Kamis, 29 Oktober 2015

Menanti Implementasi Pendidikan Antikorupsi




Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Medan Bisnis, 17 Oktober 2015 

Indonesia memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan hasil catatan Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4. Dari data itu, disimpulkan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara paling rawan korupsi dibanding negara tetangga, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Myanmar.

Bahkan koran Singapura, The Strait Time pernah menjuluki Indonesia sebagai The Envelope Country karena di negara kita segala sesuatu bisa dibeli, baik itu para penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, maupun para birokrat, petugas pajak atau yang lain. Intinya semua hal bisa lancar bila ada “amplop”. Hal  yang paling mengejutkan adalah ternyata sektor pendidikan merupakan sektor paling korup berdasarkan data Indonesia Watch Corruption (ICW) dimana tahun 2013 ada 296 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 619 miliar. Tahun 2014 meningkat menjadi 321 kasus dengan kerugian negara mendekati triliunan rupiah.

Dengan kondisi seperti ini, penanaman nilai-nilai yang mengajarkan kejujuran sangat diperlukan dalam setiap proses  pembelajaran dalam sistem pendidikan di negara kita. Maka timbullah pertanyaan, perlukah diadakan semacam kurikulum khusus untuk pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah maupun diperguruan tinggi? Sebagaimana artikel yang diterbitkan oleh Kompas.com beberapa waktu lalu berjudul “KPK Siapkan Modul Pendidikan Anti-Korupsi”, dijelaskan bahwa dalam rangka mengatasi masalah korupsi maka pendidikan antikorupsi akan segera dilaksanakan mulai dari ditingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Bahkan modul khusus pendidikan antikorupsi yang nantinya akan digunakan  sudah dirancang oleh KPK dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk jenjang pendidikan tinggi nantinya akan dimasukkan dalam mata kuliah khusus, sedangkan untuk tingkat sekolah, mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) akan menjadi sarana dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan antikorupsi.

Apakah usaha ini akan membuahkan hasil? Bukan hendak berfikir skeptis mengenai rencana yang telah disusun oleh KPK dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini, akan tetapi sedikit berkaca dengan hasil dari pelaksanaan penataran P4 yang dinilai gagal dalam mencetak generasi pancasilais yang berwawasan pancasila dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syafii Maarif (mantan ketua umum pengurus pusat Muhammadiyah) bahwa model penataran P4 berujung kegagalan karena hanya berupa penataran dan penyampaian materi tanpa contoh figur riil dalam penerapannya.

Sebenarnya pendidikan antikorupsi lebih dari hanya sekedar “modul” atau mata kuliah dengan jumlah SKS tertentu yang nantinya akan diberikan nilai tertulis diatas secarik kertas. Hanya dengan menghapal materi pelajaran yang terdapat dalam  modul, seorang mahasiswa bukan tidak mungkin akan memperoleh nilai A dalam mata kuliah pendidikan antikorupsi. Kemudian apakah dengan nilai “A” tersebut akan menjamin mahasiswa tidak akan melakukan tindak pidana korupsi? Begitu juga dengan para pelajar yang akan dapat memperoleh nilai PPKn yang tinggi di, akankah menjamin anak tersebut akan tumbuh menjadi seorang penerus bangsa yang anti korupsi?

Anak-anak didik kita adalah ibarat kain kanvas putih polos dan bersih yang siap diberi guratan dengan berbagai warna. Apa saja yang mereka dengar, lihat, dan rasakan akan memberikan pengaruh terhadap pola fikir maupun tingkah lakunya dalam menjalani kehidupaan. Nama-nama Akil Mochtar, Ratu Atut, Gatot Pujo Nugroho, Gayus tambunan, Angelina sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan lain-lain menjadi akrab dikalangan anak-anak sekolah dasar, karena tayangan berita yang tidak jarang memberitakan secara eklusif kasus-kasus korupsi di negara kita.

Tayangan berita tindak kriminal dan pelanggaran hukum termasuk tindakan korupsi jika diberitakan tanpa adanya filter ataupun penjelasan khusus yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak baik. Bukan tidak mungkin malah akan menjadi contoh nyata bagi anak-anak kita untuk melakukan tindakan yang sama, karena dianggap sebagai sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Banyaknya contoh nyata mengenai bobroknya penegakan hukum di negara kita termasuk dalam penanganan kasus korupsi dimana para koruptor bisa mendapatkan hukuman yang sama atau bahkan lebih ringan dari seorang pelaku pencurian sandal jepit ataupun pencuri satu tandan kelapa sawit secara nyata mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa berbuat salah itu tidak harus dibayar mahal, dengan suap hukum bisa dibeli. Asalkan ada uang segala sesuatu bisa dibeli.

Bahkan di negara kita ini sepertinya Law is nothing when have to deal with money/hukum tak berarti jika ada uang. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bahwa perlu dilakukan pendidikan anti korupsi untuk membentengi generasi penerus bangsa ini dari julukan the next generation  of the envelope country yang akan mewarisi budaya korupsi dikemudian hari.

Menurut KBBI, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta : 1976). Sebenarnya perilaku korupsi sangat berkaitan dengan nilai-nilai kejujuran yang dimiliki atau dipegang teguh oleh seorang individu. Sejalan dengan pencanangan pendidikan berkarakter dalam sistem pendidikan di Indonesia dimana salah satu dari 18 karakter yang harus ditanamkan kepada para peserta didik adalah nilai kejujuran.

Maka memang menjadi sesuatu yang sangat krusial untuk menanamkan pemahaman kepada anak didik bahwa tindakan korupsi adalah sesuatu perbuatan tercela di hadapan hukum dunia terlebih lagi dihadapan Tuhan. Kejujuran adalah salah satu nilai terpenting yang harus dimiliki dan dipraktikkan oleh seluruh elemen dalam rangka mengurangi tingkat korupsi di negara kita. Jika nilai kejujuran sudah tertanam sejak dini maka diharapkan nantinya generasi penerus kita tidak akan tergiur dan ikut serta dalam tindakan korupsi.

Akan tetapi pelajaran khusus anti korusi tidak akan mampu berdampak signifikan dalam membentuk generasi yang anti korupsi. Lebih dari itu keteladanan lah yang akan berbicara banyak walau tanpa sepatah katapun. Jika data ICW menunujukkan bahwa sektor pendidikan di Indonesia masuk kedalam kategori sektor terkorup bagaimana mungkin akan mampu terwujud generasi penerus bangsa yang anti korupsi hanya dengan sebuah “modul” ataupun “mata pelajaran khusus antikorupsi”. Jikalau seorang pendidik menelantarkan anak didiknya dikelas dan tidak mengajar dengan benar, bukankah itu mengajarkan contoh kecil “korupsi” kepada para peserta didik? Seorang pendidik yang sering masuk kelas terlambat dan hanya memberikan catatan di papan tulis lalu meninggalkan anak didiknya untuk mengobrol diruang guru, bukankah itu membentuk anak jadi korup?

Tindakan korupsi sudah berakar dalam budaya bangsa kita, melekat erat dan menjadi suatu system terselubung dalam tatanan masyarakat. Untuk itu, pendidikan anti korupsi seyogyanya menjadi sesuatu yang harus sama-sama disepakati oleh seluruh elemen masyarakat. Dimulai dari keluarga berkolaborasi dengan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi serta dicontohkan secara nyata dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari saat ini. Pembuatan kotak kejujuran di kelas-kelas sebagai media bagi para peserta didik untuk berperilaku jujur dengan meletakkan setiap barang temuan yang didapatnya di lingkungan kelas pada kotak tersebut, juga dapat menjadi sarana praktik nyata dalam membentuk karakter jujur.

Para pendidik dan orang tua akan sangat menentukan keberhasilan dari upaya pendidikan anti korupsi bagi para generasi penerus bangsa ini. Sebisa mungkin seorang pendidik harus mampu menunjukkan contoh nyata perilaku yang mencerminkan tindakan antikorupsi disamping menyampaikan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi kepada peserta didik. Sehingga perilaku anti-korupsi bisa ditularkan kepada para peserta didik. Karena satu tindakan nyata akan lebih berdampak dari pada 1000 kalimat tanpa tindakan ril.

Penulis adalah anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar