Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd.
Terbit: Harian Analisa, Rabu, 8 April 2015
Semasa kampanyenya, Jokowi beserta wakilnya Jusuf Kalla begitu
optimistis menyuarakan janji-janjinya kepada masyarakat Indonesia
melalui debat Capres-Cawapres tahun lalu. Kini, di usia pemerintahannya
yang berumur kurang lebih enam bulan, masyarakat Indonesia mulai
mempertanyakan realisasi janji-janjinya. Hal ini muncul terkait dengan
ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi kisruh yang terjadi di tubuh
dua lembaga hukum besar RI yakni KPK dan Polri yang terjadi akhir-akhir
ini.
Setidaknya ada dua realisasi dari sembilan janji program utama jika
Jokowi-JK yang perlu dipertanyakan setelah melihat langkah pemerintah
yang tidak sigap dalam menangani kisruh KPK-Polri. Kedua janji tersebut
yaitu butir kedua dan keempat. Di dalam janjinya di butir kedua, mereka
berjanji akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata
kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
Sementara itu di dalam butir keempat, mereka berjanji akan menolak
negara lemah dengan melakukan reformasi sistem penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
Realisasi kedua janji itu semakin dipertanyakan apalagi saat
pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna
Hamonangan Laoly tiba-tiba mengumumkan untuk meninjau kembali peraturan
pemerintah no 99 tahun 2012 yang berisi tentang pengetatan pemberian
remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana kejahatan luar biasa
seperti terorisme, narkoba dan korupsi.
Kesekian Kalinya
Konflik di tubuh KPK dan Polri dimana ketika itu KPK menetapkan
Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi pada 13 Januari lalu
merupakan konflik kesekian kalinya. Sebelumnya, konflik serupa juga
pernah terjadi pada tahun 2009 dimana dua pimpinan KPK saat itu yakni
Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan menjadi tersangka.
Sempat terjadi ketegangan ketika KPK menetapkan Jenderal Djoko Susilo
yaitu mantan kepala Korps Lalu Lintas Inspektur sebagai tersangka kasus
korupsi dalam pengadaan simulator berkendara. Akan tetapi, baru pada
konflik kali ini KPK terpaksa melakukan penyidikan korupsi Budi Gunawan
ke Kejaksaan Agung. Sebagai gantinya, polisi menghentikan sementara
pengusutan kasus dua unsur pimpinan KPK nonaktif yakni Abraham Samad
dan Bambang Widjojanto serta tidak meneruskan laporan pengaduan
terhadap komisioner KPK lainnya.
Ironisnya, barter kasus justru terjadi di era pemerintahan yang janji
kampanyenya membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata
kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Sikap dan kebijakan Jokowi dianggap tidak sesuai dengan janjinya dan
hal ini jelas sangat mengecewakan publik. Pencabutan pengetatan remisi
bagi koruptor bukan merupakan bentuk reformasi untuk membangun sistem
yang bebas korupsi dan terpercaya. Pada akhirnya, realisasi dari janji
dalam pemberantasan korupsi semakin dipertanyakan.
Lalu apa yang menyebabkan banyak pertanyaan seputar realisasi janji Jokowi di bidang pemberantasan korupsi tersebut?
Tetap Menanti
Akan tetapi, usia 6 bulan belum bisa menjadi tolak ukur untuk menagih
realisasi janji-janji pemerintahan Jokowi-Kalla. Masih ada waktu yang
panjang dan banyak kesempatan yang dapat digunakan pemerintahan ini
untuk membuktikan kinerjanya termasuk dalam pemberantasan korupsi. Di
sisi lain, kondisi ini tidaklah menjadi alasan untuk lambat bertindak
atau bahkan sejenak melupakan janji kampanye sebab rakyat punya
penilaian, waktu dan kesabaran diri. Akhirnya, masyarakat masih harus
bersabar dan tetap menanti realisasi janji pemerintah Jokowi-JK selama
periode kepemimpinannya.***
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Lingkungan, Pendidikan,
Sosial dan Politik. Guru SMA Swasta Letjen Haryono MT Medan. Pengajar di
Quantum College Medan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar