Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Waspada Online (WoL), Jumat 12 Juni 2015
Dalam kunjungannya ke Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu, Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnaen menyebutkan bahwa
tiap tahunnya terjadi peningkatan laporan kasus korupsi ke KPK. Secara nasional, pada tahun 2012 ada 6.000 kasus lebih, di tahun 2013
ada 7.000 kasus lebih, dan di tahun 2014 ada 8.000 kasus lebih. Beliau juga menyebutkan dari jumlah kasus tersebut, Provinsi
Sumatera Utara merupakan provinsi dengan laporan kasus korupsi terbesar
di Indonesia. Ini dibuktikan sejak 2009 hingga 2015 terdapat 4.000 lebih
dugaan korupsi yang dilaporkan kepada KPK. Kota Medan merupakan daerah
penyumbang dugaan korupsi terbanyak. Ini membuat citra kota terbesar
keempat di Indonesia ini menjadi sangat buruk.
KPK menyebutkan bahwa rata-rata kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK
terkait dengan penggunaan dana APBN dan APBD. Wajar saja, Sumatera Utara
merupakan provinsi yang kaya. Banyak sumber dana yang masuk ke kas APBD
Sumut mulai dari sektor industri, pajak, pertanian, pariwisata,
perhotelan dan lain sebagainya. Itulah yang menyebabkan banyak pejabat
daerah di Sumatera Utara ini terjerumus dalam kasus korupsi dengan
nominal yang tak tanggung-tanggung hingga mencapai miliaran rupiah.
Ada beberapa pejabat atau kepala daerah di sumatera utara yang
terjerat dugaan kasus korupsi bahkan diantaranya sudah divonis pidana
dan sudah masuk bui. Tentu kita masih ingat dengan mantan Gubernur
Sumatera Utara Syamsul Arifin yang baru hitungan bulan menjabat langsung
diusung ke pengadilan atas dugaan korupsi APBD Kabupaten Langkat tahun
2000-2007. Di tahun 2012 beliau divonis 6 tahun penjara. Berikutnya mantan Wali
Kota Medan Rahudman. Beliau juga baru memimpin Kota Medan dalam hitungan
bulan, langsung menjadi tersangka atas dugaan korupsi saat masih
menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan 2005 lalu.
Baru-baru ini juga, Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang ditangkap
KPK atas dugaan suap kepada Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada
Tapanuli Tengah.
Merusak Citra
Bukan kebanggaan yang ada diraut wajah masyarakat yang sudah memilih
para kepala daerah tersebut pada Pemilu sebelumnya, melainkan
kekecewaan. Sosok yang dipercaya bisa membangun daerah menjadi lebih
maju malah harus hidup dibui. Mereka yang harusnya bisa mengentaskan
kemiskinan yang mencekik warga malah mempermalukan daerah dengan kasus
korupsi yang dilakukannya. Mereka yang harusnya memberikan membantu dan memberikan dana kepada
masyarakat demi kesejahteraan malah mencuri uang tersebut hingga
memperparah kemelaratan. Mereka yang harusnya bisa menunjukkan
keramahan, keberagaman, kekayaan, dan kedamaian kepada daerah lain malah
harus menyudutkan daerahnya sendiri di hadapan daerah lainnya.
Memalukan dan merusak citra baik daerah, ya itulah balasan para pejabat
yang berpendidikan tinggi kepada masyarakat yang telah memilih mereka.
Itu masih tiga kasus pejabat, masih ada ribuan dugaan korupsi lainnya.
Kita tunggu saja siapa lagi yang akan terjerat kasus dugaan korupsi.
Yang pasti, para pejabat itu melanggar etika kepemimpinan. Mereka
juga melanggar landasan negara kita UUD 1945 dan Pancasila dimana mereka
seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat dan juga menjunjung tinggi
keadilan bagi setiap orang. Sayangnya, apa yang mereka kerjakan malah
kontradiktif dengan apa yang harusnya mereka realisasikan melalui
program-programnya. Selain itu, tingkah laku para pejabat kita banyak
yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dalam agama yang dianutnya.
Seperti yang kita ketahui, Sumatera Utara dikenal sebagai provinsi
dengan beragam agama, suku dan budaya tetapi mencintai perdamaian.
Bahkan Sumatera Utara dijadikan pemerintah menjadi provinsi percontohan
di Indonesia atas kerukunan hidup berdampingan di tengah beragam agama. Lalu, dimana letak nilai-nilai agama para pejabat kita? Adakah agama
mengajarkan korupsi? Adakah agama yang memperbolehkan pejabat membiarkan
rakyatnya menderita? Adakah agama yang mengarahkan pejabat melalaikan
tugas hingga program-programnya tidak terealisasi? Yang pasti jawabannya
tidak ada. Pejabat kita perlu memperdalam agama. Pejabat kita perlu
sentuhan rohani yang bisa membatasi tingkah laku buruk mereka. Supaya
pada akhirnya, agama tidak hanya sebatas simbolitas melainkan sebagai
gaya hidup dan panduan mereka dalam mengemudi masyarakatnya kepada
kesejahteraan. Dengan kuatnya nilai agama, tentu tidak akan ada lagi
pejabat yang melalaikan tugasnya. Tidak akan ada lagi pejabat yang
merampas hak masyarakatnya. Dan tidak ada lagi pejabat dengan tega
membiarkan warganya hidup dalam kemelaratan.
Kita berharap, semoga ke depan tidak akan ada lagi pejabat kita yang
terjerat kasus korupsi. Dan kita juga berharap, semoga pada Pilkada
serentak bulan Desember depan kita mendapat calon-calon kepala daerah
yang bersih dari kasus korupsi mampu membawa Sumatera Utara menjadi
lebih maju. Harapannya, Sumatera utara tidak lagi menjadi provinsi
terkorup di Indonesia dan bisa menjadi contoh bagi daerah lainya.
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik. Staf Pengajar di Quantum College Medan. Anggota Initiative of Change (IofC) Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar