Jumat, 12 Juni 2015

Sampah Pun Jadi Bersahabat



Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Kompas Zona Sumbagut (Pemenang Lomba Artikel) 2014

Gencarnya hujan yang akhir-akhir ini menimpa hampir seluruh daerah di Indonesia menyebabkan banjir yang tak kunjung teratasi semenjak.. Bukan seutuhnya andil hujan, tetapi juga karena bentuk balas dendam si Sampah akibat dari ketidakpedulian manusia.

Seiring berjalannya zaman post-modernisme saat ini, semakin berkembang pula lah semua sektor kehidupan manusia, industri khususnya. Tidak bisa dipungkiri, memang dengan bertambahnya penduduk dunia yang saat ini mencapai 7,2 milyar (Sumber: Data Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat 2012 dimuat di Harian Kompas News 15/6/2013), 259 juta jiwa atau sekitar 3,6% diantaranya disumbang oleh Indonesia (Sumber: Data Kemedagri 2010 dimuat di Harian Kompas News 19/9/2011). Jumlah itu pastinya menuntut negara ini harus memasok bahan sandang, pangan dan papan yang sangat besar hingga pada akhirnya Indonesia harus melakukan hal berikut, 1) Industri besar harus memproduksi kuantitas produk lebih banyak, 2) Menyulap Industri kecil menjadi industri besar, dan 3) Membentuk industri-industri baru.

Industri-industri di atas pun dengan mudahnya menyulap bahan-bahan organik yang dihasilkan alam ini menjadi bahan anorganik yang tentunya tidak ramah lingkungan, lebih tepat kita sebut sampah. Bisa dibayangkan jika sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan empat orang anaknya mengkonsumsi masing-masing minimal 2 kemasan makanan industri setiap harinya, artinya keluarga itu menghasilkan 12 sampah setiap harinya dan mereka membuangnya dengan sembarangan. Lalu jika tiap individu dari total populasi Indonesia menyumbangkan jumlah sampah yang sama, apa yang akan terjadi? Bukankah Indonesia menjadi gudang sampah? Pastinya. Masih dari sektor Pangan, belum lagi sandang dan papan.

Tingkat kesadaran masyarakat indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan masih sangat rendah. Masih saja banyak masyarakat yang tinggal di desa dan kota mulai dari yang pendidikan rendah bahkan sampai pada orang-orang yang sudah mengecap pendidikan tinggi: siswa, mahasiswa bahkan ada juga tenaga pendidik. Adapun keranjang sampah yang tersedia pada akhirnya menganggur oleh karena kedegilan masyarakat. Konyolnya, ada juga keluarga yang marah jika seseorang membuang sampah tepat di pekarangan rumahnya, padahal mereka pun mengidap penyakit yang sama yaitu membuang sampah sembarang tempat. 

Saat musim kering, memang sampah-sampah itu fakum akan kinerjanya, tapi jika musim hujan tiba, jangan ditanya, desa dan kota dalam sekejab berubah menjadi lautan, pohon tumbang, rumah dan isinya rusak, air bersih langka, dan penyakit menyerang. Jadi, tidak perlu heran jika banjir Jakarta, Jawa Tengah dan Timur, Langkat Sumut, dan wilayah lainnya terjadi secara berkelanjutan sebab ketidaksadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan pun juga berkelanjutan. Akibatnya, sampah pun menyatakan kekecewaannya dengan mendukung si banjir terjadi. Jadi tidak salah jika si sampah balas dendam toh?

Tidak perlu heran juga jika di sepanjang tahun-tahun milenium ini banyak kita dapati seminar dan penyuluhan-penyuluhan bertemakan “Go Green”, “Peduli Lingkungan”, ‘Selamatkan Bumi Pertiwi”, yah itu usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah sadar akan pentingnya menjaga alam ini.Mereka sadar bahwa alam ini warisan yang harus diwariskan kembali kepada anak cucu mereka demi keberlangsungan hidup mereka. Namun, seberapa banyak pun kegiatan-kegiatan tersebut diadakan, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri dan tidak mau memulai dari diri sendiri, sama saja hasilnya nihil.

Alangkah lebih baik jika kita memulai gaya hidup yang mencintai lingkungan dengan hal-hal sederhana ini: 1) Mengarahkan pikiran bahwa alam ini bukan hak pribadi tetapi universal, 2) Mengkonsumsi makanan (ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain) yang masih bisa diproduksi alam ini secara natural. Jika pun makanan kemasan pada akhirnya harus kita konsumsi akibat susahnya mencari makanan yang diproduksi alam ini, mari lebih memilah sampah organik dan anorganik dan membuangnya ke tempat yang seharusnya, kalau boleh buat sendiri tempat sampah untuk masing-masing jenis sampah itu, jika mau lebih kreatif belajarlah banyak tentang recycling sampah 3) Mari mengajak anggota keluarga dan masyarakat supaya bersama-sama melakukan hal yang sama secara berkelanjutan. Yakinlah, dengan mengerjakannya dengan hati, si Sampah tidak akan pernah lagi menyatakan balas dendam dan amarahnya dengan mendukung banjir menimpa alam ini. Tidak mudah memang untuk mengerjakannya, namun selagi berusaha dan konsisten, pasti akan baik untuk kehidupan kita dan generasi kita kelak. Mungkin tidak akan ber-impact besar untuk jangka pendek, namun bisa bermanfaat luar biasa untuk jangka panjang.

(Penulis adalah Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia. Alumnus Universitas Negeri Medan) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar