Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa Medan, 21 Oktober 2015
Pemerintah mengklaim bahwa jumlah guru PNS Sekolah Dasar di Indonesia sudah
memadai. Bahkan pemerintah mengatakan bahwa rasio siswa-guru (student-teacher
ratio/STR) di Indonesia untuk sekolah dasar sudah selevel dengan Jepang, yaitu
20:1. Artinya, satu guru rata-rata menangani 20 siswa.
Pernyataan itu nyatanya berbeda dengan data yang dihimpun oleh Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI justru mengatakan bahwa saat ini Indonesia
kekurangan guru berstatus pegawai negeri sipil, terutama yang mengajar di
tingkat sekolah dasar. Menurut data PGRI, ketersediaan guru sekolah dasar saat
ini masih kurang 400.000 orang. Kekurangan guru SD banyak ditemui di daerah
timur, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur/Barat. Selain
itu juga banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Dan
nyatanya lagi, kekurangan guru SD juga ditemukan di Jawa, Pulau Sebira, dan
Kepulauan Seribu yang masuk wilayah DKI Jakarta, pun masih kekurangan guru.
Bahkan di Pulau itu guru SMP tidak ada.
Akibatnya, guru SD merangkap jadi guru SMP. Ada 6 guru di SD-SMP berada dalam
satu atap. Pada akhirnya, guru-guru dari daerah pindah ke perkotaan.
Selama ini, kekurangan guru SD bisa ditutupi dengan adanya tenaga guru honorer.
Banyak sekolah pada akhirnya mengangkat guru honorer untuk mengajar di
sekolah-sekolah negeri akibat minimnya guru PNS. Karena jika tidak ada jasa
honorer, tidak akan ada guru yang bisa mendidik anak-anak di daerah-daerah pelosok. Padahal, pengangkatan guru honorer
yang mengajar di sekolah negeri itu bertentangan dengan aturan yang dibuat
pemerintah sendiri. Dalam hal ini, penulis menilai pemerintah sedang tidak
konsekuen yaitu melarang guru honorer namun tidak mengangkat guru PNS yang
memadai.
Problematika Guru Honorer
Keberadaan guru
honorer ini pun menuai masalah baru. Salah satunya terkait dengan kesejahteraan
para guru honorer. Pasalnya, gaji yang diterima guru honorer per bulannya
relatif sangat kecil dan sangat jauh dari jumlah honor yang diterima oleh
guru-guru PNS. Mirisnya lagi, guru honorer maupun guru PNS yang mengajar di
sekolah dituntut tugas dan kewajiban yang sama tetapi status kepegawaian
masing-masing berbeda. Jika PNS lalai menjalankan tugas dan kewajibannya, masih
ada toleransi dan peringatan yang berkepanjangan yang bersifat meringankan.
Sementara guru honorer, jika melakukan kelalaian kapan saja bisa dipecat. Padahal
upah guru honorer masih memprihatinkan. Masih anyak guru honorer diupah hanya
Rp 150.000 setiap bulannya dan itu pun sekolah harus merogohnya dari Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Hal ini tentu tidak adil karena pada kenyataannya
kualitas guru honorer tidak kalah dengan guru PNS. Banyak guru honorer
yang masih muda, cerdas, berwawasan luas
dan juga kritis. Seharusnya, pemerintah bisa memprioritaskan masalah kekurangan
guru maupun kesejahteraan guru honorer.
Segera Dituntaskan
Kasus kekurangan
guru SD ini harus segera dituntaskan. Sebab kita tahu bahwa pendidikan
merupakan modal awal kita menjalani hidup dari nol hingga menuju kesuksesan.
Pasalnya, selain orangtua, kontribusi dan jasa guru menjadi salah satu faktor
pendukung baik atau tidaknya masa depan seorang anak. Bisa dibayangkan jika
sekolah kekurangan banyak guru. Pastinya, pengetahuan dan karakter anak
didiknya tidak akan berkembang. Anak bisa tidak terarah, menjadi pembangkang
hingga melakukan tindakan-tindakan kriminal. Jadi tidak heran jika sejak
beberapa tahun lalu hingga sekarang banyak kasus-kasus yang terjadi pada anak.
Pertama, maraknya curanmor
dengan melukai hingga membunuh korbannya atau yang lebih sering disebut Begal. Tidak
hanya orang dewasa, begal pun nyatanya dilakukan oleh anak-anak muda (sekolah).
Dengan tidak berprikemanusiaan, para begal itu menorehkan banyak korban hingga
menimbulkan ketakutan masif di masyarakat.
Kedua, Perkelahian atau tawuran
pelajar. Tentu kita masih ingat beberapa waktu belakangan ini, banyak video
perkelahian pelajar khususnya SD beredar di sosial media yang meresahkan para
orangtua maupun pihak sekolah. Kasus ini bahkan seringkali terjadi di
sekolah-sekolah dasar di daerah-daerah. Hal ini tentu turut disebabkan
kurangnya penanganan guru akibat minimnya kuantitas dan kualitas guru dalam
mengarahkan anak didiknya. Pasalnya, di berbagai video yang beredar, lokasi
perkelahian anak sekolah tersebut berada di lingkungan sekolah.
Ketiga, kurangnya niat belajar
siswa. Sudah menjadi fakta, di era majunya teknologi komunikasi saat ini,
anak-anak lebih suka berkutat dengan telepon pintar dengan layanan media
sosial, permainan (game) dan fitur-fitur lainnya daripada membaca buku
pelajaran sekolah mereka. Kemudian, sekarang ini banyak anak-anak di bawah umur
yang sudah pacaran. Hal ini sangat meresahkan orangtua dan guru. Soalnya, ini
membuat anak-anak jadi sering keluyuran hingga lewat jam istirahat malam karena
bertemu dengan pacarnya. Hal ini sungguh menyedihkan. Anak-anak semakin lama
semakin kehilangan hak-haknya untuk memperoleh kebahagiaan masa kanak-kanak
mereka. Dalam hal ini, guru khusunya sekolah dasar sangat berkontribusi besar
dalam membentuk moral dan etika anak.
Oleh karena itu,
jika guru cukup secara menyeluruh di Indonesia, maka problematika anak-anak
diatas bisa diminimalisir bahkan bisa dicegah. Kita berharap pemerintah tetap fokus
untuk membenahi pendidikan negeri ini melalui kecukupan guru sekolah dasar di
seluruh nusantara demi menciptakan generasi-generasi berkualitas dan bermoral
baik.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar