Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd
Terbit: Harian Medan Bisnis Daily, Senin, 25 Mei 2015
Menjelang Ramadhan 2015 pemerintah dan masyarakat Indonesia kembali
diresahkan dengan kabar beredarnya beras plastik. Sebenarnya kabar
peredaran beras sintetis itu sudah muncul tahun 2008, bahkan di tahun
2011 sempat hangat diperbincangkan. Namun, saat itu pemerintah dan
masyarakat tidak menggubris kabar itu. Baru tahun ini pemerintah
merespon dan tanggap.
Beberapa waktu lalu peredaran beras plastik ditemukan
Dewi Nurizza Septiani (29), seorang penjual bubur ayam dan nasi uduk di
Mustika Jaya, Bekasi. Kemudian dia mem-posting temuan itu di Facebook
sehingga ahirnya semakin diketahui banyak orang, sampai kepada
pemerintah dan kepolisian.
Setelah itu, pemerintah melalui PT
Sucofindo membawa sampel beras plastik tersebut untuk diuji di
laboratorium. Mereka melaporkan beras plastik tersebut mengandung
senyawa plasticizer yang terbagi tiga bahan kimia yakni benzyl butyl
phthalate (BBP), bis (2-ethylhexyl) phthalate atau DEHP dan diisononyl
phthalate (DIN). Senyawa ini sangat berbahaya jika dikonsumsi karena
biasanya digunakan untuk melenturkan kabel atau pipa plastik. Jadi, jika
rutin dikonsumsi akan menyebabkan kanker yang berujung kematian.
Senyawa ini sudah dicoba kepada tikus, akibatnya tikus tersebut beberapa
waktu kemudian mati.
Di Eropa, penggunaan senyawa plazticizer sangat dilarang karena di sana senyawa ini digunakan sebagai salah satu komponen untuk membuat mainan anak-anak. Meskipun kandungan proteinnya tinggi yakni sekitar 7,38 persen, namun beras ini sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Masyarakat pun semakin takut untuk membeli beras. Karena itu sebelum membeli beras kita perlu mengetahui perbedaan beras asli dan beras plastik. Pertama, jika dilihat sekilas seakan tidak ada perbedaan namun bentuk beras asli memiliki guratan dari bekas sekam padi, sementara pada bulir beras plastik tidak ada guratan. Kedua, pada ujung-ujung bulir beras asli terdapat warna putih yang merupakan zat kapur mengandung karbohidrat, sementara pada beras plastik tidak ada warna putih pada ujung-ujung bulirnya. Ketiga, jika beras asli direndam di dalam air maka air akan berwarna putih dan beras akan lembek menjadi bubur, sedangkan jika beras plastik direndam hasilnya tidak akan menyatu dan airnya tidak akan berubah menjadi putih karena di ujung-ujung bulirnya tidak ada warna putih zat kapur. Keempat, beras asli bentuk bulirnya sedikit menggembung dan jika dipatahkan hanya terbelah menajadi dua, sementara beras palsu ditaruh di atas kertas akan terlihat tidak natural, berbentuk lengkung dan tidak ada patahan.
Namun, belum tentu seluruh lapisan masyarakat menyadari dan mengerti hal ini. Belum tentu juga masyarakat tahu bahaya ketiga zat itu kepada kesehatan manusia. Sebelum beras sintetis ini semakin beredar luas di masyarakat, pemerintah harus segera bertindak. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan, BPOM dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus ini. Bangga dengan Kementerian Perdagangan yang dipimpin Rachmat Gobel karena telah tanggap terhadap kabar beredarnya beras plastik ini dan sudah bekerja sama dengan Badan Inteligen Negara (BIN) serta Kepolisian RI untuk menginvestigasi siapa yang memproduksi, memperdagangkan beras ini dan sudah sejauh mana peredarannya.
Namun, itu saja belum cukup. Pemerintah jangan hanya muncul ketika satu isu baru memanas di telinga masyarakat tetapi harus melakukan check & recheck secara rutin terhadap setiap barang-barang beredar di Negara Indonesia baik impor maupun buatan dalam negeri, apakah aman dan layak untuk dikonsumsi masyarakat atau tidak, legal atau ilegal dan ada surat izin edar atau tidak. Kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus benar-benar rutin memeriksa dan menguji kandungan zat di dalam bahan-bahan pokok yang beredar di Indonesia dan sebaiknya pemeriksaan tidak hanya dilakukan saat menyambut hari besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, tetapi terus-menerus.
Kepolisian RI juga harus segera menuntaskan kasus ini, menangkap pelaku dan menjeratnya dengan sanksi hukum sesuai kejahatan yang dilakukannya. Jika beras plastik ini hasil impor berarti para importir dan agen yang memperdagangkannya harus diberi sanksi sesuai UU Nomor 10 Tahun 1990 tentang Kepabeanan dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Terakhir, kita sebagai masyarakat dan pengonsumsi bahan pokok, perlu lebih teliti, kritis dan peduli saat menemukan produk kadaluarsa yang masih diperjualbelikan, produk ilegal yang tidak jelas asal muasalnya dan produk palsu, kemudian melaporkan ke pihak berwenang. Dengan begitu, kita sudah turut serta menyelamatkan negara dari kerugian material dan menyelamatkan nyawa masyarakat dari ancaman kematian akibat peredaran beras plastik tersebut.
Di Eropa, penggunaan senyawa plazticizer sangat dilarang karena di sana senyawa ini digunakan sebagai salah satu komponen untuk membuat mainan anak-anak. Meskipun kandungan proteinnya tinggi yakni sekitar 7,38 persen, namun beras ini sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Masyarakat pun semakin takut untuk membeli beras. Karena itu sebelum membeli beras kita perlu mengetahui perbedaan beras asli dan beras plastik. Pertama, jika dilihat sekilas seakan tidak ada perbedaan namun bentuk beras asli memiliki guratan dari bekas sekam padi, sementara pada bulir beras plastik tidak ada guratan. Kedua, pada ujung-ujung bulir beras asli terdapat warna putih yang merupakan zat kapur mengandung karbohidrat, sementara pada beras plastik tidak ada warna putih pada ujung-ujung bulirnya. Ketiga, jika beras asli direndam di dalam air maka air akan berwarna putih dan beras akan lembek menjadi bubur, sedangkan jika beras plastik direndam hasilnya tidak akan menyatu dan airnya tidak akan berubah menjadi putih karena di ujung-ujung bulirnya tidak ada warna putih zat kapur. Keempat, beras asli bentuk bulirnya sedikit menggembung dan jika dipatahkan hanya terbelah menajadi dua, sementara beras palsu ditaruh di atas kertas akan terlihat tidak natural, berbentuk lengkung dan tidak ada patahan.
Namun, belum tentu seluruh lapisan masyarakat menyadari dan mengerti hal ini. Belum tentu juga masyarakat tahu bahaya ketiga zat itu kepada kesehatan manusia. Sebelum beras sintetis ini semakin beredar luas di masyarakat, pemerintah harus segera bertindak. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan, BPOM dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus ini. Bangga dengan Kementerian Perdagangan yang dipimpin Rachmat Gobel karena telah tanggap terhadap kabar beredarnya beras plastik ini dan sudah bekerja sama dengan Badan Inteligen Negara (BIN) serta Kepolisian RI untuk menginvestigasi siapa yang memproduksi, memperdagangkan beras ini dan sudah sejauh mana peredarannya.
Namun, itu saja belum cukup. Pemerintah jangan hanya muncul ketika satu isu baru memanas di telinga masyarakat tetapi harus melakukan check & recheck secara rutin terhadap setiap barang-barang beredar di Negara Indonesia baik impor maupun buatan dalam negeri, apakah aman dan layak untuk dikonsumsi masyarakat atau tidak, legal atau ilegal dan ada surat izin edar atau tidak. Kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus benar-benar rutin memeriksa dan menguji kandungan zat di dalam bahan-bahan pokok yang beredar di Indonesia dan sebaiknya pemeriksaan tidak hanya dilakukan saat menyambut hari besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, tetapi terus-menerus.
Kepolisian RI juga harus segera menuntaskan kasus ini, menangkap pelaku dan menjeratnya dengan sanksi hukum sesuai kejahatan yang dilakukannya. Jika beras plastik ini hasil impor berarti para importir dan agen yang memperdagangkannya harus diberi sanksi sesuai UU Nomor 10 Tahun 1990 tentang Kepabeanan dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Terakhir, kita sebagai masyarakat dan pengonsumsi bahan pokok, perlu lebih teliti, kritis dan peduli saat menemukan produk kadaluarsa yang masih diperjualbelikan, produk ilegal yang tidak jelas asal muasalnya dan produk palsu, kemudian melaporkan ke pihak berwenang. Dengan begitu, kita sudah turut serta menyelamatkan negara dari kerugian material dan menyelamatkan nyawa masyarakat dari ancaman kematian akibat peredaran beras plastik tersebut.
(Penulis pemerhati masalah sosial, pendidikan, ekonomi dan lingkungan.
Alumnus Universitas Negeri Medan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar