Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Batam Pos, 22 Oktober 2015
Melalui UUD Negara
Republik Indonesia 1945, negara telah memberikan jaminan kesamaan hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara tanpa dibatasi oleh administrasi, teritori,
agama, suku bangsa dan budaya. Jaminan terhadap hak dan kewajiban setiap warga
negara dalam segala bidang telah diatur secara jelas dan tegas dalam
pasal-pasal dan ayat ayat yang terkandung didalam batang tubuh UUD 1945
tersebut.
Hak terhadap akses
pendidikan sebagai salah satu hak sipil warga negara diatur dalam Pasal 31 ayat
1-5 UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan dengan mengikuti program pendidkan wajib dimana negara
yang harus menyelenggarakan pelaksanaan sistem pendidikan nasional dan
pemerintah wajib membiayainya dengan memprioritas anggran pendidkan sebanyak
20% dari APBN.
Dengan demikian, secara
ideal seharusnya pendidikan bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia dari
Sabang sampai merauke dari kota hingga ke desa. Tapi kondisi dilapangan
menunjukkan fakta yang berbeda, dimana pendidikan masih menjadi barang langka dan
barang mahal yang tidak bisa dijangkau dengan mudah oleh kelompok masyarakat
tertentu. Cita-cita pendidkan yang merata dengan program wajib belajar
pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta mendidik anak bangsa agar berakhlak mulia masih jauh dari
kenyataan dilapangan.
Kelompok masyarakat yang
hidup di daerah pedesaan yang jauh dari akses informasi dan minim sentuhan
fasilitas publik menjadi kelompok yang paling rentan yang sangat mungkin
generasinya tidak bisa mencicipi pendidikan yang layak. Kelompok-kelompok
masyarakat yang demikian harus rela menerima kenyataan bahwa pendidikan adalah
hal mewah bagi anak-anak mereka.
Data yang dihimpun oleh
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)
mencatat bahwa di seluruh Indonesia 33.000 desa berada di dalam dan disekitar
kawasan hutan negara. Dengan model penguasaan kawasan hutan yang sentralistik
dan berada di bawah kendali pusat dalam hal ini adalah kementrian Kehutanan,
yang tidak membenarkan adanya pemukiman di dalam kawasan hutan negara, maka
penduduk yang berada di 33.000 desa tersebut rentan disebut sebagai penduduk ilegal.
Dengan status desa dan
kependudukan yang demikian membuat masyarakat semakin sulit mengakses hak-hak
sipil kewarganegaraanya termasuk hak memperoleh pendidikan yang layak dan
berkualitas. Dengan alasan takut melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku, negara kemudian lepas tangan dan seolah-olah tidak bertanggung jawab
terhadap persoalan pendidikan yang ada.
Keadaan semakin
dipersulit ketika negara memberikan hak penguasaan kawasan hutan di tempat
33.000 desa tersebut berada kepada investor di sektor kehutanan yang didominasi
oleh pengetahuan global yang berorientasi pada kepentingan pasar. Perkembangan
pengetahuan yang sangat cepat yang dibawa oleh pelaku usaha kehutanan
menimbulkan kegamangan yang luar biasa pada masyarakat yang tingkat
pengetahuannya sangat minim. Sulitnya mengakses berbagai informasi dan
keterbatasan pengetahuan terhadap isu-isu global semakin mengancam eksistensi
dan masa depan warga rentan yang tinggal sekitar dan didalam kawasan hutan.
Ditengah-tengah situasi
yang serba sulit dan tidak memberikan banyak pilihan, pendidikan alternatif
melalui sekolah-sekolah warga menjadi jawaban paling tepat bagi warga rentan
saat ini. Pengembangan ruang-ruang pendidikan alternatif berbasis pengetahuan
dan kearifan lokal yang berorientasi pada perkembangan pengetahuan global
menjadi pilihan utama yang mendesak harus segera dikembangkan.
Beberapa
kelompok-kelompok kritis berpayung organisasi non kepemerintahan (NGO) sudah
mulai menggagas dan mengembangkan model-model pendidikan alternatif bagi warga
rentan baik yang berada disekitar maupun di dalam kawasan hutan. Sebagai contoh,
SOKOLA telah mampu mengembangkan model pendidikan alternatif bersifat nonformal
bagi anak Rimba, beberapa NGO telah membangun taman-baca dan perpustakaan
sederhana di desa-desa dampingan, serta beberapa inisiatif-inisiatif lain yang
bertujuan memberikan layanan akses pendidikan nonformal bagi warga rentan yang
sulit mengakses pendidikan formal.
Sasaran dari model
pendidikan alternatif tidak hanya anak-anak usia sekolah. Dengan model
pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta waktu yang
dimiliki oleh warga, menjadikan model-model pendidikan alternatif lebih mudah
diterima oleh warga. Model belajar yang tidak dikerangkeng oleh kurikulum baku
sangat memungkinkan setiap peserta belajar berimajinasi, mengeksplorasi
pengetahuan dan menggali berbagai informasi secara terbuka dan lepas.
Bagi warga rentan yang
jarang sekali diperhatikan oleh program-program pemerintah, pendidikan
alternatif menjadi plihan satu-satunya dalam upaya pengembangan pengetahuan dan
proses pembelajaran secara mandiri serta menjadi salah satu jawaban atas
persoalan yang mereka hadapi setiap hari.
Jadi, dengan adanya
pendidikan alternatif ini, rakyat tidak perlu lagi menunggu pembangunan
sekolah-sekolah formal yang nyatanya hanya sebatas wacana tanpa realisasi.
Pendidikan alternatif yang tidak kaku ini, bisa menjadi jawaban kebutuhan
rakyat pada pendidikan. Hal ini juga sebagai wujud gebrakan cepat yang harus
dilakukan negara untuk mencerdaskan bangsa di daerah tertinggal.
Penulis adalah Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia dan Alumnus Universitas Negeri Medan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar