Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, 10 Oktober 2015
Dapat dipastikan, seringnya terjadi tindak kekerasan yang
melibatkan mahasiswa dan aparat kepolisian, tawuran antar pelajar
sekolah, video perkelahian siswa di lingkungan sekolah, banyaknya
pelajar membentuk blok/geng eksklusif hanya dengan teman seagama, suku,
ras dan adat istiadatnya, serta konflik antar suku dan agama merupakan
indikasi lemahnya pemahaman kita tentang keragaman budaya
(multikultural).
Ini merupakan konsekuensi logis produk pendidikan kita yang kurang
memaknai keragaman budaya dalam kurikulumnya. Kesadaran akan keragaman
seakan lenyap dari pembelajaran di sekolah dan kampus, terutama sejak
era reformasi ketika Departemen Pendidikan Nasional diubah menjadi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di sekolah, budaya hanya dipahami
sebagai seni dan adat istiadat, yakni sebatas pada menyanyi dan menari
tanpa pendalaman makna.
Sikap terbuka selalu mengedepankan dialog dan saling memahami
keanekaragaman budaya dan agama. Berbagai upaya ditempuh untuk membangun
sikap semacam itu. Namun, hiruk-pikuk keanekaragaman itu hanya berhenti
pada tataran wacana. Karena itu, upaya sistematik diperlukan untuk
mendidik sikap saling menghargai keanekaragaman kepada siswa.
Konflik SARA dan politik merupakan bukti konkret belum tersentuhnya
level “akar rumput” oleh pemahaman keanekaragaman. Akar konflik itu
sebenarnya masalah ekonomi dan politik lokal, namun medan konflik
diperluas dengan mengeksploitasi budaya dan agama.
Dalam database Patterns of Collective Violence in Indonesia
menyebutkan meskipun kurang dari 16,6% dari seluruh insiden kekerasan
kolektif di Indonesia, kekerasan etnis telah menelan 89,3% dari total
jumlah korban tewas. Dengan kata lain, kekerasan etnis akan menelan
korban jauh lebih banyak dibandingkan jenis kekerasan lain.
Dalam perspektif pendidikan, pandangan tentang etnis harus dikerjakan
serius oleh sekolah karena Indonesia memiliki keragaman etnis terbesar
di dunia. Sebab itu, pemahaman yang baik tentang perlunya sekolah
membangun model multikultural menjadi sangat urgen untuk memberikan
alternatif pendidikan berbasis keragaman etnis dan budaya.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif
adalah pemahaman tentang ragam budaya atau multikulturalisme, yaitu
sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay
1996; Watson 2000). Dalam model pemahaman itu, sebuah masyarakat harus
dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah gambar, dengan semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk
terwujudnya masyarakat yang lebih besar dan mempunyai kebudayaan seperti
sebuah desain tersebut (Reed, 1997).
Dalam konteks keragaman budaya, multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau
kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan.
Paham multikulturalisme yang akan dikembangkan di sekolah harus mampu
mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu pola
pembelajaran yang demokratis, pendidikan dan pengembangan SDM yang
mengakui kesederajatan (equity and equality), keadilan dan penegakan
hukum, juga memikirkan tema-tema tentang kesempatan kerja dan berusaha,
HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika
dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Banks (1999) memberikan beberapa ciri dan karakter yang baik untuk
mengembangkan paham multikulturalisme ini dalam sekolah, antara lain
melalui penetrasi kurikulum sekolah dan proses pengembangannya yang di
desain dengan mengacu dan merefleksikan pengalaman, budaya, dan
perspektif dari berbagai macam keragaman etnis dan suku bangsa serta
kesetaraan gender. Di samping itu, metodologi pengajaran yang digunakan
para guru juga harus sesuai dengan sikap budaya, motivasi, latar
belakang siswa yang beragam karakter, bakat dan minat.
Sekolah yang ingin mengembangkan paham multikulturalisme juga harus
mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang akan digunakan serta ruangan
pendukung sekolah sesuai dengan pola keragaman budaya, agama, dan suku
bangsa seluruh siswa.
Sementara itu, penilaian siswa dilakukan dengan mempertimbangkan asas
sensitivitas kultural dan agama siswa sehingga secara proporsional
mampu mengembangkan bakat dan minat siswa yang secara langsung juga
dapat mendukung budaya sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang juga
merefleksikan keragaman budaya, agama, dan etnis.
Sesuai dengan nama yang disandangnya, pendidikan multikultural
merupakan landasan utama semua proses pembelajaran yang akan
diselenggarakan di setiap sekolah di Indonesia. Pendidikan multikultural
berangkat dari konsep atau teori melting pot, yakni satu proses saat
seseorang atau kelompok dengan latar belakang etnik dan budaya berbeda
berlebur dan menjadi bagian dari proses sosiologis yang lebih luas,
suatu proses kompromi yang ditandai saling menghargai dan menghormati
antara kelompok dan pada saat bersamaan menghargai identitas budaya lain
dalam masyarakat. Pengertian semacam ini selanjutnya bisa dilihat dalam
empat elemen berikut, yaitu (1) gerakan; (2) pendekatan kurikulum; (3)
proses; dan (4) komitmen.
Dengan begitu, dalam pendidikan multikultural, aspek-aspek seperti
sikap yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling
memahami perbedaan ideologi, dan nilai di tengah masyarakat yang beragam
(secara budaya dan agama), diakui sebagai modal penting bagi
perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan semua perbedaan dan
keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk
pemberdayaan masyarakat.
Kesimpulannya, pendidikan multikultural ini sangat urgen
diimplementasikan ke dalam pendidikan Indonesia supaya setiap rakyat
bisa memaknai keragaman dan menghargainya.
Penulis adalah seorang pengajar, Anggota Initiatives of Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar