Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Kompas Zona Sumbagut (Pemenang Lomba Artikel) 2014
Gencarnya hujan yang akhir-akhir
ini menimpa hampir seluruh daerah di Indonesia menyebabkan banjir yang tak kunjung
teratasi semenjak.. Bukan seutuhnya andil hujan, tetapi juga karena bentuk
balas dendam si Sampah akibat dari ketidakpedulian manusia.
Seiring
berjalannya zaman post-modernisme saat ini, semakin berkembang pula lah semua
sektor kehidupan manusia, industri khususnya. Tidak bisa dipungkiri, memang
dengan bertambahnya penduduk dunia yang saat ini mencapai 7,2 milyar (Sumber: Data Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat 2012 dimuat di Harian Kompas
News 15/6/2013), 259 juta jiwa atau sekitar 3,6%
diantaranya disumbang oleh Indonesia (Sumber:
Data Kemedagri 2010 dimuat di Harian Kompas News 19/9/2011). Jumlah itu
pastinya menuntut negara ini harus memasok bahan sandang, pangan dan papan yang
sangat besar hingga pada akhirnya Indonesia harus melakukan hal berikut, 1) Industri
besar harus memproduksi kuantitas produk lebih banyak, 2) Menyulap Industri
kecil menjadi industri besar, dan 3) Membentuk industri-industri baru.
Industri-industri
di atas pun dengan mudahnya menyulap bahan-bahan organik yang dihasilkan alam
ini menjadi bahan anorganik yang tentunya tidak ramah lingkungan, lebih tepat
kita sebut sampah. Bisa dibayangkan
jika sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan empat orang anaknya
mengkonsumsi masing-masing minimal 2 kemasan makanan industri setiap harinya,
artinya keluarga itu menghasilkan 12 sampah setiap harinya dan mereka membuangnya
dengan sembarangan. Lalu jika tiap individu dari total populasi Indonesia
menyumbangkan jumlah sampah yang sama, apa yang akan terjadi? Bukankah
Indonesia menjadi gudang sampah? Pastinya. Masih dari sektor Pangan, belum lagi
sandang dan papan.
Tingkat
kesadaran masyarakat indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan masih
sangat rendah. Masih saja banyak masyarakat yang tinggal di desa dan kota mulai
dari yang pendidikan rendah bahkan sampai pada orang-orang yang sudah mengecap
pendidikan tinggi: siswa, mahasiswa bahkan ada juga tenaga pendidik. Adapun
keranjang sampah yang tersedia pada akhirnya menganggur oleh karena kedegilan
masyarakat. Konyolnya, ada juga keluarga yang marah jika seseorang membuang
sampah tepat di pekarangan rumahnya, padahal mereka pun mengidap penyakit yang
sama yaitu membuang sampah sembarang tempat.
Saat musim
kering, memang sampah-sampah itu fakum akan kinerjanya, tapi jika musim hujan
tiba, jangan ditanya, desa dan kota dalam sekejab berubah menjadi lautan, pohon
tumbang, rumah dan isinya rusak, air bersih langka, dan penyakit menyerang.
Jadi, tidak perlu heran jika banjir Jakarta, Jawa Tengah dan Timur, Langkat
Sumut, dan wilayah lainnya terjadi secara berkelanjutan sebab ketidaksadaran
masyarakat akan kebersihan lingkungan pun juga berkelanjutan. Akibatnya, sampah
pun menyatakan kekecewaannya dengan mendukung si banjir terjadi. Jadi tidak
salah jika si sampah balas dendam toh?
Tidak perlu
heran juga jika di sepanjang tahun-tahun milenium ini banyak kita dapati
seminar dan penyuluhan-penyuluhan bertemakan “Go Green”, “Peduli Lingkungan”, ‘Selamatkan Bumi Pertiwi”, yah itu
usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah sadar akan
pentingnya menjaga alam ini.Mereka sadar bahwa alam ini warisan yang harus
diwariskan kembali kepada anak cucu mereka demi keberlangsungan hidup mereka.
Namun, seberapa banyak pun kegiatan-kegiatan tersebut diadakan, jika tidak ada
kesadaran dari masyarakat itu sendiri dan tidak mau memulai dari diri sendiri,
sama saja hasilnya nihil.
Alangkah lebih
baik jika kita memulai gaya hidup yang mencintai lingkungan dengan hal-hal
sederhana ini: 1) Mengarahkan pikiran bahwa alam ini bukan hak pribadi tetapi universal,
2) Mengkonsumsi makanan (ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain) yang masih
bisa diproduksi alam ini secara natural. Jika pun makanan kemasan pada akhirnya
harus kita konsumsi akibat susahnya mencari makanan yang diproduksi alam ini,
mari lebih memilah sampah organik dan anorganik dan membuangnya ke tempat yang
seharusnya, kalau boleh buat sendiri tempat sampah untuk masing-masing jenis
sampah itu, jika mau lebih kreatif belajarlah banyak tentang recycling sampah 3) Mari mengajak
anggota keluarga dan masyarakat supaya bersama-sama melakukan hal yang sama
secara berkelanjutan. Yakinlah, dengan mengerjakannya dengan hati, si Sampah
tidak akan pernah lagi menyatakan balas dendam dan amarahnya dengan mendukung
banjir menimpa alam ini. Tidak mudah memang untuk mengerjakannya, namun selagi
berusaha dan konsisten, pasti akan baik untuk kehidupan kita dan generasi kita kelak.
Mungkin tidak akan ber-impact besar
untuk jangka pendek, namun bisa bermanfaat luar biasa untuk jangka panjang.
(Penulis adalah Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar