Jumat, 12 Juni 2015

Hukum Masih Milik Rakyat Miskin

Oleh: Hasian Sidabutar,S.Pd
Terbit: Harian Analisa, Senin, 18 Mei 2015

Mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila, Indonesia dibentuk menjadi negara hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang tidak berpihak kepada satu individu saja tetapi seluruh lapisan masyarakat. Hukum bisa menjerat siapa saja baik pejabat negara, seniman, pelaku pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Namun waktu demi waktu berlalu, hukum seakan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hal ini disebabkan oleh petinggi hukum yang melanggar kode etik dalam pengambilan keputusan dalam sebuah perkara yang disidang dengan tidak sesuai regulasi yang ditetapkan. Buktinya banyak jaksa, hakim, aparat kepolisian dan petinggi hukum lainnya menjadi tersangka di dalam berbagai kasus baik karena kasus korupsi maupun kasus suap. Banyak juga di antara mereka dengan mudahnya mendapat remisi hukuman. Kemudian, banyak juga yang bebas dari jeratan hukum akibat permainan uang diantara tersangka dengan jaksa atau hakim.

Data yang dilansir melalui website Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk.go.id), sejak tahun 2004 hingga Februari 2015 terdapat 456 pejabat negara yang korupsi termasuk anggota DPR/D, kepala daerah hingga pihak swasta. Hukuman pidana yang diterima pun berbeda-beda. Namun faktanya, hukum masih tumpul keatas. Banyak koruptor mendapat hukuman penjara yang tidak setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa pada tahun 2014, sekitar 74,7 persen dari total koruptor mendapat hukuman ringan, 16,4 persen divonis hukuman sedang dan hanya 1,5 persen yang divonis hukuman berat salah satunya Akil Mochtar yang dihukum seumur hidup. Dari kasus korupsi tersebut, negara harus mengalami kerugian yang sangat besar yakni Rp 3,863 triliun dan US$49 juta dan total nilai suap mencapai Rp 64,15 miliar.

Salah satu koruptor yang divonis ringan yaitu mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta rupiah. Padahal Ratu Atut telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin perkara Pemilihan Kepala Daerah Lebak, Banten. Contoh kedua Anas Urbaningrum yang hanya divonis tujuh tahun penjara dan hanya denda Rp 300 juta rupiah. Hukuman tersebut sangat tidak setimpal dengan tindak korupsi yang dilakukannya pada proyek Hambalang yang melenyapkan uang negara sebesar Rp 94,180 miliar dan US$ 5, 261 juta. 

Tajam ke Bawah

Sementara itu, ada banyak kasus yang mengikat masyarakat ke bawah. Kepada mereka, hukum terus tajam. Contohnya kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao namun ia dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Kemudian kasus nenek Asyani yang berusia 63 tahun. Ia didakwa dengan tuduhan pencurian 7 kayu jati dengan melanggar pasal 12 huruf D juncto pasal 83 ayat 1 huruf A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Padahal kepala desa setempat mengatakan dengan jelas bahwa lahan dimana dia mengambil kayu tersebut merupakan lahan milik pribadinya. Namun pada akhirnya, vonis hukuman nenek Asyani tetap dilanjutkan. Anak remaja 15 tahun berinisial ALL, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah yang divonis hukuman 5 tahun penjara karena mencuri sandal jepit butu milik seorang anggota Brimob Sulteng yaitu Briptu Anwar Rusdi Harahap. Dia tak pernah menyangka jika sepasang sandal jepit butut warna putih kusam yang ditemukannya di pinggir Jalan Zebra, Kota Palu tersebut pada akhirnya menyeretnya ke meja hijau. Namun, Jaksa tetap mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Bukan hanya itu, masih banyak lagi orang miskin yang dihukum tidak selayaknya seperti kasus Siti Aisyah Soekarnoputri yang dipenjara selama 130 hari karena mencuri 6 piring milik majikannya. Kakek Rawi (66 tahun) di Sulawesi Selatan yang dipenjara selama 85 hari karena tuduhan mencuri merica yang harganya hanya ribuan rupiah. Kasus Rosidi

di Jawa Tengah yang mencuri satu batang pohon jati. Ia didakwa pasal 50 ayat 3 UU No 41/1999 tentang Kehutanan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara serta denda maksimal Rp 5 miliar. Inilah ironi hukum Indonesia yang mencekik rakyat miskin.

Kembali ke Hakikat 

Kasus-kasus diatas sangat kontradiktif dengan isi UUD pasal 28 D ayat satu yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Dari ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama dihadapan hukum. Tidak peduli status sosialnya, baik dia pemulung sampai presiden sekalipun harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Maka dari itu UUD pasal 28 D ayat 1 harus ditegakkan. Karena jika tidak, khusus seperti ini akan terulang kembali. Jika HAM untuk diperlakukan sama di depan hukum ini dipenuhi maka hukum di Indonesia tidak akan lagi tajam disatu sisi. Lalu bagaimana cara agar HAM untuk diperlakukan sama didepan hukum ini dapat dipenuhi? Hemat saya, solusinya adalah memaksimalkan kembali fungsi aparat penegak hukum dan memperberat hukuman bagi koruptor dan penerima suap serta mencopot semua aparat Negara yang terbukti melakukan korupsi dan menerima suap. Dan juga setiap warga negara wajib menaati UUD pasal 28 D ayat 1. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan, maka hukum tidak hanya dimiliki oleh orang miskin dan HAM tentang perlakuan yang sama didepan hukum pun dapat terpenuhi. ***

(Penulis adalah Pemerhati Masalah Lingkungan, pendidikan, Sosial dan Politik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar