Jumat, 12 Juni 2015

Nilai Tukar Rupiah dan Kepercayaan Masyarakat


Oleh: Hasian Sidabutar, S.Pd.
Terbit: Harian Analisa, Rabu, 6 Mei 2015

Masa pemerintahan Jokowi Widodo baru menginjak usia kurang lebih 7 bulan. Namun persoalan yang dihadapinya semakin hari semakin banyak. Kepercayaan masyarakat pun mulai berubah menjadi kecaman dan kritikan yang pedas. Contohnya di bidang politik dan hukum, kisruh
antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) masih belum sepenuhnya berhasil dituntaskan.

Bahkan di tengah kasus ini, Menteri hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly tiba-tiba mengeluarkan wacana terkait peninjauan kembali tentang kebijakan pengetatan remisi untuk koruptor. Hal ini tentu menuai banyak kontra di masyarakat pasalnya masyarakat sekarang ini sangat mengecam tindak korupsi yang sering dilakukan oknum pejabat.

Di bidang ekonomi, presiden ketujuh RI Jokowi harus dihadapkan dengan kondisi nilai tukar rupiah yang terus terpuruk. Disinyalir, yang menjadi pemicu lemahnya kurs rupiah dikarenakan faktor global yakni menguatnya dolar AS seiring dengan membaiknya perekonomian di negara adidaya itu. sungguh ironis saat ini nilai tukar rupiah menjadi salah satu nilai tukar uang yang paling terperosok di kawasan Asia. Padahal sebenarnya Indonesia masih memiliki prospek dalam berinvestasi baik melalui pasar modal maupun investasi langsung di sektor riil.

Di tahun 2015 ini pemerintah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 290 trilyun untuk pembangunan infrastruktur. Beberapa proyek infrastruktur yang akan segera dikerjakan antara lain pembangunan jalan baru sepanjang 143 kilometer, jalur kereta api baru 265 km, 5 bandara baru dan 120 menara kembar rusunawa bagi warga yang berpenghasilan rendah. Jumlah sebesar itu tentu akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar pula, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah juga tampaknya semakin optimistis bahwa tahun ini pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan 2014 (5,5 persen). Bahkan pada tahun 2016 hingga 2018, pertumbuhan ekonomi indonesia ditargetkan sebesar 6,9 hingga 7,8 persen. Angka yang sangat fantastis. Akan tetapi, semua rencana itu bisa terbengkalai jika pemerintah tidak bisa mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah. Daya tahan dan ketangkasan pemerintahan Jokowi-JK pun diuji dalam menyelesaikan persoalan demi persoalan.

Tidak Pasti

Faktanya, kondisi perekonomian Indonesia kini lebih besar pasak daripada tiang. Meskipun demikian, harusnya ini berdampak parah terhadap kurs rupiah. Dugaan pun bermunculan yang mengatakan bahwa pelemahan nilai rupiah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kian memudar.

Melihat kondisi hukum dan politik saat ini, kesannya ada masalah ketidakpastian politik. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi dan kepanikan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Jika benar, kondisi ini benar-benar sangat memprihatinkan. Pasalnya, meski tanpa ada faktor politik dan hukum, nilai tukar rupiah bisa saja makin terperosok. Hal ini disebabkan dalam waktu dekat akan ada ancaman lagi terhadap ekspor ke Uni Eropa karena hilangnya generalisasi sistem preferensi yaitu fasilitas kuota dan penurunan tarif untuk produk tertentu untuk masuk Uni Eropa. Nah, jika hal ini terjadi, daya saing produk indonesia kemungkinan besar akan merosot. Semua masalah tersebut memerlukan konsentrasi dan harus dirumuskan dalam kebijakan yang startegis.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa ada masalah di dalam sektor ekspor Indonesia. Sejak tahun 2012 lalu, kinerja ekspor indonesia turun secara signifikan. Data terakhir menunjukkan bahwa nilai total ekspor Indonesia mulai Januari hingga November 2014 menurun sebesar 2,36 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Penurunan ekspor ini bahkan diperkirakan akan terus terjadi disebabkan menurunnya permintaan dunia terhadap produk dominan indonesia dan juga rendahnya daya saing produk. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Melihat kondisi saat ini, persoalan demi persoalan, baik politik, hukum, dan ekonomi kemungkinan besar masih akan terus terjadi untuk menguji pemerintahan Jokowi.
Oleh karena itu, negara terbesar keempat di dunia ini memerlukan kepemimpinan yang kuat dalam bidang ekonomi yang mampu mengarahkan ekonomi kita ke arah yang lebih baik. Namun sejauh ini kepemimpinan yang kita harapkan itu belum ada. Kita masih akan terus terombang-ambing oleh situasi global seperti saat ini. Namun, masih ada solusi untuk masalah ekonomi ini yaitu kepercayaan terhadap pemerintahan yang harus ditingkatkan. Dan itulah yang menjadi tantangan terbesar yang harus segera pemerintahan jokowi dan kabinet kerjanya selesaikan.

Namun sejarah mengungkapkan bahwa masalah di bidang ekonomi tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Akan tetapi jika masalah di bidang ekonomi ini tidak segera diselesaikan, hal ini bisa menimbulkan persoalan serius di bidang lain seperti politik. Kita tetap berharap pemerintahan Jokowi bisa mengatasi masalah ini.***

(Penulis, pemerhati masalah Lingkungan, Pendidikan, Sosial dan Politik, Guru SMA Swasta Letjen Haryono MT Medan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar