan sebagian besar pasir yang diangkut berasal dari tambang illegal.
Bisa dibayangkan banyaknya truk yang beroperasi setiap hari melayani
tambang-tambang liar di Jawa dan betapa besar perputaran uang dalam bisnis ini.
Secara ekonomis, bisnis ini sangat menggiurkan. Karena itu, warga yang diam
diabaikan dan tak akan diperhitungkan. Ini memang perilaku umum. Sayangnya,
pemerintah cenderung hanya memperhitungkan kelompok yang vokal dan mengabaikan
silent majority tadi.
Kecenderungan
ini secara jangka panjang akan menghancurkan rancangan pembangunan kita sendiri
karena makin banyak warga terabaikan dan tertinggal, yang pada gilirannya akan
menjadii beban pembangunan. Pelajaran dari Lumajang itu sangat mahal. Kita
semua, terlebih pemerintah, harus menarik pelajaran penting untuk merancang
pembangunan yang lebih berkelanjutan dan menyejahterahkan rakyat.
Bukan
tidak mungkin orang-orang yang selama ini diam akan mengikuti jejak Salim
Kancil, mengambil resiko kematian demi memperjuangkan hak-haknya bahkan sampai melawan
kesewenangan-wenangan pengguasa dan jaringan mafianya. Tentu, hal ini tidak
kita inginkan terjadi. Perlu adanya upaya pencegahan dari pemerintah dan
masyarakat. Salah satunya, mencegah pemarakan penambangan liar di berbagai
daerah yang jauh dari sorotan pemerintah dan media.
Hukuman
keras hingga berefek jera harus benar-benar diaktualisasikan sejak dini agar
hak keberlangsungan hidup rakyat terutama di pedesaan tidak dirampas secara
biadab. Pemerintah harus sigap dan lebih preventif terhadap terror-teror yang
melilit masyarakat di pedesaan. Jangan hanya bertindak setelah ada kasus serupa
terkuak bahkan menunggu tumbangnya beberapa korban jiwa.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisan diatas diposting sudah lama sekali, tepatnya bulan Oktober 2015. Kalau sekarang telah bulan Seftember 2020, maka hampir genap 5 tahun usia tulisan tersebut. Berbicara tentang galian C seakan tiada habisnya, selalu saja tumbuh bak jamur dimusim penghujan. Yang berbeda jelas soal tempat. Biasanya para pemain akan mencari/ membuka lokasi baru, baik dengan dalih membeli lahan warga masyarakat yang menurut mereka sudah tidak produktif atau lahan terjal yang berdampingan dengan kawasan Perum Perhutani. Seperti yang terjadi di sebuah Dusun Babadan, Desa Tawangrejo, Kec.Gemarang, Kab.Madiun, Prov.Jawa Timur, yang kebetulan oknum Kepala Desanya memiliki alat berat bego. Awalnya dengan modus jalan raya Kabupaten/ jalan PU melintas desa tersebut(80% berdampingan dengan lahan Perhutani, sepanjang kurang lebih 5 km), tanpa musyawarah dan ijin yang pasti(rapat BPD juga tak pernah ada) langsung dikepras/ dibabat habis tanah/padas yang pada sisi sebelahnya berdampingan dengan lahan milik Perhutani. Kalaupun sudah mendapatkan ijin dari perhutani, secepat itukah Perhutani memberikan ijin? Atau, inikah yang dinamakan permufakatan jahat? Ya, setelah dikeparas memang jalan menjadi nampak semakin lebar, masyarakatpun menjadi senang, meskipun ada beberapa tahapan, tata cara(dampak selanjutnya jika terjadi musim penghujan) dilewati begitu saja. Mulai dari soal perijinan dengan Perhutani misalnya, mereka abaikan begitu saja, tanpa pakai ijin langsung disikat habis tebing yang berdampingan dengan lahan Perhutani, belum lagi soal selokkan/ got air, juga belum dikerjakkan dengan sempurna dan yang lebih aneh lagi, sisa material dari gempuran tanah Perhutani tersebut diangkut oleh beberapa puluh truck dump dan dijual ke kota.
BalasHapusSetelah sukses membuat pancingan kepada masyarakat, kini Kepala Desa setempat bersama oknum Kepala Dusun Babadan yang berinisial YS, menggali galian C yang berada di tepi bukit, untuk dikomersilkan. Dengan perijinan yang belum jelas dan pajak daerahpun belum terbayar, setiap hari puluhan truk lalu lalang melewati jalan kabupaten yang melintas di desa tersebut. Oleh karena lokasi tambang berada di tepi bukit, maka jalan masuk trukpun juga lumayan sulit. Dari fakta kami kumpulkan dari masyarakat, jika truk akan masuk ke lokasi tambang sebagaimana dimaksud, harus ngantri berjajar ditikungan menurun(menurut kami ini sangat membahayakan dan mengganggu jalanya lalu lintas atau pengguna jalan yang lain, cukup berbahaya), masuk satu-persatu secara bergantian untuk menuju lokasi tambang. Sampai dengan saat ini Pemkab Madiun belum bertindak secara serius untuk menangani permasalahan tersebut, meskipun masyarakat telah berkali-kali mengirim surat, menanyakan secara langsung mengenai legalitas, kelangsungan dll yang berkaitan dengan kegiatan tambang tersebut. Pemkab dan pengelola tambang seperti menganggap remeh dan aroma bau amis konspirasi telah merebak kemana-mana. Itu memang hak penambang dan oknum Pemkab Madiun. Hanya saja kami mengkhawatirkan, peristiwa Salim Kancil Lumajang(sebagaimana faktanya tersampaikan diatas), akan terulang di Dusun Babadan, desa Tawangrejo, Kec.Gemarang, Kab.Madiun,Prov.Jawa Timur. Pelaku penambang juga ada kemiripan, yakni para mafia perangkat desa, dimana bukan pekerjaan mudah, bagi masyarakat/ LSM yang cinta lingkungan dan memikirkan jangka panjang setelah bukit tersebut dikeruk, untuk menghentikanya dari kegiatan/ bisnis makan tanah tersebut. Karena becking yang melingkari juga bukan orang yang sembarangan, yang gampang disentuh hukum. Semoga dengan apa telah kami sampaikan ini ada gunanya dan Pemkab Madiun, Dinas Lingkungan Hidup atau Para penegak hukum yang terkait, dengan penuh kesadaran dan menjunjung tinggi praduga tak bersalah, sesegera mungkin menangani permasalahan ini agar tidak menjadi konflik yang meluas dan memakan korban. Menangani lebih dini akan lebih baik, dari pada setelah nyawa masyarakat melayang, hukum dan para petugas baru datang.(Jeff, Spg)