Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Sabtu 20 Juni 2015
Meninggalkan Nama dan Karya
Ada banyak artis ibukota yang meninggal. Akan tetapi kepergian mereka
meninggalkan banyak karya yang melekat di ingatan kita dan masih tetap
bisa kita nikmati. Tentu kita masih ingat Verrys Yamarno yang berperan
sebagai Mahar dalam film Laskar Pelangi. Bocah yang berperan sebagai
sosok periang dan menyukai musik dan nyanyian melalui radionya di film
Laskar Pelangi itu menghembuskan nafasnya pada bulan Januari lalu.
Meskipun masih muda, tetapi Verrys yang terakhir diketahui berstatus
mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) semester III ini, sudah
berkontribusi menghibur kita dan mensugesti kita untuk tetap periang
dan tersenyum melalui aktingnya di film itu.
Rinto Harahap, seorang musisi lawas ini meninggal dunia pada bulan
Februari lalu. Pelantun lagu populer 'Ayah' ini meninggal akibat kanker
yang diidapnya. Selain 'Ayah', ada banyak lagu-lagunya yang populer
seperti Ibu, Kuingin Cinta Yang Nyata, Hari Telah Berganti, Seindah
Rembulan, Akupun ingin Cinta, Hatiku Bernyanyi dan lain-lain. Masih di
bulan Februari, aktor senior Indonesia Alex Komang meninggal dunia.
Aktor 1980-an ini dikenal dengan berbagai perannya di beberapa film
seperti Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), Pacar Ketinggalan Kereta
(1989), Cau Bau Kan (2002), Laskar Pelangi (2008), dan Romeo Juliet
(2009). Di bulan Maret, dunia peran kembali berduka setelah berpulangnya
aktor 80-an Frans Tumbuan. Aktor yang ditengarai meninggal akibat
penyakit diabetes ini, telah lama berkarya di industri perfilman tanah
air. Beberapa filmnya yang populer yakni Jangan Ambil Nyawaku (1981),
Kadarwati (1983), Harga Sebuah Kejujuran (1988). Bukan hanya itu,
beliau juga sempat bermain bersama aktor-aktor Hollywood. Misalnya, film
Peluru & Wanita (dengan Chris North), Blood Warriors (Frank
Zagarino dan David Bradley), Bidadari Berambut Emas (Cynthia Rothrock).
Masih di bulan Maret, dunia komedi dikagetkan dengan meninggalnya
Olga Syahputra. Seniman serba bisa ini menyisakan duka mendalam bagi
masyarakat Indonesia yang sangat menyukai keceriaannya dan
kepeduliannya kepada sesama. Sosok yang menginspirasi ini juga banyak
menyabet penghargaan di beberapa Awards di Indonesia, seperti
Panasonic Gobel Awards dengan kategori presenter dan komedian
terfavorit. Di bulan April, dunia komedi masih diselimuti duka atas
meninggalnya Mpok Nori, komedian yang sudah berkiprah puluhan tahun yang
lalu. Pelawak yang kental dengan logat betawi dan suaranya yang
cempreng ini sangat berkesan bagi penikmat komedi tanah air. Meskipun
sudah sangat tua, tetapi kecintaannya untuk menghibur masyarakat melalui
komedi masih sangat kuat yang dibuktikan melalui eksistensinya di layar
televisi.
Terakhir, di bulan Mei kita dikejutkan dengan meninggalnya aktor
senior Indonesia, Didi Petet. Aktor yang sudah lama melanglang buana
di industri perfilman ini begitu sangat dikenal masyarakat lewat
aktingnya di film Catatan Si Boy. Aksi lucunya yang menghibur
masyarakat itu menjadi titik awal melambungnya karirnya di industri
perfilman. Dia juga terkenal melalui aktingnya sebagai pemeran utama
dalam film Si Kabayan. Dan masih ada beberapa pelaku seni lain yang
menghembuskan nafasnya di tahun ini.
Refleksi dan Motivasi
Kita memang tidak tahu kapan kita akan menghembuskan nafas terakhir
kita. Kita tidak tahun kapan seluruh organ tubuh ini berhenti berfungsi.
Yang bisa kita lakukan adalah berkarya, berkarya dan berkarya sebelum
waktunya tiba. Seperti para artis diatas, mereka meninggalkan banyak
karya untuk bisa dinikmati oleh kita yang masih hidup. Lalu, bagaimana
dengan kita? Sudahkah kita berkarya selama ini?
Nampaknya, kita akan menjawab belum. Di era tingginya egosentris ini,
kita enggan untuk berkarya. Kita jauh lebih banyak menggunakan waktu
kita untuk bersenang-senang, berfoya-foya, hidup berkemewahan, boros
bahkan untuk hal-hal negatif lainnya. Kita mudah berputus-asa, lelah
berjuang, pesimistis dalam hidup hingga mengesampingkan nilai-nilai
agama kita masing-masing. Kita lebih memilih menyentuh narkoba
dibandingkan mencetak prestasi di lingkungan kerja kita. Kita lebih
sering membaca majalah dewasa dibandingkan dengan buku motivasi,
disiplin ilmu, dan buku rohani.
Kita lebih sering mencoba-coba mengonsumsi miras (oplosan)
dibandingkan mengonsumsi jus buah-buahan dan sayur-mayur yang begitu
berkelimpahan di 'tanah surga' ini. Kita lebih banyak menghabiskan waktu
kita di hadapan televisi dengan segala program-progam 'rekayasa' nya
dibandingkan tontonan-tontonan yang menginspirasi dan cerita nyata.
Kita lebih sering menginjakkan kaki kita di pusat-pusat perbelanjaan
dibandingkan di rumah ibadah, toko buku dan berkumpul bersama keluarga
di rumah. Kita lebih sering menghabiskan waktu untuk mengkritisi
(menggosip) kehidupan orang lain dibandingkan menciptakan suasana
kekeluargaan dan kerjasama untuk berkarya di lingkungan kita. Kita masih
lebih memilih 'belajar korup' di lingkungan jabatan kita daripada harus
blusukan ke desa-desa untuk menyaksikan segala himpitan ekonomi dan
penderitaan lainnya yang dialami warga yang kita pimpin. Itukah tujuan
hidup kita? itukah yang kita inginkan? Harusnya tidak.
Jadi, sudah saatnya kita move on dari segala kemalasan dan
keterpurukan. Dunia ke depan akan jauh lebih berbahaya dan menggerus
kita jika kita tidak siap untuk bekerja dan berkarya. Kita tidak perlu
menjadi seniman atau selebriti untuk bisa berkarya dan dikenal orang.
Kita bisa berkarya mulai dari hal-hal kecil di lingkungan kita sendiri.
Contohnya, kedisiplinan kita di kantor bisa menjadi nilai khusus kita
dibanding dengan rekan kerja lainnya. Setelah itu, kita bisa menyokong
rekan lainnya untuk berlaku disiplin juga.
Kemudian, mengisi waktu kosong dengan berkarya seperti belajar
menulis baik opini, cerpen, puisi dan artikel lain di media cetak. Atau
kita juga bisa mengasah bakat menulis kita dengan menciptakan cerita
hidup yang nantinya bisa dijadikan novel hingga bisa dinikmati orang
lainnya. Di sekolah maupun kampus juga demikian, jangan jadi siswa dan
mahasiswa yang pasif, melainkan aktif baik di kelas, ekstrakurikuler dan
organisasi luar sekolah atau kampus. Mari segera bangkit dan
meninggalkan karya dan nama sepanjang hidup kita sebelum sang Khalik
memanggil kita kembali kepadaNya. ***
(Penulis Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya, Staf Pengajar di Quantum College Medan)