Sabtu, 20 Juni 2015

Belajar dari Fenomena Artis Meninggal


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Sabtu 20 Juni 2015

Sejak awal hingga pertengahan tahun 2015 ini, dunia hiburan tanah air seakan tidak ada henti-hentinya dirundung duka. Pasal­nya, berbagai pelaku seni ibukota menghem­buskan nafasnya di tahun ini. Berbagai media baik cetak maupun elektronik berkontribusi untuk mengabarkannya ke masyara­kat. Berbagai respon duka dihaturkan masyarakat yang se­yogianya adalah para fans dari artis-artis yang meninggal tersebut.

Meninggalkan Nama dan Karya

Ada banyak artis ibukota yang meninggal. Akan tetapi kepergian mereka meninggalkan banyak karya yang melekat di ingatan kita dan masih tetap bisa kita nikmati. Tentu kita masih ingat Verrys Yamarno yang berperan sebagai Mahar dalam film Laskar Pelangi. Bocah yang berperan sebagai sosok periang dan menyukai musik dan nyanyian melalui radionya di film Laskar Pelangi itu meng­hem­buskan nafasnya pada bulan Januari lalu. Meskipun masih muda, tetapi Verrys yang terakhir diketahui berstatus mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) semester III ini, sudah berkontribusi menghi­bur kita dan mensugesti kita untuk tetap periang dan tersenyum melalui aktingnya di film itu.

Rinto Harahap, seorang musisi lawas ini meninggal dunia pada bulan Februari lalu. Pelantun lagu populer 'Ayah' ini meninggal akibat kanker yang diidap­nya. Selain 'Ayah', ada banyak lagu-lagunya yang populer seperti Ibu, Kuingin Cinta Yang Nyata, Hari Telah Berganti, Seindah Rembulan, Akupun ingin Cinta, Hatiku Bernyanyi dan lain-lain. Masih di bulan Februari, aktor senior Indonesia Alex Komang meninggal dunia. Aktor 1980-an ini dikenal dengan berbagai perannya di beberapa film seperti Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), Pacar Ketinggalan Kereta (1989), Cau Bau Kan (2002), Laskar Pelangi (2008), dan Romeo Juliet (2009). Di bulan Maret, dunia peran kembali berduka setelah berpulangnya aktor 80-an Frans Tumbuan. Aktor yang ditenga­rai meninggal akibat penyakit diabetes ini, telah lama berkarya di industri perfilman tanah air. Beberapa filmnya yang populer yakni Jangan Ambil Nyawaku (1981), Kadarwati (1983), Har­ga Sebuah Kejujuran (1988). Bukan hanya itu, beliau juga sempat bermain bersama aktor-aktor Hollywood. Misalnya, film Peluru & Wanita (dengan Chris North), Blood Warriors (Frank Zagarino dan David Bradley), Bidadari Berambut Emas (Cynthia Rothrock).

Masih di bulan Maret, dunia komedi dikagetkan dengan meninggalnya Olga Syahputra. Seniman serba bisa ini menyisa­kan duka mendalam bagi masyarakat In­donesia yang sangat menyukai keceriaannya dan kepedulian­nya kepada sesama. Sosok yang menginspirasi ini juga banyak menya­bet penghargaan di beberapa Awards di Indonesia, se­perti Panasonic Gobel Awards dengan kategori presenter dan komedian terfavorit. Di bulan April, dunia komedi masih diselimuti duka atas meninggalnya Mpok Nori, komedian yang sudah berkiprah puluhan tahun yang lalu. Pelawak yang kental dengan logat betawi dan suaranya yang cempreng ini sangat berkesan bagi penikmat komedi tanah air. Meskipun sudah sangat tua, tetapi kecintaannya untuk menghibur masyarakat melalui komedi masih sangat kuat yang dibuktikan melalui eksistensinya di layar televisi.

Terakhir, di bulan Mei kita dike­jutkan dengan meninggal­nya aktor senior Indone­sia, Didi Petet. Aktor yang sudah lama me­lang­lang buana di industri perfilman ini begitu sangat dikenal masyarakat lewat aktingnya di film Catatan Si Boy. Aksi lucu­nya yang menghibur masyarakat itu menjadi titik awal melambungnya karirnya di industri per­filman. Dia juga terkenal melalui akting­nya sebagai pemeran utama dalam film Si Kabayan. Dan masih ada beberapa pelaku seni lain yang menghembuskan nafasnya di tahun ini.

Refleksi dan Motivasi

Kita memang tidak tahu kapan kita akan menghembuskan nafas terakhir kita. Kita tidak tahun kapan seluruh organ tubuh ini berhenti berfungsi. Yang bisa kita lakukan adalah berkarya, berkarya dan berkarya sebelum waktunya tiba. Seperti para artis diatas, mereka meninggalkan banyak karya untuk bisa dinikmati oleh kita yang masih hidup. Lalu, bagaimana dengan kita? Sudah­kah kita berkarya selama ini?

Nampaknya, kita akan menjawab belum. Di era tingginya egosentris ini, kita enggan untuk berkarya. Kita jauh lebih banyak meng­gunakan waktu kita untuk bersenang-senang, berfoya-foya, hidup berkemewahan, boros bahkan untuk hal-hal negatif lainnya. Kita mudah berputus-asa, lelah berjuang, pesimistis dalam hidup hingga mengesam­pingkan nilai-nilai agama kita masing-masing. Kita lebih memilih menyentuh nar­koba dibandingkan mencetak prestasi di lingkungan kerja kita. Kita lebih sering membaca majalah dewasa dibandingkan dengan buku motivasi, disiplin ilmu, dan buku rohani.

Kita lebih sering mencoba-coba mengon­sumsi miras (oplosan) dibandingkan me­ngon­sumsi jus buah-buahan dan sayur-mayur yang begitu berkelimpahan di 'tanah surga' ini. Kita lebih banyak menghabiskan waktu kita di hadapan televisi dengan segala program-progam 'rekayasa' nya dibanding­kan tontonan-tontonan yang menginspirasi dan cerita nyata. Kita lebih sering mengin­jakkan kaki kita di pusat-pusat perbelanja­an diban­dingkan di rumah ibadah, toko buku dan berkumpul bersama keluarga di rumah. Kita lebih sering menghabiskan waktu untuk mengkritisi (menggosip) kehidupan orang lain diban­dingkan menciptakan suasana kekeluargaan dan kerjasama untuk berkarya di lingkungan kita. Kita masih lebih memilih 'belajar korup' di lingkungan jabatan kita daripada harus blusukan ke desa-desa untuk menyaksikan segala himpitan eko­no­mi dan penderitaan lainnya yang dialami warga yang kita pimpin. Itukah tujuan hidup kita? itukah yang kita inginkan? Harusnya tidak.

Jadi, sudah saatnya kita move on dari segala kemalasan dan keterpurukan. Dunia ke depan akan jauh lebih berbahaya dan menggerus kita jika kita tidak siap untuk bekerja dan berkarya. Kita tidak perlu menjadi seniman atau selebriti untuk bisa berkarya dan dikenal orang. Kita bisa berkarya mulai dari hal-hal kecil di lingku­ngan kita sendiri. Contohnya, kedisiplinan kita di kantor bisa menjadi nilai khusus kita dibanding dengan rekan kerja lainnya. Setelah itu, kita bisa menyokong rekan lainnya untuk berlaku disiplin juga.
Kemudian, mengisi waktu kosong dengan berkarya seperti belajar menulis baik opini, cerpen, puisi dan artikel lain di media cetak. Atau kita juga bisa mengasah bakat menulis kita dengan menciptakan cerita hidup yang nantinya bisa dijadikan novel hingga bisa dinikmati orang lainnya. Di sekolah maupun kampus juga demikian, jangan jadi siswa dan mahasiswa yang pasif, melainkan aktif baik di kelas, ekstrakurikuler dan organisasi luar sekolah atau kampus. Mari segera bangkit dan meninggalkan karya dan nama sepanjang hidup kita sebelum sang Khalik memanggil kita kembali kepadaNya. ***

(Penulis Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya, Staf Pengajar di Quantum College Medan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar