Kamis, 29 Oktober 2015

Indonesia Masih Kekurangan Guru SD



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa Medan, 21 Oktober 2015

Pemerintah mengklaim bahwa jumlah guru PNS Sekolah Dasar di Indonesia sudah memadai. Bahkan pemerintah mengatakan bahwa rasio siswa-guru (student-teacher ratio/STR) di Indonesia untuk sekolah dasar sudah selevel dengan Jepang, yaitu 20:1. Artinya, satu guru rata-rata menangani 20 siswa.

Pernyataan itu nyatanya berbeda dengan data yang dihimpun oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI justru mengatakan bahwa saat ini Indonesia kekurangan guru berstatus pegawai negeri sipil, terutama yang mengajar di tingkat sekolah dasar. Menurut data PGRI, ketersediaan guru sekolah dasar saat ini masih kurang 400.000 orang. Kekurangan guru SD banyak ditemui di daerah timur, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur/Barat. Selain itu juga banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Dan nyatanya lagi, kekurangan guru SD juga ditemukan di Jawa, Pulau Sebira, dan Kepulauan Seribu yang masuk wilayah DKI Jakarta, pun masih kekurangan guru. Bahkan di Pulau itu guru SMP tidak  ada. Akibatnya, guru SD merangkap jadi guru SMP. Ada 6 guru di SD-SMP berada dalam satu atap. Pada akhirnya, guru-guru dari daerah pindah ke perkotaan.

Selama ini, kekurangan guru SD bisa ditutupi dengan adanya tenaga guru honorer. Banyak sekolah pada akhirnya mengangkat guru honorer untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri akibat minimnya guru PNS. Karena jika tidak ada jasa honorer, tidak akan ada guru yang bisa mendidik anak-anak di daerah-daerah  pelosok. Padahal, pengangkatan guru honorer yang mengajar di sekolah negeri itu bertentangan dengan aturan yang dibuat pemerintah sendiri. Dalam hal ini, penulis menilai pemerintah sedang tidak konsekuen yaitu melarang guru honorer namun tidak mengangkat guru PNS yang memadai.

Problematika Guru Honorer
Keberadaan guru honorer ini pun menuai masalah baru. Salah satunya terkait dengan kesejahteraan para guru honorer. Pasalnya, gaji yang diterima guru honorer per bulannya relatif sangat kecil dan sangat jauh dari jumlah honor yang diterima oleh guru-guru PNS. Mirisnya lagi, guru honorer maupun guru PNS yang mengajar di sekolah dituntut tugas dan kewajiban yang sama tetapi status kepegawaian masing-masing berbeda. Jika PNS lalai menjalankan tugas dan kewajibannya, masih ada toleransi dan peringatan yang berkepanjangan yang bersifat meringankan.

Sementara guru honorer, jika melakukan kelalaian kapan saja bisa dipecat. Padahal upah guru honorer masih memprihatinkan. Masih anyak guru honorer diupah hanya Rp 150.000 setiap bulannya dan itu pun sekolah harus merogohnya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini tentu tidak adil karena pada kenyataannya kualitas guru honorer tidak kalah dengan guru PNS. Banyak guru honorer yang  masih muda, cerdas, berwawasan luas dan juga kritis. Seharusnya, pemerintah bisa memprioritaskan masalah kekurangan guru maupun kesejahteraan guru honorer.

Segera Dituntaskan
Kasus kekurangan guru SD ini harus segera dituntaskan. Sebab kita tahu bahwa pendidikan merupakan modal awal kita menjalani hidup dari nol hingga menuju kesuksesan. Pasalnya, selain orangtua, kontribusi dan jasa guru menjadi salah satu faktor pendukung baik atau tidaknya masa depan seorang anak. Bisa dibayangkan jika sekolah kekurangan banyak guru. Pastinya, pengetahuan dan karakter anak didiknya tidak akan berkembang. Anak bisa tidak terarah, menjadi pembangkang hingga melakukan tindakan-tindakan kriminal. Jadi tidak heran jika sejak beberapa tahun lalu hingga sekarang banyak kasus-kasus yang terjadi pada anak.

Pertama, maraknya curanmor dengan melukai hingga membunuh korbannya atau yang lebih sering disebut Begal. Tidak hanya orang dewasa, begal pun nyatanya dilakukan oleh anak-anak muda (sekolah). Dengan tidak berprikemanusiaan, para begal itu menorehkan banyak korban hingga menimbulkan ketakutan masif di masyarakat.

Kedua, Perkelahian atau tawuran pelajar. Tentu kita masih ingat beberapa waktu belakangan ini, banyak video perkelahian pelajar khususnya SD beredar di sosial media yang meresahkan para orangtua maupun pihak sekolah. Kasus ini bahkan seringkali terjadi di sekolah-sekolah dasar di daerah-daerah. Hal ini tentu turut disebabkan kurangnya penanganan guru akibat minimnya kuantitas dan kualitas guru dalam mengarahkan anak didiknya. Pasalnya, di berbagai video yang beredar, lokasi perkelahian anak sekolah tersebut berada di lingkungan sekolah.

Ketiga, kurangnya niat belajar siswa. Sudah menjadi fakta, di era majunya teknologi komunikasi saat ini, anak-anak lebih suka berkutat dengan telepon pintar dengan layanan media sosial, permainan (game) dan fitur-fitur lainnya daripada membaca buku pelajaran sekolah mereka. Kemudian, sekarang ini banyak anak-anak di bawah umur yang sudah pacaran. Hal ini sangat meresahkan orangtua dan guru. Soalnya, ini membuat anak-anak jadi sering keluyuran hingga lewat jam istirahat malam karena bertemu dengan pacarnya. Hal ini sungguh menyedihkan. Anak-anak semakin lama semakin kehilangan hak-haknya untuk memperoleh kebahagiaan masa kanak-kanak mereka. Dalam hal ini, guru khusunya sekolah dasar sangat berkontribusi besar dalam membentuk moral dan etika anak.

Oleh karena itu, jika guru cukup secara menyeluruh di Indonesia, maka problematika anak-anak diatas bisa diminimalisir bahkan bisa dicegah. Kita berharap pemerintah tetap fokus untuk membenahi pendidikan negeri ini melalui kecukupan guru sekolah dasar di seluruh nusantara demi menciptakan generasi-generasi berkualitas dan bermoral baik.

 Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar