Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Medan Bisnis, 17 Oktober 2015
Indonesia memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang
terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan hasil catatan Transparency
International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2009 dan
2010 mendapat skor 2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan
skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4. Dari data itu,
disimpulkan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara paling rawan
korupsi dibanding negara tetangga, seperti Singapura, Brunei Darussalam,
Malaysia, Thailand, dan Myanmar.
Bahkan koran Singapura, The Strait Time pernah menjuluki
Indonesia sebagai The Envelope Country karena di negara kita segala sesuatu
bisa dibeli, baik itu para penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, maupun
para birokrat, petugas pajak atau yang lain. Intinya semua hal bisa lancar bila
ada “amplop”. Hal yang paling mengejutkan adalah ternyata
sektor pendidikan merupakan sektor paling korup berdasarkan data Indonesia
Watch Corruption (ICW) dimana tahun 2013 ada 296 kasus korupsi dengan kerugian
negara mencapai Rp 619 miliar. Tahun 2014 meningkat menjadi 321 kasus dengan
kerugian negara mendekati triliunan rupiah.
Dengan kondisi seperti ini, penanaman nilai-nilai yang
mengajarkan kejujuran sangat diperlukan dalam setiap proses pembelajaran
dalam sistem pendidikan di negara kita. Maka timbullah pertanyaan, perlukah
diadakan semacam kurikulum khusus untuk pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah
maupun diperguruan tinggi? Sebagaimana artikel yang diterbitkan oleh Kompas.com
beberapa waktu lalu berjudul “KPK Siapkan Modul Pendidikan Anti-Korupsi”,
dijelaskan bahwa dalam rangka mengatasi masalah korupsi maka pendidikan antikorupsi
akan segera dilaksanakan mulai dari ditingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Bahkan modul khusus pendidikan antikorupsi yang nantinya
akan digunakan sudah dirancang oleh KPK dan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Untuk jenjang pendidikan tinggi nantinya akan dimasukkan dalam mata
kuliah khusus, sedangkan untuk tingkat sekolah, mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) akan menjadi sarana dalam menyampaikan
nilai-nilai pendidikan antikorupsi.
Apakah usaha ini akan membuahkan hasil? Bukan hendak
berfikir skeptis mengenai rencana yang telah disusun oleh KPK dan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan ini, akan tetapi sedikit berkaca dengan hasil dari
pelaksanaan penataran P4 yang dinilai gagal dalam mencetak generasi pancasilais
yang berwawasan pancasila dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syafii Maarif
(mantan ketua umum pengurus pusat Muhammadiyah) bahwa model penataran P4
berujung kegagalan karena hanya berupa penataran dan penyampaian materi tanpa
contoh figur riil dalam penerapannya.
Sebenarnya pendidikan antikorupsi lebih dari hanya
sekedar “modul” atau mata kuliah dengan jumlah SKS tertentu yang nantinya akan
diberikan nilai tertulis diatas secarik kertas. Hanya dengan menghapal materi
pelajaran yang terdapat dalam modul, seorang mahasiswa bukan tidak
mungkin akan memperoleh nilai A dalam mata kuliah pendidikan antikorupsi.
Kemudian apakah dengan nilai “A” tersebut akan menjamin mahasiswa tidak akan
melakukan tindak pidana korupsi? Begitu juga dengan para pelajar yang akan
dapat memperoleh nilai PPKn yang tinggi di, akankah menjamin anak tersebut akan
tumbuh menjadi seorang penerus bangsa yang anti korupsi?
Anak-anak didik kita adalah ibarat kain kanvas putih
polos dan bersih yang siap diberi guratan dengan berbagai warna. Apa saja yang
mereka dengar, lihat, dan rasakan akan memberikan pengaruh terhadap pola fikir
maupun tingkah lakunya dalam menjalani kehidupaan. Nama-nama Akil Mochtar, Ratu
Atut, Gatot Pujo Nugroho, Gayus tambunan, Angelina sondakh, Andi Mallarangeng,
Anas Urbaningrum dan lain-lain menjadi akrab dikalangan anak-anak sekolah
dasar, karena tayangan berita yang tidak jarang memberitakan secara eklusif
kasus-kasus korupsi di negara kita.
Tayangan berita tindak kriminal dan pelanggaran hukum
termasuk tindakan korupsi jika diberitakan tanpa adanya filter ataupun
penjelasan khusus yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan
yang tidak baik. Bukan tidak mungkin malah akan menjadi contoh nyata bagi
anak-anak kita untuk melakukan tindakan yang sama, karena dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Banyaknya contoh nyata mengenai bobroknya
penegakan hukum di negara kita termasuk dalam penanganan kasus korupsi dimana
para koruptor bisa mendapatkan hukuman yang sama atau bahkan lebih ringan dari
seorang pelaku pencurian sandal jepit ataupun pencuri satu tandan kelapa sawit
secara nyata mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa berbuat salah itu tidak
harus dibayar mahal, dengan suap hukum bisa dibeli. Asalkan ada uang segala
sesuatu bisa dibeli.
Bahkan di negara kita ini sepertinya Law is nothing when
have to deal with money/hukum tak berarti jika ada uang. Oleh karena itu,
menjadi suatu keharusan bahwa perlu dilakukan pendidikan anti korupsi untuk
membentengi generasi penerus bangsa ini dari julukan the next generation
of the envelope country yang akan mewarisi budaya korupsi dikemudian hari.
Menurut KBBI, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya
(Poerwadarminta : 1976). Sebenarnya perilaku korupsi sangat berkaitan dengan
nilai-nilai kejujuran yang dimiliki atau dipegang teguh oleh seorang individu.
Sejalan dengan pencanangan pendidikan berkarakter dalam sistem pendidikan di
Indonesia dimana salah satu dari 18 karakter yang harus ditanamkan kepada para
peserta didik adalah nilai kejujuran.
Maka memang menjadi sesuatu yang sangat krusial untuk
menanamkan pemahaman kepada anak didik bahwa tindakan korupsi adalah sesuatu
perbuatan tercela di hadapan hukum dunia terlebih lagi dihadapan Tuhan. Kejujuran
adalah salah satu nilai terpenting yang harus dimiliki dan dipraktikkan oleh
seluruh elemen dalam rangka mengurangi tingkat korupsi di negara kita. Jika
nilai kejujuran sudah tertanam sejak dini maka diharapkan nantinya generasi
penerus kita tidak akan tergiur dan ikut serta dalam tindakan korupsi.
Akan tetapi pelajaran khusus anti korusi tidak akan mampu
berdampak signifikan dalam membentuk generasi yang anti korupsi. Lebih dari itu
keteladanan lah yang akan berbicara banyak walau tanpa sepatah katapun. Jika
data ICW menunujukkan bahwa sektor pendidikan di Indonesia masuk kedalam
kategori sektor terkorup bagaimana mungkin akan mampu terwujud generasi penerus
bangsa yang anti korupsi hanya dengan sebuah “modul” ataupun “mata pelajaran
khusus antikorupsi”. Jikalau seorang pendidik menelantarkan anak didiknya dikelas
dan tidak mengajar dengan benar, bukankah itu mengajarkan contoh kecil
“korupsi” kepada para peserta didik? Seorang pendidik yang sering masuk kelas
terlambat dan hanya memberikan catatan di papan tulis lalu meninggalkan anak
didiknya untuk mengobrol diruang guru, bukankah itu membentuk anak jadi korup?
Tindakan korupsi sudah berakar dalam budaya bangsa kita,
melekat erat dan menjadi suatu system terselubung dalam tatanan masyarakat.
Untuk itu, pendidikan anti korupsi seyogyanya menjadi sesuatu yang harus
sama-sama disepakati oleh seluruh elemen masyarakat. Dimulai dari keluarga
berkolaborasi dengan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi serta
dicontohkan secara nyata dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang
kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari saat ini. Pembuatan kotak
kejujuran di kelas-kelas sebagai media bagi para peserta didik untuk
berperilaku jujur dengan meletakkan setiap barang temuan yang didapatnya di lingkungan
kelas pada kotak tersebut, juga dapat menjadi sarana praktik nyata dalam
membentuk karakter jujur.
Para pendidik dan orang tua akan sangat menentukan
keberhasilan dari upaya pendidikan anti korupsi bagi para generasi penerus
bangsa ini. Sebisa mungkin seorang pendidik harus mampu menunjukkan contoh
nyata perilaku yang mencerminkan tindakan antikorupsi disamping menyampaikan
nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi kepada peserta didik. Sehingga perilaku
anti-korupsi bisa ditularkan kepada para peserta didik. Karena satu tindakan
nyata akan lebih berdampak dari pada 1000 kalimat tanpa tindakan ril.
Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar